Wacana Boikot Produk Support Musuh dalam Sejarah dan Kaidah Fikih

Semua orang paham bahwa hukum asal bermuamalah, jual beli, bisnis dengan orang kafir itu mubah. Tapi hukum itu bisa berubah bila ada kepentingan agama yang mendesaknya. Begitu pula masalah memboikot produk orang atau pihak yang merugikan kaum muslimin, atau bila kaum muslimin perlu tindakan tersebut untuk menhukum atau menghentikan kejahatan yang dilakukan pihak tersebut. Dalam hal ini bisa jadi hukum memboikot menjadi sunnah, atau bahkan wajib sesuai kondisi dan tempat.

Pemboikotan dari kaum muslimin untuk melemahkan musuh kafir yang sedang bergiat menindas kaum muslimin atau melakukan suatu kekejian terhadap Islam merupakan salah satu senjata jihad di jalan Allah. Tercatat dalam sirah nabawiyyah seorang sahabat bernama Tsumamah bin Utsal RA dengan inisiatif pribadi. Dia menyetop pasokan gandum dari Yamamah ke Mekah, membuat Quraisy kelaparan, dan dia hanya akan mengehntikan boikot kalau Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam yg meminta.

Sampai akhirnya kaum Quraisy memelas kepada Rasulullah agar Tsumamah menghentikan pemboikotan itu, dan Rasulullah pun meminta Tsumamah menghentikannya.

Kisah pemboikotan ini ada dalam shahihain, musnad Ahmad dan yang lebih lengkap dalam sirah Ibnu Hisyam dengan sanad yang shahih sehingga tak perlu diragukan validitasnya. Kisah ini menunjukkan seorang muslim boleh memboikot orang kafir yang memusuhi dan menzalimi kaum muslimin meski tanpa minta izin terlebih dahulu kepada pimpinan tertinggi. Di sini Tsumamah melakukan itu atas inisiatif pribadi dan tidak dilarang oleh Rasulullah.

Baca Juga : Gerakan Intelijen Para Nabi dan Rasul

Di masa khalifah Bani Umayyah pun ini pernah terjadi. Sebagaimana diperoleh keterangan dari kitab Bughyatu Ath-Thalab fii Tarikh Halab karya Ibnu Al-‘Adim jilid 7 hal. 3194. Berikut kisahnya:

Sebagaimana diketahui bahwa dinar itu diimport dari Romawi, lalu Romawi mengimpor kertas dari negeri khilafah Umawiyah. Waktu itu yang jadi khalifah adalah Abdul Malik bin Marwan. Maka tiap mau kirim kertas Abdul Malik menyelipkan dakwah berupa ayat Al-Qur`an surah An-Nisa` ayat 118 di kertas notanya. Lalu raja romawi minta dibacakan apa maksud tulisan itu, maka penasehatnya mengatakan itu artinya menghina tuhan kita. Maka Raja Romawi pun marah lalu menulis balasan kepada Abdul Malik bin Marwan kalau kau tulis ini lagi maka aku akan menulis balas menghina nabimu. Abdul Malik mulai ngeper, sampai akhirnya datang Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah menyemangatinya dan memberi saran, kita hentikan import dinar dari mereka dan cetaklah dinar sendiri lalu jangan lagi ekspor kertas ke mereka. Mereka pasti butuh dan minta kepada kita. Kalau mereka minta maka harus ikut aturan kita. Abdul Malik pun melakukan saran itu dan jadilah dia pemimpin Islam pertama yang mencetak dinar.

Dari sini kita lihat bahwa pemerintahan Khalifah Islamiyyah berusaha untuk mandiri dalam hal produksi dan industri mencukupi kebutuhan sendiri agar tak tergantung kepada negara kafir. Lalu bertekad akan boikot ekspor kertas bila pemerintah Romawi menghina Nabi.

Boikot Termasuk Jihad Harta

Sebagaimana diketahui bahwa Allah Ta’ala memerintahkan jihad dengan dua milik kita, yaitu jiwa dan harta, sebagaimana firman-Nya,

وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah. Itu lebih baik bagi kalian bila kalian mengetahui.” – QS. At-Taubah : 41

Sedangkan dalam hadits Rasulullah saw bersabda,

جاهِدوا المشركين بأَموالِكم وأَنفُسِكُم وأَلسنتِكم
“Jihadilah musyrikin itu dengan harta, jiwa dan ucapan kalian.” – HR. Ahmad dan Abu Daud, dari Anas bin Malik

Maka menahan diri untuk tidak membeli atau menjual sesuatu yang dapat menguntungkan musuh termasuk bagian dari jihad harta. Harta kita tidak jadi keluar untuk hal yang dapat menguatkan musuh dan dampaknya mereka jadi berkuasa atas kaum muslimin.

Inilah yang menyebabkan Imam Ahmad berfatwa sebagaimana tertulis dalam Masa`il Imam Ahmad Riwayat Ishaq bin Ibrahim bin Hani`: Imam Ahmad bin Hanbal ditanya: Seseorang jual beli dengan musuh?

Beliau menjawab, "TIDAK BOLEH JUAL BELI DARI ORANG YANG BERPOTENSI MENAKLUKKAN KAUM MUSLIMIN."

(Masa`il Imam Ahmad bin Hanbal Riwayat Ibnu Hani` jilid 2 hal. 103).

Boikot Sesuai Kaidah Fikih

Kaidah fikih yang dipakai dalam aksi pemboikotan produk yang membantu musuh Islam ini antara lain kaidah (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح) (Menolak kerusakan didahulukan daripada meraih keuntungan). Membeli produk mereka tentu meraih keuntungan, adanya lapangan kerja, harga murah, kualitas tinggi dan lain-lain. Tapi kalau dilakukan mereka makin kuat dan makin zalim terhadap Islam dan kaum muslimin. Maka mencegah kerusakan yang terjadi pada kaum muslimin lebih didahulukan daripada meraih keuntungan bisnis.

Baca Juga : Menang dengan Kekuatan Minimal

Selain itu ada pula kaidah (للوسائل أحكام المقاصد) (Cara bisa disamakan hukumnya dengan tujuan). Maksudnya, tujuan kita adalah melemahkan musuh dari sisi ekonomi agar kekuatan mereka tidak makin jaya, dengan itu akan menyelamatkan kaum muslimin dari bahaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini dilakukanlah berbagai cara salah satunya adalah memboikot bisnis mereka. Nah dalam hal ini, hukum cara menjadi sama dengan hukum tujuan yaitu sunnah atau bahkan wajib.

Lalu bagaimana bila boikot ini malah merugikan kaum muslimin sendiri? Maka berlakulah kaidah maslahat mudharat itu tadi, bila mudharatnya lebih besar maka dihentikan, tapi bila maslahatnya yang lebih bersar maka dilanjutkan.

Kritikan yang sering dilontarkan adalah bila boikot berhasil akan berdampak pada diputuskannya para pekerja oleh perusahaan yang merugi karena dampak boikot. Ini bisa kita jawab bahwa bila barang yang diboikot itu kebutuhan dan banyak perusahaan pesaing maka otomatis permintaan akan barang tersebut akan tetap ada sehingga perusahaan pesain yang masih eksis akan menambah produksi dan pastinya akan membutuhkan tenaga kerja. Mereka pasti mencari tenaga yang berpengalaman, maka diambillah mantan karyawan yang di-PHK perusahaan terboikot tadi.