Kebebasan Semu dan Urgensi Dakwah Bi al-Qalam

Kebebasan Semu dan Urgensi Dakwah Bi al-Qalam
Photo by Aaron Burden on Unsplash

Sabtu 6 April 2024, saya hadir di acara launching buku berjudul “Kebebasan Perspektif Barat dan Islam” karya Reisya Callista. Acara yang diikuti lebih dari 100 peserta dan mengambil tema “Kebebasan Perspektif Barat dan Islam” ini berlangsung secara online. Reisya, demikian ia akrab disapa, merupakan mahasiswi semester 5 Jurusan Jurnalistik dan Pemikiran Islam Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohamad Natsir, Jakarta. Buku setebal 100-an lebih halaman ini merupakan salah satu karya ilmiah atau buku terbaru Reisya yang terbit pada momentum Ramadan 1445 H (Maret 2024).

Acara ini langsung dipandu oleh Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) dan Dosen di STID Mohamad Natsir. Pada forum ini, Reisya menyampaikan beberapa hal penting. Pertama, kebebasan merupakan inti peradaban Barat modern. Menurut dia, Barat sangat akrab dengan kebebasan. Bahkan pengaruhnya sudah menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia. Pada tataran praktis, gerakan kebebasan ala Barat telah menimbulkan berbagai tindakan yang pada umumnya melawan tradisi baku masyarakat dunia.

Misalnya, kebebasan Barat telah melegalkan pernikahan sesama jenis: laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Hal ini berlangsung di beberapa negara Barat dan paham itu kini menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada awalnya dianggap biasa. Namun belakangan, berbagai elemen dan masyarakat mulai resah dan merasa khawatir. Sebab, tak sedikit anak mereka yang menjadi korban.

Di antara alasan kelompok berpandangan “bebas” ini adalah bahwa bercinta dan mencintai siapa pun, termasuk sesama jenis, merupakan hak azasi. Secara sepintas, pemahaman semacam itu rasional, namun substansinya mengandung racun yang berbahaya. Sebab, cinta dalam Islam tidak berarti menabrak hal-hal luhur dan melampaui batasan agama, dalam hal ini terutama Islam. Justru cinta ada dalam satu paket dengan ketaatan pada ajaran Islam. Cinta memiliki standar dan pasti sesuai dengan fitrah juga naluri asli manusia.

Kedua, kebebasan absolut. Menurut Reisya, kelompok gerakan kebebasan ini kerap menyampaikan bahwa siapa pun memiliki hak untuk melakukan tindakan sesuai dengan seleranya, termasuk dalam mengespresikan seni yang vulgar dan melanggar standar keyakinan atau budaya tertentu. Sehingga, kelompok ini tak tanggung-tanggung untuk sengaja membuka jilbab di tempat umum atau tidak berjilbab lagi sebagai sebuah pilihan atau kebebasan hidup.

Baca juga: Proklamasi Kedua Indonesia

Kebebasan semacam ini merupakan kebebasan ala Barat. Kebebasan untuk memilih sesuatu berdasarkan kehendak manusia sesukanya. Hal ini diperjuangkan dengan tema besar “Liberty” dan “Fredom” yang dimaknai secara keliru, dan sesuai kehendaknya, berpijak pada HAM yang manipulatif serta menepikan adanya aturan agama dalam hal ini Islam.

Ketiga, implikasi kebebasan Barat. Menurut Reisya, implikasi dari kebebasan ala Barat semacam itu di antaranya, adanya gerakan nikah sesama jenis, munculnya aktivitas nikah beda agama, dan kampanye bebas dari belenggu ajaran agama, terutama Islam. Kelompok ini pun meyakini bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih agama dan menjalankan agama sesuai seleranya. Bahkan termasuk bebas untuk tidak beragama, karena agama – terutama Islam – dianggap mengekang dan menghambat ekspresi kebebasan manusia.

Keempat, kebebasan dalam Islam. Menurut Reisya, dalam Islam, kebebasan memiliki makna tersendiri. Ada tiga terminologi yang akrab dengan kata kebebasan atau bebas dalam khazanah Islam. Pertama, Hurriyah, yang secara sederhana bermakna bebas dari perbudakan, artinya lebih bermakna menunjukkan sebuah kondisi. Kedua, Istiqlal, bebas dari penjajahan, yaitu sebuah hasil dari proses perlawanan terhadap kezoliman. Ketiga, Ikhtiyar, bebas untuk memilih yang disertai adanya usaha maksimal pada jalur yang benar.

Reisya berpandangan bahwa bebas dalam Islam bisa dipahami dari rumusan Prof. Naquib al-Attas. Prof. al-Attas berpandangan bahwa kebebasan dalam Islam itu lebih tepat menggunakan terminologi al-Khiyar, yaitu proses memilih pilihan yang baik dan bukan memilih yang mencelakakan manusia. Berdasarkan pandangan ini, kebebasan menunjukan sebuah usaha dan kondisi, dimana seseorang yang memilih pilihan mesti bebas dari hawa nafsu, sebab ia mesti memilih pilihan secara rasional dan memilih berdasarkan ilmu yang sesuai dengan syariat Islam.

Singkatnya, kebebasan dalam Islam didasari oleh ilmu yang kokoh, proses pemilihan yang rasional dan menuju pada kondisi manusia yang paripurna (al-insan al-kamil) yaitu manusia yang beradab. Seseorang manusia yang beradab tidak dimaknai secara sempit sekadar sopan santun. Kebebasan dalam Islam berujung pada munculnya keyakinan, sikap dan perilaku taat pada ajaran Islam dan menyelisihi berbagai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Islam.

Baca juga: Pak Natsir dan Dakwah Bil Hikmah untuk Indonesia

Jadi, kebebasan dalam Islam itu secara sederhana bisa dirumuskan dengan “Ilmu - Ikhtiyar - Adab”. Adab menempatkan sesuatu sesuai dengan martabat atau tempatnya. Artinya, pada saat seseorang tidak memilih sesuatu yang benar, maka ia sejatinya sedang tidak beradab. Pada saat seseorang tergoda pada sikap bebas yang menyelisih dari Islam, maka sejatinya ia sedang menjalani kehidupan yang bertentangan dengan fitrahnya sendiri sebagai manusia yang dicipta oleh Allah.

“… Kebebasan sesungguhnya berarti bekerja, berbuat, bertindak menurut kehendak sifat asli atau tabiat hakiki insani, karena pekerjaan, perbuatan, dan tindakan yang dianjurkan oleh sifat asali insani itu membawa insani kembali semula ke derajat diri hakiki,” begitu kutipan Reisya pada PPT materi yang ia kutip dari buku Prof. al-Attas, “Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak”, Kuala Lumpur, 2013, halaman 23.

Di ujung materinya, Reisya menyampaikan bahwa konsep “kebebasan” ala Barat dan Islam itu berbeda. Barat memilih jalan kebebasan karena trauma dengan pengalaman mereka yang terkekang oleh sejarah kelamnya, yaitu konflik agamawan dan ilmuwan yang berujung pada pertumpahan darah dan saling menafikan peran masing-masing.

Sedangkan kebebasan dalam Islam dilandasi oleh syariat dan berada pada jalur yang baik dan benar. Kebebasan dalam Islam berwujud menjadi sikap ikhlas seorang untuk memilih menjadi hamba Allah yang didasari oleh pandangan Allah yang sesuai dengan fitrah manusia.

Dari pandangan semacam itu, dapat dikatakan bahwa kemanusiaan seseorang tergantung sejauh mana dirinya sempurna dalam menghamba kepada Allah. Ketika seseorang menjauh dari ajaran Allah, maka dia bakal menjadi makhluk yang berwatak binatang bahkan lebih buruk dari watak binatang. Jika manusia sudah terjebak pada level demikian, sejatinya ia sudah kehilangan substansi kemanusiaannya.

Baca juga: Indonesia Emas 2045 dan Sekularisasi Pendidikan

Saya berpandangan, kebebasan dalam Islam didasari oleh keyakinan yang kokoh dan tunduk secara sadar kepada ajaran Islam. Maknanya, kebebasan dalam Islam bukan tunduk yang terpaksa, tetapi tunduk yang teratur dan terbimbing oleh wahyu Allah dan sesuai dengan fitrah manusia yang mulia-memuliakan.

Di dalam rangka menjaga pemahaman yang benar tentang kebebasan, maka diperlukan proses pendidikan yang benar. Untuk itulah, menurut Dr. Adian Husaini, Dewan Dakwah melalui berbagai lembaga pendidikan tinggi semisal STID Mohamad Natsir telah dan akan terus melakukan pengkaderan generasi unggul Indonesia, yaitu generasi pejuang yang mencintai ilmu dan dakwah.

Harapannya, generasi pejuang semacam itu bukan saja menjalankan peran dai di sektor birokrasi, perguruan tinggi, dan berbagai sektor publik lainnya, tetapi juga hadir sebagai dai di tengah masyarakat. Bagaimana pun, secara sadar kita harus akui bahwa berbagai permasalahan yang muncul termasuk pemikiran dan gerakan “kebebasan” yang melampaui batas adalah bahan ujian. Di sini kita dituntut untuk menjadi dai yang arif dan bijaksana, bukan dai yang terjebak menjadi hakim.

Kita perlu melakukan penguatan opini di tengah masyarakat, menghadirkan tulisan (termasuk dalam bentuk buku) yang mencerahkan dan mencerdaskan, sehingga masyarakat mendapatkan penjelasan yang utuh, dan tidak terjebak pada pemahaman dan gerakan yang keliru. Kita juga berharap agar mereka yang terjebak bahkan menjadi penggerak berbagai pemahaman yang keliru akan mendapat petunjuk dari Allah, sehingga kembali kepada pemahaman dan perilaku yang benar berdasarkan panduan dari Allah, yaitu Al Qur’an dan al-Hadits.

Dewan Dakwah dengan bingkai “Dakwah bi al-Hikmah”-nya telah dan akan terus menjadi pengisi barisan depan dalam rangka menjalankan peran dakwah. Jika “Dakwah bi al-Qalam” dalam bentuk buku yang dilakukan oleh Reisya dan kawan-kawannya berhenti, maka aksi kebebasan yang berwujud dalam bentuk menikah sesama jenis, menikah beda agama, dan berbagai perilaku buruk lainnya, bakal menyerang bahkan menjadi bencana yang membahayakan bangsa dan negeri kita, Indonesia.

Baca juga: MK Tak Perlu Khawatir Keputusan yang Diambil Akan Mendiskualifikasi Gibran

Kita sangat bersyukur karena STID Mohamad Natsir telah mengirimkan ribuan lulusan untuk menjalankan peran dakwah di berbagai penjuru Nusantara, termasuk di Maluku, Papua, NTT, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan sebagainya. Lembaga pendidikan Dewan Dakwah di berbagai kota atau daerah juga akan terus menjalankan proses kaderisasi secara serius dan berjenjang, sehingga melahirkan para pejuang dakwah yang memiliki keyakinan yang kokoh, ilmu yang kuat dan berwawasan luas, serta berjiwa pejuang. Insya Allah merekalah yang kelak dapat menjalankan tugas-tugas dakwah di berbagai institusi atau Lembaga, juga di tengah masyarakat.

Kita sangat berharap, para penekun ilmu di lembaga pendidikan Dewan Dakwah terutama STID Mohamad Natsir terus melahirkan tulisan terutama buku yang berkualitas. Hal ini sangat penting mengingat minimnya bacaan semacam itu di tengah masyarakat yang kini terjebak hoax dan konten-konten yang merusak keyakinan dan pemahaman keagamaan umat Islam. Semoga seluruh ikhtiar yang kita jalankan, termasuk dalam bentuk buku, menjadi bagian amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, bukan saja bagi para penulis, dai dan pendidik di lembaga Pendidikan, tetapi juga bagi para pendiri sekaligus tokoh Dewan Dakwah, termasuk Pak Mohamad Natsir!

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.