Peningkatan jumlah kasus kenakalan anak ditanggapi Ustadz La Ode Abu Hanafi. Ia menyebut, sangat miris menyimak maraknya kasus yang melibatkan anak-anak di Indonesia. “Ini adalah musibah sekaligus ujian dari Allah SWT,” katanya.
La Ode Abu Hanafi menarik perhatian khalayak ketika anaknya, Musa La Ode Abu Hanafi, menjadi hafiz cilik yang meraih Juara 1 di ajang 'Hafiz Indonesia' tahun 2014. Ketika itu, Musa masih berusia 5 tahun. Dua tahun kemudian, Musa kembali menorehkan prestasi membanggakan. Ia sukses meraih peringkat tiga dalam kompetisi hafalan Al Qur’an pada Musabaqah Hifzil Quran (MHQ) Internasional di Sharm El Sheikh, Mesir. Ketika itu, Kementerian Agama RI menunjuk Musa untuk berangkat dan ikut kompetisi itu karena sebelumnya telah mendapatkan undangan dari Kementerian Wakaf Mesir. Presiden Joko Widodo pun memberikan ucapan selamat atas prestasi Musa.
“Saya kasihan terhadap kenyataan yang terjadi. Apalagi, itu terjadi kepada sebagian saudara-saudara kita, kaum muslimin. Ini harus menjadi perhatian besar bagi kita sebagai orangtua, karena benteng terbesar anak adalah orangtuanya,” kata La Ode Abu Hanafi.
Baca juga: Farida Aini: “Masa Balita Itu Momen Terbaik untuk Membentuk Moral Anak”
Salah satu bentuk kenakalan anak yang memprihatinkan itu adalah perilaku bullying. Bullying berasal dari bahasa Inggris, bull, yang artinya banteng. Secara etimologi, bullying berarti orang yang mengganggu orang lain yang lemah. Di dalam bahasa Indonesia, bullying dikenal sebagai tindakan penindasan/risak. Sebab, bullying merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain yang lebih lemah, dengan tujuan untuk menyakiti. Dan hal itu dilakukan secara terus menerus.
“Jelas bentuk-bentuk kenakalan anak itu merupakan kesalahan pola asuh orang tua kepada anak. Banyak sebabnya kenapa bisa terjadi. Misalnya, karena kejahilan atau kebodohan mereka terhadap agama (Islam). Karena kejahilannya, mereka mencontoh pola asuh dari luar agama, padahal agama (Islam) sudah mengajarkan pola asuh dengan benar,” ucapnya kepada Sabili.id
Di sisi lain, ia tak menampik ada pengaruh lingkungan serta terpaan media massa dan media sosial terhadap meningkatnya masalah kenakalan anak. Menurut dia, media sosial memang punya pengaruh luar biasa. Tetapi, kita pasti menghadapi perkembangan media sosial dan harus menghadapinya.
Baca juga: Pola Asuh Orangtua terhadap Anak Telah Bergeser?
“Artinya, kita sebagai orangtua harus kuat membentengi anak-anak kita dari pengaruh media sosial. Karena media sosial ini bisa berpengaruh baik dan bisa berpengaruh buruk. (Namun) sekarang kebanyakan pengaruhnya adalah hal yang buruk ketimbang hal-hal yang maslahat,” tuturnya.
Ditanya tentang cara dia menanamkan pola asuh terhadap anaknya, sehingga bisa sukses meraih prestasi, La Ode Abu Hanafi mengatakan, ada sebuah perkataan salaf, ‘adab dari bapak, kesalehan dari Allah SWT’. Kita sebagai orang tua harus terlebih dahulu berilmu, rajin belajar tentang Islam, lalu mengajarkannya kepada anak-anak.
“Artinya, kita sebagai bapak harus mempunyai ilmu tentang Islam, kemudian mendidik anak-anak berdasarkan Islam. Sedangkan hasilnya yaitu kesalehan, itu dari Allah SWT,” katanya.
Ia menekankan, seorang bapak harus tampil sebagai sosok yang rahim atau penyayang. Seorang ayah di satu sisi harus suka bercanda dengan anak-anak, mencium mereka, berjalan bersama mereka, mendoakan, dan lain-lain. Tetapi di sisi yang lain juga harus punya sifat tegas. Sebab, ayah adalah benteng bagi anak-anaknya dalam menghadapi kenyataan yang ada dalam hidup.
Baca juga: Meningkatnya Masalah Anak, Tanggung Jawab Parenting?
“Bapak harus menjadi contoh, kemudian mengiringi mereka. Misalnya, kita memerintahkan mereka membaca Al Qur’an, maka kita juga membaca Al Qur’an. Kita memerintahkan mereka ke masjid, kita juga ke masjid. Intinya, kita harus selalu berjalan bersama mereka dalam segala hal baik,” pesannya.
Namun, ia menyebut dalam penerapan pola asuh juga perlu pendekatan terhadap anak yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Jika sang anak masih kecil, bisa saja kita lebih longgar. Ketika sudah besar, kita ajak dengan memasukkan unsur ketegasan.
“Jika mereka tidak mau, misalnya pergi ke masjid, paksa saja dengan ajak bersama tetapi tidak teriak-teriak marah-marah. Sebagai orang tua, kita harus disegani, ditakuti oleh anak, tetapi di satu sisi juga harus menjadi sosok penyayang di dalam keluarga. Misalnya, kalau mereka main hp (telepon seluler, red) secara berlebihan atau menonton hal-hal yang tidak baik di hp, maka diambil hp-nya, dengan tidak teriak-teriak marah-marah. Kita beri penjelasan kepada mereka, agar nanti mereka akan berhenti. Terus seperti itu juga yang dilakukan untuk perkara-perkara yang lain,” urainya.
Menutup pembicaraan, La Ode Abu Hanafi mengatakan, terhadap anak kita harus tegas dalam menerapkan pola asuh, namun diiringi dengan rasa sayang atau rahim. Ia kembali menekankan, tidak perlu marah-marah atau teriak-teriak kepada anak, tetapi berikan pengertian. “Secara khusus, ajarkan tentang tujuan hidup yaitu menghambakan diri kepada Allah SWT,” tutupnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!