Wakil Presiden RI, KH Ma'roef Amin, Rabu (29/5/2024), secara langsung membuka kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII, di Pondok Pesantren (Ponpes) Bahrul Ulum Islamic Center, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Wapres hadir di acara Pembukaan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII itu didampingi Ibu Hj. Wury Ma’roef Amin. Kedatangan Wapres RI, KH Ma'roef Amin, di Ponpes Bahrul Ulum disambut Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud; Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh; dan Pj Gubernur Bangka Belitung, Safrizal.
Hadir pula di kesempatan itu, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Ahmad Erani Yustika; Deputi Bidang Administrasi, Sapto Harjono W.S.; Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi; Staf Khusus Wapres Bidang Umum, Masykuri Abdillah; Staf Khusus Wapres Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan, Robikin Emhas; Tim Ahli Wapres, Johan Tedja dan Farhat Brachma; serta Ketua Badan Amil Zakat Nasional, Noor Achmad.
Ketika menyampaikan pidato pembukaan kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII itu, Kiai Ma'roef Amin menyebut, kegiatan tersebut merupakan forum penting untuk merespon berbagai masalah keumatan. Hal itu sebagai upaya para ulama menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Dan menunjukkan betapa para ulama berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu hukum dengan memberikan fatwa (ijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al Qur'an dan hadits. Untuk itu, agar fatwa tetap berpegang pada kedua pedoman tersebut, para ulama hendaknya berpikir dan bertindak berdasarkan empat manhaj (kaidah-kaidah yang jelas).
“Manhaj yang kita pakai adalah manhaj samawi standar langit, manhaj rabbani standar ketuhanan, manhaj imani standar keimanan, dan manhaj tasyri’i standar syariah,” tegas Wapres RI, KH Ma'roef Amin.
Kiai Ma’roef mengatakan, kegiatan tersebut membahas masalah-masalah kenegaraan (masail asasiyah wathaniyah), masalah fikih dan hukum Islam tematik kontekstual (masail waqi'iyyah mu'ashirah), serta masalah hukum dan perundang-undangan nasional (masail qanuniyyah). Dari ketiga tema itu, salah satunya membahas mengenai perundang-undangan. Menurut Kiai Ma’roef, pembahasan ini dilakukan untuk perbaikan-perbaikan seluruh pihak. Aturan tersebut juga diharapkan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, tetapi justru memperkuat dan aturan tersebut lebih ditekankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Setelah Polemik Merebak, Mendikbudristek Batalkan Kenaikan UKT
Kiai Ma’roef bercerita, Ijtima’ Ulama yang pertama digelar tahun 2003. Saat itu, Kiai Ma'roef menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Wapres pun menekankan bahwa kegiatan Ijtima’ Ulama sangat penting untuk diadakan. Menurut Kiai Ma'roef, kegiatan Ijtima’ Ulama ini secara rutin dilaksanakan setiap 3 tahun sekali, karena setiap 3 tahun akan ada masalah-masalah yang perlu direspon.
Kiai Ma'roef melanjutkan, di dalam Ijtima’ Ulama sebelumnya, salah satu pokok bahasannya adalah mengenai masalah bunga bank, apakah haram atau tidak? Di dalam proses pembahasan pada Ijtima’ Ulama waktu itu lantas menetapkan bahwa bunga bank hukumnya haram. Kiai Ma’roef menjelaskan, penetapan itu karena bunga bank memenuhi kriteria utang yang diberi tambahan dan dijanjikan di muka. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar dikembangkannya perbankan dan keuangan syariah.
“Karena itu, boleh menggunakan bunga bank ketika belum ada Bank Syariah. Kalau sudah ada, daruratnya hilang. Kalau ada air, tayamumnya batal. Kalau tidak ada air, tayamum boleh,” ungkapnya.
Meski begitu, kata Kiai Ma'roef, sebagai negara Muslim dan non Muslim, Indonesia menganut dua sistem perbankan dan keuangan, yakni kovensional dan syariah. Lebih lanjut, Kiai Ma’roef menyampaikan, meski Indonesia mayoritas penduduknya adalah Muslim (sebanyak 87%), tetapi sistem keuangan syariah masih 10%.
“Jangan-jangan kiainya masih konvensional, ustadznya masih konvensional, pengurus MUI masih konvensional,” ujarnya.
Selain itu, kata Kiai Ma’roef, Ijtima’ Ulama sebelumnya juga memutuskan tentang gerakan separatisme. Hasil Ijtima’ Ulama yang membahas hal tersebut menganggap bahwa separatisme merupakan pemberontakan. Kiai Ma'roef kemudian menekankan, yang harus dipahami terkait hal ini adalah bahwa teror bukanlah jihad. Sebaliknya, jihad bukan teror. Sehingga, teror harus diperangi, sementara jihad adalah wajib.
“Selama tujuh kali pertemuan Ijtima’ Ulama, banyak sekali kontribusi yang diberikan dalam membangun negara,” tegasnya.
Baca juga: Peringati 116 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, GPKR Ajak Bangsa Indonesia Bangkit dari Bangkrut
Di bagian lain sambutannya, Kiai Ma'roef mengatakan, ia merasa senang karena Ijtima’ Ulama VIII ini membahas isu-isu global semisal mengenai kemanusiaan dan perdamaian. Wapres RI berharap, forum tersebut dapat terus memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Terkait masalah kenegaraaan, kepada para ulama, Wapres berpesan untuk bertanggung jawab dalam menjaga negara ini agar tetap berada di dalam khithah kebangsaan dan kenegaraan, dan tidak menyimpang. “Menjaga negara ini supaya tetap berada dalam kerangka kesepakatan nasional, sehingga negara ini tetap terjaga. Itulah maka banyak fatwa yang dikeluarkan dari ijtima’ ini,” tegasnya.
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII mengangkat tema “Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat”. Rangkaian acara Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII berlangsung di Ponpes Bahrul Ulum, Sungailiat, Bangka Belitung, tanggal 28 sampai 31 Mei 2024. Sehari sebelum acara pembukaan yang digelar Rabu (29/5/2024) kemarin, telah diselenggarakan sesi-sesi pleno yang memberikan perspektif dalam penguatan pada tema “Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Bangsa”.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!