Beda Suasana Puasa di Jakarta dan Gaza

Beda Suasana Puasa di Jakarta dan Gaza
Keluarga al-Naji sedang berbuka puasa ketika bantuan yang masuk ke Gaza jauh di bawah jumlahnya sebelum perang. / AFP

Kedatangan Ramadan selalu saja membahagiakan. Anak-anak dari berbagai zaman di Jakarta ini selalu tampak gembira, antusias, dan bahagia. Aneka mainan, takjil, dan event ibadah selalu menjadikan Ramadan sebagai momen yang amat spesial dan membahagiakan.

Kebahagiaan yang telah dimulai semenjak masa anak-anak itulah yang akan meninggalkan jejak, memori, dan tentu saja emosi yang khas di setiap kali Ramadan tiba. Saat telah tua, kenangan kegembiraan saat Ramadan datang itu akan kembali menyeruak dalam aneka sergapan bahagia. Tak semua kenangan muncul, namun ada akumulasi rasa yang hadir. Itulah rasa bahagia.

Perasaan ini bersifat universal, tak hanya hadir dan dimiliki oleh kaum muslimin di Jakarta. Kebahagiaan yang dipicu oleh datangnya Ramadan adalah sensasi yang pasti dirasakan oleh semua kaum muslimin di dunia. Apalagi di negeri-negeri yang jumlah penduduknya mayoritas muslim.

Dengan latar budaya dan adat yang berbeda dalam penyambutan dan mengisi kegiatan di bulan suci ini, Ramadan tak pernah kehilangan tuah dan pesonanya untuk memercikkan rasa bahagia di hati kaum muslimin. Peristiwa, suasana, menu berbuka, budaya dan adat kebiasaan yang mengiringi pelaksanaan ibadah saum, pastilah berbeda antar setiap tempat. Namun, rasa bahagia yang menyeruak di setiap kalbu kaum muslimin saat Ramadan kembali hadir, pastilah sama.

Ya, tahun ini sensasi keindahan Ramadan kembali memercikkan bongkah-bongkah kebahagiaan. Jelang berbuka, jalanan di Jakarta semakin macet. Banyak pekerja yang memburu waktu untuk pulang agar bisa berbuka bersama anak dan istri, harus berjibaku dengan padatnya jalan. Beberapa ruas jalan menjadi menyempit, banyak pedagang yang menjajakan menu takjil di pinggir jalan mengakibatkan kerumunan besar, hingga merangsek ke bahu jalan. Pemandangan yang kadang mengesalkan tetapi juga bikin kangen.

Baca juga: Program “Safari Ramadan”, Wujud Keseriusan MUI Dukung Kemerdekaan Palestina

Di rumah, telah siap pula hidangan khas Ramadan. Ada lontong dan gorengan kesukaan warga Batavia yang seakan menjadi menu wajib. Buah segar yang baru keluar dari kulkas, aneka minuman segar yang pastinya dingin, kurma, hingga menu makanan berat yang siap bikin perut buncit dan sesak napas saat menjalankan shalat tarawih. Dengan ragam kualitas, sesuai tingkat ekonomi masing-masing keluarga, semua itu ada.

Anak-anak kita kenyang. Jika tak puas dengan menu bikinan Ibunya, mereka bisa lari ke masjid terdekat. Di sana ada menu takjil yang lebih komplet dan siap untuk dinikmati. Jakarta di bulan Ramadan sungguh penuh berkah.

Aku merasa tak perlu menceritakan lebih lanjut. Toh Anda semua telah melakoni dan merasakannya secara langsung, betapa bahagianya berpuasa di Jakarta.

Bagaimana di Gaza?

Tentu saja di Gaza pun ada rasa bahagia ketika Ramadan tiba. Gaza adalah kota tua dengan sejarah dan tradisi keislaman yang panjang. Mereka yang telah dewasa pasti memiliki ingatan tentang betapa indahnya puasa di kota mereka di saat damai.

Namun, kebahagiaan itu mungkin tak lama, saat melihat anak-anaknya tak lagi bisa merasakan keseruan Ramadan seperti yang dahulu pernah mereka alami. Rumah yang mestinya menjadi tempat untuk bernaung dan berbagi kebahagiaan, ada ruang untuk melingkari menu buka puasa, dan mencicipi bersama hidangan hasil tangan sang istri, kini itu semua tak ada lagi. Rumah mereka bahkan tak ada wujudnya lagi.

Kini mereka menatap Ramadan dari tenda-tenda pengungsian. Di antara rasa sakit dan sedih, anggota keluarga dekat bahkan anak-anak mereka telah syahid. Hari ini masih selamat namun penuh was-was, serangan penjajah Israel yang membabi buta bisa kapan pun terjadi.

Baca juga: Anies Baswedan: “Kita Tak Boleh Berhenti Suarakan Pesan untuk Lawan Kezaliman”

Tatap polos mata anak-anak seperti pisau tajam yang mengiris hati. Mereka berhak untuk bahagia di bulan Ramadan ini. Mereka berhak untuk mendapatkan takjil terbaik. Mereka berhak untuk bersenda gurau sembari menuju masjid. Tetapi tatapan mereka hanya terbentur pada piring kosong dan ingatan tentang rumah yang telah hancur.

Tak ada kulkas di sudut dapur. Tak ada minuman segar. Tak ada buah-buahan. Bahkan mereka tak punya stok bahan makanan untuk berbuka sore nanti. Sesungguhnya, mereka telah dipaksa oleh keadaan untuk berpuasa, bahkan sebelum Ramadan tiba!

Beberapa di antara mereka beruntung masih ada jatah ransum dari para relawan. Itu pun dengan antrean yang panjang. Tak sedikit pula yang tak mendapatkannya karena dapur umum di kawasan pengungsian mereka telah pula kehabisan stok makanan.

Shalat Tarawih mereka gelar di antara puing-puing bangunan yang telah runtuh. Tanpa listrik dan kucuran air bersih.

Sungguh kontras pemandangan Ramadan di Jakarta dan Gaza. Tidakkah kita yang di Jakarta bersyukur?

Mereka saudara muslim kita, umat Kanjeng Nabi Muhammad saw juga, penyembah Allah Tuhan Yang Satu. Adakah duka mereka duka kita juga?

Semoga kaum muslimin di seluruh dunia, dan khususnya di Jakarta, punya kesadaran kolektif. Setidaknya memanfaatkan momentum Ramadan yang penuh berkah ini untuk berdoa kebaikan bagi kaum muslimin di Gaza, dan siap membantu mereka dengan harta kita manakala ada pihak resmi yang mengumpulkan donasi untuk mereka. Kiranya Allah mengakhiri derita kaum muslimin di Gaza dan menghancurkan Israel laknatullah dengan kuasa-Nya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.