Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 13) : Kemenag, Haji dan Korupsi

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 13) : Kemenag, Haji dan Korupsi
Ilustrasi Kemenag dan Uang oleh Ichsan / Sabili.id

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri ketigabelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.

Pertama kali kupijak bumi Hijaz, tahun 2008. Saya dan istri melaksanakan rukun Islam terakhir, ibadah haji. Kepala Kantor Agama Depok, sewaktu acara Bimtek, meminta calon jamaah membayar sekianpuluh ribu rupiah. Uang itu untuk honor mengangkut koper calon jamaah ke bandara. Kutanyakan, mereka yang diberi honor itu pegawai Kemenag atau bukan? Jawabannya, mereka adalah pegawai Kemenag. Kukatakan, honor itu gratifikasi. Harus dilaporkan ke KPK. Inilah korupsi pertama dalam ibadah haji Indonesia.

Kepala Kantor Agama membela diri. Menurutnya, koper-koper calon jamaah tersebut dibawa ke bandara, bukan pada jam kerja. Jadi, mereka harus diberi “upah.”

“Masukkan ke dalam anggaran Kementerian Agama,” kataku. Kujelaskan salah satu perbedaan antara Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada masa Orde Baru, ada dana “Non budgeter.” Pada masa Orde Reformasi, semua dana harus “Budgeter”. Mesti tercatat dalam APBN/APBD. Kusarankan, Depok bisa jadi pionir dalam masalah tersebut. Ajukan ke Kementerian Agama agar dana-dana pengurusan calon jamaah di luar ONH, dimasukkan ke dalam APBN/APBD.

Sayur Kol, Ikan Teri, dan Korupsi

Petugas Bimbingan Haji, Kemenag Depok, sewaktu sosialisasi menjelaskan; selama di Madinah jamaah akan disediakan makan tiga kali sehari. Lauknya ayam atau daging. Faktanya, calon jamaah disuguhi, sayur kol dan ikan teri.

Petugas haji sewaktu diklarafikasi hal tersebut, berdalih irasional. Menurutnya, menu tersebut untuk mengingatkan calon jamaah terhadap kampung halamannya. Calon jamaah dari kampung yang lugu, manggut-manggut. Keinginan untuk memperoleh haji mabrur, membuat mereka ikhlas menerima perlakukan apa saja dari petugas.

Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (12): Koruptor dan Burung Nuri

“Abang, izinkan saya melacak soal lauk jamaah ini ke tukang masak,” kata Pak Edy. Beliau jamaah sekamarku. Beliau pegawai Pemda DKI. Alumni HMI. Sebagai mantan aktivis, beliau penasaran. Kusetujui usulnya. Hasil pelacakannya, menyedihkan. Menurut tukang masak, anggaran konsumsi sejatinya sekian real. Namun yang mereka terima berbeda. Jadi, anggaran konsumsi calon jamaah haji tersebut sudah disunat. Ini korupsi kedua ibadah haji Indonesia.

Mabit di Mina dan Korupsi

Petugas haji, sewaktu di Madinah menjelaskan; calon jamaah tidak mabit di Mina pada hari tarwiyah. Calon jamaah dari Makkah langsung ke Arafah. Saya protes. Sebab, Rasulullah SAW dan para sahabat menginap semalam di Mina dan besok paginya ke Arafah. Alasan Petugas haji, tenda di Mina belum dipasang. Saya manggut saja. Maklum, inilah pertama kali, kuziarahi Makkah dan Madinah.

Calon jamaah memasuki kota Makkah malam hari setelah delapan hari berada di Madinah. Ada program ziarah di Makkah. Calon jamaah dibawa ke tempat-tempat bersejarah. Salah satunya, calon jamaah mengunjungi Mina. Saya terkejut. Sebab, kemah di Mina sudah terpasang. Permanen.

Insting sebagai orang KPK, bekerja: Ada dua ratus ribuan calon jamaah Indonesia. Menurut SOP, selama di Madinah dan Mina, makanan ditanggung Kemenag. Calon jamaah selama di Makkah, tanggung sendiri. Sebab, Kemenag memberi uang makan. Uang tersebut berasal dari ONH yang disetor calon jamaah.

Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 11): Pegawai KPK Mundur karena Terima Bandeng Presto

Jika calon jamaah “Mabit” (nginap) di Mina maka mereka harus dilayani Kemenag. Jika sekali makan, sepuluh real, maka biaya yang diperlukan = 200 ribu x 10 real = dua juta real. Jika makan tiga kali sehari, bermakna perlu enam juta real. Calon jamaah dari Makkah ke Mina perlu enam ratus bus. Kemenag harus keluarkan sekian juta real untuk sewa bus. Jumlah yang relatif besar diambil oleh pelaksana haji ketika calon jamaah tidak mabit di Mina. Ini korupsi ketiga dalam ibadah haji Indonesia.

Penginapan dan Korupsi

Calon jamaah haji dari Depok menempati hotel di Kawasan Aziziyah. Kamar yang berbentuk aula dihuni sepuluh orang. Jarak hotel sekitar 7 km dari Masjidil Haram. Calon jamaah negara lain, menempati hotel yang tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram. Saya belum punya data waktu itu, apakah hal ini merupakan korupsi keempat dalam ibadah haji Indonesia.

Satu hal yang pasti, kami harus bangun paling lambat pukul dua dinihari untuk tidak terlambat shalat subuh berjamaah di Masjidil Haram. Sebab, kami harus antri naik bus. Tidak kalah penting, kami akan shalat di luar masjid jika terlambat. Sebab, pukul dua dinihari, pelataran Ka’bah sudah penuh. Lantai satu Masjidil Haram pun penuh. Apalagi jika tiba pukul tiga atau empat dinihari, calon jamaah akan shalat di luar masjid. Tragisnya, pada waktu “Peak session”, perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram dapat mencapai waktu satu jam.

Dokter Haji dan Korupsi

Selama dua pekan di Makkah, saya tidak pernah lihat dokter rombongan. Beliau sibuk melakukan ritual umrah dan haji. Hanya sekali, sewaktu dia mendatangi aula tempat kami nginap. Ada salah seorang calon jamaah yang sakit. Dialog mereka menarik. Dokter menanyakan, apakah pasien membawa vitamin? Pasien mengiyakan. Dokter lalu tidak beri vitamin ke pasien. Tragisnya, dokter bilang begini: “Ini anti biotik, separuh. Nanti kalau belum sembuh, minta lagi,” itulah kurang lebih kata-kata dokter yang masih kuingat. Inilah korupsi kelima dalam ibadah haji Indonesia.

Berpisah dari Jamaah Kemenag

Kuusahakan selalu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Termasuk ibadah haji. Sebab, haji mambrur merupakan impian setiap calon jamaah. Padahal, haji mabrur sesuai sunnah Rasulullah SAW maka calon jamaah mabit di Mina pada hari Tarwiyah. Olehnya, sehari sebelum hari Tarwiyah, kuhubungi ustaz Syuhada Bachri, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Kuminta agar bisa bergabung dengan calon jamaah DDII. Sebab, sepengetahuanku, ritual haji yang dilakukan DDII, sesuai sunah Rasulullah SAW. Ustaz Syuhada setuju. Tanpa tambahan bayaran.

Aku lapor pada Ketua Kloter Depok, bahwa saya dan istri akan berpisah dari rombongan Kemenag sewaktu ritual haji. Ketua Kloter terpaksa setuju. Syaratnya, saya harus membuat surat pernyataan. Isi Pernyataan, segala risiko yang terjadi selama prosesi ritual haji, menjadi tanggung jawab pribadi. Kubuat Surat Pernyataan. Kutulis, segala risiko yang terjadi selama ritual haji, kuserahkan kepada Allah SWT.

Di Mina, Aku temui banyak calon jamaah yang mabit. Mereka calon jamaah yang ikut travel haji swasta. Bukan melalui Kemenag. Wajar jika calon jamaah melalui travel, biaya haji lebih mahal dari ONH Kemenag. Sebab, travel harus mengeluarkan jutaan real untuk sewa bus dan makan calon jamaah di Mina.

Menteri Agama Masuk Bui

Tiba di kantor, sekembali dari ibadah haji, kujumpai Direktorat Litbang KPK. Kuminta KPK selidiki pelaksanaan ibadah haji. Sebab, kutemui banyak indikator korupsi. Pada musim haji tahun berikutnya, tepatnya tanggal 11 November 2009, Tim KPK berangkat ke Arab Saudi. Mereka mendatangi dan memantau semua daerah kerja, termasuk Jedah, Madinah, dan Makkah.

Hasil pemantuan Tim KPK ini dilaporkan ke pemerintah dan DPR. KPK, pada tanggal 6 Mei 2010 menyampaikan 11 rekomendasi dengan 48 action plan ke Kementerian Agama. Anggito Abimanyu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, meminta waktu dua tahun ke KPK guna melaksanakan rekomendasi tersebut. Namun, perkembangan terakhir, KPK tidak punya pilihan lain kecuali menangkap menteri agama. Sebab, 48 action plan yang diajukan ke Kemenag, tidak mendapat respons positif. Akhirnya 22 Mei 2014, KPK menahan Suryadharma Ali. Tuduhannya; Suryadharma Ali menyalah-gunakan wewenang terhadap pelaksanaan haji tahun 2010 – 2013. Tragisnya, tanggal 2 Juli 2015, KPK tetapkan kembali Suryadharma sebagai tersangka dengan kasus baru, penyalahgunaan dana kementerian. Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya menjatuhkan hukuman enam tahun penjara. Suryadharma ajukan banding. Pengadilan Tinggi Jakarta justru menaikkan hukuman menjadi 10 tahun penjara. Inilah menteri agama kedua yang dibui APH.

(Depok, 23 Juli 2023).

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.