Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 15): Cicak vs Buaya Jilid 2

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 15): Cicak vs Buaya Jilid 2
Ilustrasi Cicak dan Buaya oleh Ichsan / sabili.id

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kelimabelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.

Tanggal 5 Oktober 2012, sekitar pukul 21.00 WIB, HP saya berdering. Suara dari seberang telepon memintaku segera ke kantor. Saat itu juga. Kutanya, apa yang terjadi? Rapim darurat, jawabnya.

Tiba di pekarangan kantor KPK, suasana sangat ramai. Mendekati seram! Banyak polisi bersenjata lengkap. Banyak aktivis dan rakyat juga hadir di pekarangan kantor KPK. Mungkin seribuan orang anggota masyarakat sipil berada di tempat itu. Saya langsung menuju lantai tiga, tempat di mana Rapim yang diperluas biasa berlangsung.

Kantor KPK Dikepung Polisi

Malam itu, ratusan polisi, bersenjata laras panjang, mengepung kantor KPK. Ada Anggota Polisi Bengkulu, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri. Di antara mereka, ada yang berpakaian preman. Sebagian lainnya berseragam lengkap Provos.

Tiga pintu masuk pekarangan kantor KPK dijaga polisi berpakaian preman. Namun, pintu utama kantor KPK dijaga polisi yang berseragam lengkap. Ada pula yang berada di lantai 1, mengenakan baju batik. Situasi cukup tegang. Sebab, Densus 88 pun dikerahkan untuk mengepung kantor KPK.

Di dalam Rapat Pimpinan (Rapim) yang Diperluas malam itu, diinformasikan bahwa polisi mau menangkap Novel Baswedan. Alasan polisi, Novel terlibat kasus penganiayaan sewaktu bertugas di Bengkulu. Padahal, kasus tersebut terjadi pada tahun 2004.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 14): Pertarungan Cicak vs Buaya

Rapim sepakat, kasus Novel diselesaikan secara prosedural, sesuai SOP, baik yang ada di KPK maupun Polri. Apalagi, upaya paksa yang dilakukan Polri itu tidak lama setelah Novel dan kawan-kawannya mentersangkakan Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Polri. Jadi, apa yang dilakukan Polri malam itu, bukan murni proses hukum. Ia lebih cenderung merupakan usaha menghalang-halangi penanganan kasus korupsi yang tengah ditangani KPK. Oleh karena itu, Rapim menetapkan, tidak membiarkan Novel ditangkap di malam itu.

TNI Menjaga Kantor KPK

Saya, setelah mendengar penjelasan Pimpinan, membisiki rekan Penasihat di sampingku, “Inilah yang dimaksud corruptor fight back.”

Prof. Zainal Abidin, rekan Penasihat ini, menatapku, heran. Saya lalu jelaskan secara bisik-bisik. “Bukankah saudara Novel mau ditangkap Polisi setelah beliau dan kawan-kawannya menetapkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka? Jadi hal ini merupakan salah satu bentuk perlawanan balik dari para koruptor,” bisikku.
“Polisi tidak boleh dibiarkan arogan. Saya akan hubungi Kopassus,” respon langsung rekan Penasihat ini. Kujabat tangannya sambil mengacungkan kedua jempolku.

Malam itu, rekan penasihat, almarhum Profesor Zainal Abidin, langsung mengirim pesan lewat WA ke kerabatnya di Kopassus. Maklum, beliau sebelum menjadi Penasihat KPK, biasa mengajar di Lembaga Administrasi Negara (LAN) di mana ada anggota Kopassus menjadi mahasiswanya. Profesor Zainal Abidin meminta agar Kopassus mengirimkan pasukan untuk melindungi kantor KPK.

Di waktu yang sama, Johan Budi, Jubir KPK, atas arahan Pimpinan, menghubungi Menko Polhukam, Jenderal Djoko Suyanto. Johan melaporkan kegentingan yang terjadi di kantor KPK malam itu. Follow up-nya, puluhan personel TNI, termasuk pasukan elite antiteror TNI Angkatan Laut, Detasemen Jala Mangkara, mendatangi kantor KPK. Mereka diperintahkan untuk menjaga KPK dari gangguan pihak mana pun. Anti klimaksnya, 6 Oktober pukul dua dinihari, pasukan Polri mengundurkan diri dari pekarangan kantor KPK tanpa membawa Novel Baswedan.

Pencuri Sarang Burung Walet

Novel Baswedan sebagai Kepala Satkrim Polres Bengkulu, 18 Februari 2004, memimpin anak buahnya menangkap pencuri burung walet di toko milik A Liang. Keenam korban yang mengalami luka tembak di kaki itu adalah: Mulyani Johani alias Aan, M Joni, Irwansyah Siregar, Rizal Sinurat, Dedi Mulyadi, dan M Kusliansyah. Mulyani Johani alias Aan akhirnya meninggal dunia.

Atas kejadian tersebut, Novel dan kawan-kawannya dihadapkan ke pemeriksaan pelanggaran kode etik. Sebelumnya, Novel ditahan kurungan selama 14 hari. Namun, dalam persidangan etik, Novel dijatuhi hukuman teguran. Bahkan, beliau tetap menjabat Kastkrim Polres Bengkulu.

Persoalan kemudian dianggap selesai. Buktinya, saudara Novel memeroleh rekomendasi Mabes Polri untuk mengikuti seleksi pegawai KPK. Beliau lulus. Bahkan, beliau termasuk salah seorang Penyidik KPK yang berprestasi.

KPK dan “Corruptors Fight Back”

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 12): Koruptor dan Burung Nuri

Benarkah kasus Cicak – Buaya jilid 1 disebabkan Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji, memperalat institusi Polri untuk melawan KPK? Ataukah komunitas Polri yang cemburu terhadap kegagahan dan keberhasilan KPK? Mungkin pula koruptor memperalat pejabat tertentu di Polri untuk bermusuhan dengan KPK. Apakah ini yang disebut Taufiequrahman Ruki, Ketua KPK jilid 1, sebagai corruptors fight back?”

Kasus Cicak – Buaya jilid 2 ini bermula dari penetapan tersangka Irjen Djoko Susilo oleh Novel dan kawan-kawan. Tetiba, kasus Novel 8 tahun sebelumnya, diungkit kembali. Padahal, tahun 2004 kasus tersebut sudah selesai di internal Polda Bengkulu sendiri.

Menariknya, Syafriadi Cut Ali, salah seorang anggota Kompolnas yang menyelidiki kasus ini, mengatakan, berdasarkan sejumlah informasi dari berbagai saksi ditemukan bahwa ada keterangan yang saling bertentangan. Bahkan, kepada wartawan di Gedung KPK, 16 Oktober 2012, Syafriadi mengatakan, di antara 22 saksi yang diperiksa, ditemukan ada keterangan yang saling bertentangan dan tidak masuk di akal.

Sejatinya, kasus ini merupakan adegan Cicak – Buaya jilid 2. Pada waktu kasus Cicak – Buaya jilid 1, Kabareskrim Mabes Polri tersinggung karena merasa disadap KPK. Kali ini, Mabes Polri tersinggung karena Novel dan kawan-kawannya menangkap Irjen Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Mabes Polri. Djoko Susilo terlibat dalam pengadaan alat Simulator SIM yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar 196 milyar rupiah.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Antonius, abang korban, yang mengatakan, “Jika murni mau mengungkap pembunuh adik saya itu, kenapa tidak dari dulu sesaat setelah kejadian? Kenapa justru ketika Kompol Novel Baswedan yang telah menjadi penyidik di KPK sedang menangani kasus dugaan korupsi di tubuh Polri itu sendiri?"
Antonius ke wartawan mengatakan, “Keluarga sudah ikhlas dan menerima kepergian adikku, Mulyani Johani. Bahkan, kala itu antara pihak korban dengan Polres Bengkulu sudah bersepakat untuk berdamai dan tidak akan menuntut di belakang hari.  Jika memang murni mau mengusut kasus adik saya itu, ya silakan. Namun jangan sampai kami dijadikan kambing hitam demi kepentingan politik tingkat tinggi."

Masih adakah kasus-kasus corruptors fight back(perlawanan balik para koruptor) yang baru? Semoga tidak!

(Depok, 24 Agustus 2023)

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.