Perahu Nabi Nuh dan Pentingnya Visi Ilahiah bagi Pemimpin

Perahu Nabi Nuh dan Pentingnya Visi Ilahiah bagi Pemimpin
Photo by orbtal media on Unsplash

Jauh sebelum banjir itu datang, Nabi Nuh alaihissalam telah mendapatkan visi tentang bencana yang akan datang menimpa. Maka, Nuh, berbekal informasi dan perintah Allah SWT, telah semenjak jauh hari mulai menanam pohon (konon pohon jati) yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal. Kapal tersebut akan menjadi sarana penting bagi Nabi Nuh untuk menyelamatkan umatnya dari bencana banjir yang sangat dahsyat.

Saat pohon itu telah matang dan siap untuk dijadikan bahan pembuatan kapal, mulailah Nabi Nuh dibantu para pengikutnya mengerjakan project yang sungguh luar biasa ini. Perahu itu dibangun di atas daratan yang tinggi. Jauh dari sungai, apalagi lautan. Dikerjakan pada saat musim kering pula.

Pengikut Nabi Nuh juga tak semuanya paham, mengapa nabi mereka mengajak membuat perahu di atas bukit di musim kemarau? Tetapi keimanan yang kuat membuat mereka tak banyak bertanya tentang project itu. Dengan penuh ketaatan, mereka membantu Nabi Nuh alaihissalam untuk menyelesaikan proses pembuatan bahtera itu.

Berbeda dengan sikap kaum Nuh, dan terutama para elitnya, yang memang dari awal memusuhi gerakan dakwah Nabi Nuh. Apa yang dilakukan Nuh alaihissalam itu bagi mereka sungguh kegilaan yang nyata!

Bukit yang awalnya sepi menjadi ramai oleh orang yang ingin lewat di sekitar project perahu Nabi Nuh. Bukan untuk melihat pekerjaan Nuh dan pengikutnya, tetapi sekadar untuk memperolok sembari memprovokasi pengikut Nabi Nuh agar segera sadar tentang kegilaan Nuh alaihissalam.

Baca juga: Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 1): Syariat dan Kepemimpinan

Olok-olok itu begitu luar biasa, sebagaimana digambarkan oleh Allah di dalam Al Qur'an surat Hud ayat 38: “Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, ‘Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami)’.”

Dan visi Nuh pun terjadi. Negeri itu dilanda banjir hebat. Rumah tenggelam, pohon tenggelam, dan kemudian gunung pun ikut karam oleh banjir besar itu. Perahu Nuh yang dibangun di atas bukit pun mulai mengapung menyelamatkan mereka yang beriman dari malapetaka banjir itu.

Bagi Nuh yang memiliki visi ilahiah, membangun perahu di atas bukit adalah pilihan tepat. Begitu air telah tinggi, maka kapal akan mengapung sempurna tanpa oleng dan benturan, karena yang lain telah karam. Sementara bagi kaumnya dan para pemimpin kaum tersebut yang tidak memiliki informasi apa pun tentang apa yang bakal terjadi di masa depan, sudah barang tentu memandang aneh kegiatan Nabi Nuh.

Visi ilahiah Nabi Nuh mungkin tak dimiliki oleh para pemimpin kaum tersebut. Umumnya, para pemimpin adalah orang-orang yang dihormati kaumnya karena kepintaran dan kompetensi lainnya. Karena pintar, umumnya para pemimpin adalah orang yang visioner melampaui orang kebanyakan. Visi tersebut umumnya muncul dari kematangan ilmu dan penguasaan sains yang ditunjang oleh pengalaman hidup. Dengan kemampuannya itu, para pemimpin umumnya mampu membaca trend yang akan terjadi di masa depan melaui data dan analisa saintifik.

Bagi para pemimpin kaum Nuh alaihissalam, membangun perahu jauh dari sungai dan laut adalah tindakan yang tanpa visi. Asumsi ini sesungguhnya tak terlalu salah, karena analisa mereka berdasar sains tentang teknologi perkapalan yang tujuan utamanya adalah membuat kapal yang bagus dan mudah dimanfaatkan. Bayangan meraka tentang membuat kapal di atas bukit, jauh dari sungai dan laut, tentu rumit dan butuh biaya tinggi untuk sekadar bisa menggotongnya ke laut tanpa rusak.

Sama-sama membuat kapal tetapi beda visi tentang untuk apa kapal itu digunakan. Para pembesar negeri kaum Nabi Nuh hanya melihat kapal sebagai moda transportasi belaka. Dengan pertimbangan yang serba teknis dan berjangka pendek pula.

Ini berbeda dengan visi ilahiah Nuh alaihissalam. Beliau membuat kapal tak semata untuk keperluan teknis jangka pendek. Kapal itu dibuat dengan visi ilahiah, berdasarkan petunjuk langsung dari Allah yang Maha Tahu. Tujuan pembuatannya tak sekadar untuk alat transportasi belaka. Kapal Nuh memiliki tujuan yang sangat jauh. Ia diinstruksikan untuk dibuat dalam rangka menyelamatkan spesies manusia di muka bumi, juga makhluk hidup yang lainnya, secara berpasangan agar kehidupan di bumi tetap lestari setelah bencana besar menimpa.

Baca juga: Menemukan Kembali Kelezatan Ibadah Yang Hilang

Visi ilahiah inilah yang membedakan kualitas seorang pemimpin. Ada pemimpin yang sekadar mampu membangun tetapi gagal menyelamatkan substansi kehidupan. Atas nama developmentalisme, justru lahir krisis lingkungan hidup yang mengancam kehidupan. Atas nama pembangunan, justru muncul kesenjangan yang menganga. Demi kelancaran transportasi lahan pertanian beralih fungsi, membuat ribuan keluarga petani kehilangan mata pencaharian dan masa depan!

Jauh-jauh hari Allah mensinyalir gejala ini dalam surat Al Baqarah ayat 11: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan’.”

Para pemimpin perlu memiliki visi ilahiah, agar dalam memberi arah kebijakan bagi kaumnya, selain memiliki pertimbangan saintifik juga memiliki pertimbangan ruhaniah yang dibimbing oleh hidayah Allah SWT. Di dalam tradisi Jawa, ada istilah “weruh sak durunge winarah” (tahu tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi), yang menggambarkan kearifan dan wawasan orang bijak berdasarkan bisikan atau ilham dari Allah SWT.

Visi ilahiah ini penting. Setidaknya dalam memberikan kendali atas pertimbangan-pertimbangan yang semata-mata rasional. Dimensi baik dan benar begitu luas, tak semata berbasis rasionalitas, ada kawasan perasaan, keadilan, dan kemanusiaan, yang terkadang luput dari pertimbangan rasional saintifik.

Bagaimana visi ilahiah ini diasah? Tentu bukan dengan klenik dan perdukunan. Memalukan sekali jika di era 4.0 ini masih ada politisi dan pemimpin pemerintahan yang menggunakan cara-cara yang menyesatkan dan irasional. Satu-satunya cara adalah dengan mengintensifkan komunikasi langsung dengan Allah SWT melalui ibadah. Menyempurnakan ibadah wajib dan memperkaya dengan banyak ibadah sunnah. Serta memaknai bahwa kepemimpinan yang diamanahkan adalah jalan pengabdian kepada Allah SWT.

Intinya, dekatkan diri dengan Allah, insya Allah kepemimpinan akan kuat dan bijak dengan getar hidayah-Nya.

Wallahu a’lam...

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.