“Saya memilih jurnalisme untuk dekat dengan rakyat (Palestina). Mungkin tidak mudah untuk mengubah kenyataan, tetapi setidaknya saya bisa menyampaikan suara mereka ke dunia.”
Itu kalimat yang pernah diucapkan jurnalis Shireen Abu Akleh. Shireen lahir di Yerusalem, 3 Januari 1971, dari pasangan Louli dan Nasri Abu Akleh dari Betlehem. Di masa kecilnya, Shireen dan keluarganya tinggal di New Jersey, Amerika Serikat.
Shireen memperoleh gelar sarjana di bidang jurnalisme dan media di Universitas Yarmouk Yordania. Lalu ia melanjutkan bekerja di berbagai bidang LSM dan organisasi media, Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perusahaan penyiaran Palestina (Voice of Palestine), dan Saluran Amman.
Karir sebagai Jurnalis Al Jazeera
Pada tahun 1997, di usia 26 tahun, ia bergabung dengan Walid al-Omari dan tim kecil yang mendirikan kantor dan merek jaringan Al Jazeera berbahasa Arab di wilayah Palestina yang terjajah. Dari sanalah Shireen menemukan dirinya. Ia mulai berkarir secara profesional di dunia jurnalistik, lalu mengabdikan diri untuk melaporkan setiap kebiadaban yang dilakukan penjajah Israel terhadap bangsa Palestina ke seluruh dunia. Tujuannya, agar dunia melihat bagaimana kejinya penjajah terhadap bangsa Palestina. Selama 25 tahun, Shireen berada di Palestina hingga hari kematiannya.
Setelah Intifada kedua meletus, Shireen sering berada di lapangan untuk melaporkan kejadian yang sebenarnya terjadi di Palestina kepada seluruh penjuru dunia. Saat itu, daerah-daerah di Palestina terpisah dan terfragmentasi oleh penutupan, pos pemeriksaan, serta wajib adanya perizinan dari penjajah Israel.
Tahun 2002, selama invasi penjajah Israel ke kota-kota di Palestina – saat itu jam malam ketat sekali diberlakukan – warga Palestina sangat mengandalkan Shireen dan tim Al Jazeera untuk memberi tahu mereka apa yang sebenarnya terjadi di bagian lain tanah air mereka (Palestina). Ia melakukannya dengan tenang dan tanpa gentar.
“Dia adalah seorang reporter yang tak kenal takut,” kata salah satu rekannya. “Dia tidak pernah ragu untuk pergi ke tempat-tempat di mana bentrokan terjadi. Dia mencintai pekerjaannya,” tambah rekannya itu.
Dia selalu memperhatikan stafnya, berusaha memastikan keselamatan mereka dengan hati-hati seperti yang dia lakukan terhadap dirinya sendiri. Shireen sering kali menggunakan jaket dan helm anti peluru. Ia akan melaporkan dari tempat-tempat yang berbahaya, menjelaskan kejadian dengan suara menenangkan serta berwibawa, sehingga dunia menyebut dia sebagai “Koresponden Perang Palestina”.
Tidak hanya kekerasan yang dilakukan oleh penjajah saja yang ia liput. Ia juga sering meliput pemakaman warga Palestina yang dibunuh oleh penjajah. Ia melaporkan dari luar negeri, termasuk dari AS, Inggris, Turki, dan Mesir. Namun, sebagian besar karirnya dihabiskan untuk melaporkan berita langsung dari Palestina. Shireen memiliki tekad untuk terus mengabarkan kepada dunia tentang kondisi sebenarnya di Palestina. Bahkan, ia pun telah mempelajari bahasa Ibrani untuk memahami media Israel.
Jurnalis yang Berani dan Berdedikasi
Shireen terus mendorong dirinya untuk memasuki rumah-rumah warga Palestina, camp-camp pengungsian, penjara, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain. Ia banyak menuliskan kisah perjuangan bangsa Palestina di tengah penjajahan Israel. Lalu mengemasnya menjadi cerita penuh derai air mata, bahwa dunia harus mengetahui ada bangsa yang meminta untuk diselamatkan dari cengkeraman penjajah.
April 2022, Shireen kembali ke camp pengungsian di Jenin, Tepi Barat, yang terjajah. Ia memang menghabiskan masa kecil pada 20 tahun lalu di Jenin. Bagi Shireen, Jenin masih merupakan api yang tak terpadamkan yang menjadi rumah bagi para pemuda pemberani yang tidak terintimidasi oleh potensi invasi penjajah. Ia tinggal di sana serta meliput segala kejadian yang ada di Jenin selama 11 hari.
Bagi Shireen, Jenin bukanlah satu kisah singkat dalam karirnya atau bahkan dalam kehidupan pribadinya. Kota Jenin dapat membangkitkan semangat Shireen. Jenin mewujudkan semangat Palestina yang terkadang goyah dan jatuh, tetapi, di luar semua harapan, mereka selalu bangkit untuk mengejar harapan serta mimpi-mimpi mereka.
Target Penjajah untuk Membunuh Shireen
Tanggal 21 Mei 2022 adalah hari kemarian Shireen. Saat itu, Shireen dan timnya sedang meliput serangan penjajah di Jenin. Kematiannya disebabkan oleh satu peluru yang tepat mengenai bagian bawah telinganya yang merupakan satu-satunya bagian kepalanya yang tidak tertutup oleh helm persnya.
Shireen begitu akrab dengan warga Palestina, bahkan mereka menganggap dia sudah seperti keluarga. Sehingga, kabar kematian Shireen menjadi sumber kemarahan yang mengejutkan dan kesedihan yang menyayat hati bagi semua warga Palestina.
Meski pun mengenakan alat pelindung dan rompi yang menampilkan kata “PRESS” dengan jelas, ia tertembak di kepala. Pejabat Israel awalnya mengindikasikan bahwa ia terjebak dalam baku tembak dan dibunuh oleh seorang pria bersenjata Palestina. Namun, investigasi independen menguatkan klaim Al Jazeera bahwa ia ditembak oleh seorang tentara IDF dan ketika itu tidak ada pria Palestina bersenjata di dekatnya.
Di bawah tekanan internasional, IDF kemudian menarik kembali pernyataannya dan mengakui bahwa peluru yang menewaskan Shireen Abu Akleh kemungkinan berasal dari salah satu tentaranya. Tetapi tetap tidak ada tindakan disipliner yang diambil.
“Selama 24 tahun saya meliput penjajahan Israel terhadap Palestina untuk Al Jazeera. Selain isu politik, perhatian saya adalah dan akan selalu menjadi kisah kemanusiaan dan penderitaan sehari-hari rakyat saya di bawah penjajahan,” tuturnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!