RUU Kesehatan sudah resmi disahkan oleh DPR menjadi UU Kesehatan pada 11 Juli 2023. Sebelumnya, RUU tersebut sudah menimbulkan pro-kontra, huru-hara, dan gelombang aksi demonstrasi dari berbagai kalangan. Sebab, UU tersebut dianggap merugikan, mencurangi hak, serta seolah-olah menyalahkan para dokter dan Nakes (Tenaga Kesehatan) Indonesia.
Kini, setelah UU Kesehatan disahkan, belum berarti kontroversi mereda. Masih banyak pihak yang menyatakan pro maupun kontra. Pembahasan punn masih terus dilakukan di mana-mana. Salah satunya, pembahasan tentang UU Kesehatan itu dalam Webinar Nasional bertajuk "UUD Kesehatan" yang digelar CIDES-ICMI, 4 Agustus 2023, malam.
Saat tampil sebagai pembicara webinar tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK UNDIP) Semarang, Prof. Dr. Zaenal Muttaqin, mengatakan, sebenarnya akar penyebab munculnya permasalahan sistem kesehatan di Indonesia yang berantakan adalah berasal dari Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan pemerintah. Tetapi, justru yang disalahkan selama ini oleh sebagian masyarakat adalah para dokter dan nakes (tenaga kesehatan).
Kendati masih menuai pro dan kontra, UU Kesehatan tetap disahkan. MK (Mahkamah Konstitusi) beralasan bahwa UU ini layak disahkan karena merupakan solusi atas permasalahan produksi dan distribusi dokter spesialis di Indonesia. Sebab, menurut mereka, kurangnya produksi dokter spesialis disebabkan proses rekrutmennya yang sangat sulit (via University Based berakreditasi A). Proses distribusinya pun sulit karena perlu disertai STR (Surat Tanda Registrasi) yang harus selalu diperbarui setiap 5 tahun, dan SIP (Surat Izin Praktik) yang keberadaannya perlu rekomendasi dari Organisasi Profesi (OP).
Baca juga : UU Kesehatan Masih Tuai Pro-Kontra, Kebutuhan Kesmas Terabaikan
UU Kesehatan menghadirkan solusi berupa STR yang berlaku seumur hidup dan SIP tanpa rekomendasi dari Organisasi Profesi. Hal itu, "katanya" bisa mempermudah proses distribusi dokter spesialis. Padahal senyatanya, justru kualitas dari dokter spesialis itu sendiri yang akhirnya nanti dipertanyakan.
Lalu yang menjadi kontra utama serta membuat para dokter dan masyarakat geram adalah diizinkannya Tenaga Kesehatan WNA untuk melakukan praktik di Indonesia. Hanya dengan modal dasar evaluasi portofolio dan keterangan dari universitas atau otoritas asal, tanpa harus menguasai Bahasa Indonesia saat awal bekerja. Mereka dihadirkan dengan alasan karena bersedia ditempatkan di daerah-daerah 3T (Terpencil, Terjauh, dan Terluar) yang tidak diminati para Tenaga Kesehatan WNI.
Padahal, alasan para Tenaga Kesehatan Indonesia tidak bersedia ditempatkan di daerah 3T itu karena fasilitasnya yang sangat tidak memadai, anggarannya yang terbatas, tempatnya yang kurang nyaman, dan banyak hal lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kemenkes. Masalah bahasa sebagai alat komunikasi utama juga sebuah hal yang seharusnya sangat diperhatikan. Sebab, tanpa komunikasi yang baik, seorang dokter tidak akan bisa memahami pasiennya dengan baik. Dokter akan cenderung melakukan pemeriksaan lanjutan yang berlebihan, dengan risiko salah diagnosa dan salah pengobatan akan bertambah. Kalau hal tersebut sampai terjadi, itu merupakan hal yang tentu sangat fatal.
"Aneh rasanya, kalau tenaga kerja kita, orang Indonesia, tidak berminat ditugaskan di tempat itu (daerah 3T), lalu apakah mungkin tenaga kesehatan asing mau ke sana? Kalau pun ada yang mau, maka menjadi pertanyaan, punya misi apa para tenaga kesehatan asing itu mau ke sana? Pasti ada sesuatu yang harus kita curigai," tukas Prof. Zaenal Muttaqin.
Tentu saja, menurut Zaenal Muttaqin, hal itu ada kaitannya dengan kepentingan terselubung pemerintah. Sedangkan Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI, Dr. Zaenal Abidin, mengatakan dalam webinar semalam, ada tiga alasan dibentuknya kebijakan publik. Yaitu karena alasan ilmiah, alasan profesional, dan alasan politis. Jadi, menurut dia, kebijakan publik pasti selalu ada kaitan politiknya. Tidak menutup kemungkinan jika sebuah kebijakan publik justru lebih menonjolkan aspek politisnya dibanding aspek ilmiah dan profesionalitasnya. Nah, UU Kesehatan ini bisa jadi merupakan salah satu contohnya. Jadi, menurut dia, UU Kesehatan sejak awal memang sudah berpotensi menuai persoalan.
"UUD ini bahkan sudah cacat sebelum lahir (rusak sebelum disahkan)," tegas dia.
Jadi, meskipun sudah resmi disahkan, UUD Kesehatan ini sepertinya akan terus mendapat penolakan dan pembangkangan dari berbagai pihak, khususnya para dokter dan nakes. Selain merugikan mereka (para dokter dan nakes), masyarakat umum juga tentu saja dicurangi haknya dalam mendapat layanan kesehatan yang baik dan layak, seolah sebelumnya mereka belum cukup menelan banyak ketidakadilan dalam hal tersebut (khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah dan penerima BPJS).
Penulis: Siti Fatimah Azzahra (Mahasiswi UIN Jakarta & Alumni Pelatihan Jurnalistik sabili.id Batch 2)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!