Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 20): Penegakan Etika Tanpa Pandang Bulu

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 20): Penegakan Etika Tanpa Pandang Bulu
Keadilan dan Gedung KPK / Sabili.id

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keduapuluh dari kisah beliau. Selamat menikmati.


Kutemukan 10 pelanggaran Kode Etik selama 8 tahun berkhidmad di KPK. Empat pegawai dipecat. Dua pejabat dicopot dari jabatannya. Dua pegawai dikenakan SP1 (Surat Peringatan Pertama, red). Seorang pejabat diberi sanksi lisan. Seorang pegawai diwajibkan mengganti biaya telepon kantor karena menggunakan telepon itu untuk urusan pribadi.

Dipecat karena Menyalah Gunakan Mobil Kantor

Pengawasan Internal (PI) KPK biasa merazia ruangan pegawai. Suatu kali, petugas PI menemukan keganjilan pada jumlah uang di laci meja seorang pegawai dibandingkan catatan yang tertulis. Pegawai itu bertugas mencatat dan menyimpan sisa uang dari pejabat KPK yang kembali dari perjalanan dinas. PI merekomendasikan kepada Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK untuk memeriksa pegawai tersebut. Sebab, ditemukan adanya pelanggaran kode etik.

Pelanggaran pertama, pegawai itu menggunakan mobil kantor untuk mendaftar pernikahannya di KUA Menteng, Jakarta Pusat. Pelanggaran kedua, beliau menggunakan mobil kantor untuk membawa barang hantaran ke rumah calon istri.

Majelis Kode Etik (MKE) yang dikomandoi Ade Raharja Deputi Penindakan dan saya sebagai anggota, memecat pegawai tersebut. Untuk kasus penggelapannya, ia kemudian dijatuhi hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 19): Mencetak Malaikat-malaikat Kecil

Diperiksa MKE karena Terima Saksi di Ruang Kerja

PI merekomendasikan DPP untuk memeriksa seorang direktur. Kesalahannya, beliau menerima saksi di ruangan kerjanya. Beliau juga mengantar saksi tersebut sampai ke tempat parkir. Padahal, menurut Kode Etik, insan KPK dilarang menunjukkan kedekatan dengan seorang pasien. Bahkan, ada Penyidik dikembalikan ke instansinya karena berpelukan dengan tersangka.

MKE, yang diketuai olehku, menjatuhkan hukuman “teguran lisan” terhadap dia. Direktur PI protes. Kujelaskan, saksi yang diperiksa KPK tersebut adalah mantan atasan direktur ketika masih bertugas di instansi lama. Beliau telah menghubungi Komisioner KPK waktu itu, minta izin untuk terima saksi tersebut di ruang kerjanya. Jadi, kesalahan ada di Komisioner KPK, bukan di direktur ini.

Andaikan Komisioner tersebut masih di KPK, kuminta dibentuk KE untuk memeriksa dia. Sebab, ada potensi konflik kepentingan. Ini karena direktur, mantan Komisoner, dan saksi yang dipanggil KPK, itu berasal dari instansi yang sama.

Mendapat SP1 karena Tidak Masuk Kantor

Pegawai ini menderita demam selesai ikut Diklat di luar kota. Namun, beliau tidak informasikan hal itu ke kantor. PI merekomendasikan DPP agar memeriksa pegawai tersebut. Sebab, pegawai yang tidak menginformasikan kehadirannya di kantor, melanggar Peraturan Kepegawaian KPK. Bahkan, jika pegawai tidak masuk kantor tiga hari berturut-turut tanpa alasan syar’i, ia langsung dipecat.

MKE menjatuhkan sanksi berupa SP1. “Ah, cuma SP1,” pernyataan seperti itu mungkin ditemukan di Kementerian/Lembaga Negara (K/L) lain. Tetapi tidak di KPK. Di KPK, SP1 adalah gempa bumi. Sebab, hal itu berakibat penilaian kinerja sebelumnya, A, turun menjadi D. Dampaknya, pegawai ini tidak memeroleh tunjangan kinerja bulanan. Dia bisa mencapai kembali kinerja C, B, apalagi A, setelah berdarah-darah menaikkan kinerjanya.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 18): Nazaruddin dan Komite Etik KPK

Direktur Dipecat karena Menyalahgunakan Fasilitas Kantor

Direktur ini minta stafnya booking tiket bagi istri dan anaknya untuk berlibur ke NTB. Hal ini melanggar Kode Etik. Menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi. Sewaktu di Mataram, istri dan anak direktur ini makan bersama Tim KPK. Bahkan, sewaktu istri dan anak direktur ini kembali ke hotel, mereka naik mobil yang disewa KPK. Jadi, direktur ini mengunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi.

MKE yang kupimpin, mencopot direktur ini dari jabatannya. Beliau juga diskorsing selama enam bulan. Tragisnya, direktur ini terantuk lagi kasus kedua. Namun, DPP tidak membentuk MKE karena beliau mundur dari KPK.

Sekretaris Deputi Dipecat karena Gagal Lunasi Utang

Sekretaris Deputi itu meminjam uang dari bank untuk menghajikan orang tuanya. Beliau meminjam duit lagi untuk renovasi rumah orang tua di kampung. Malangnya, pegawai ini tidak pandai kelola keuangan pribadinya. Bank terkait melapor ke KPK. PI merekomendasi DPP untuk memeriksa Sekretaris Deputi ini.

Sekretaris Deputi ini protes. Menurut dia, MKE tidak layak memeriksanya. Sebab, kasusnya adalah masalah perdata. Kukatakan, kasusnya memalukan KPK. Sedangkan Kode Etik menetapkan, pegawai harus menjaga nama baik KPK. Apalagi, beliau tidak disiplin masuk kantor pada jam istirahat. Beliau bantah.

Kuminta Direktur Pinda memeriksa CCTV. Ternyata, dia masuk kantor setelah pukul 13.00 pada waktu istirahat. Akhirnya, kupecat beliau dari jabatan Sekretaris Deputi. Beliau juga diskorsing selama 4 bulan.

Dipecat karena Mencintai Istri Orang

Pegawai ini kirim SMS ke kawannya. Ingin bertemu. Pukul 12.00, mereka bertemu di restoran Padang, seberang Masjid Istiqlal, Jakarta. Di dalam pertemuan itu, laki-laki ini “menembak” kawannya tersebut. “Lho, bapak kan tau, saya sudah bersuami. Bapak juga sudah beristri,” jawab perempuan tersebut.

PI kemudian merekomendasikan DPP untuk memeriksa pegawai laki-laki tersebut. Mayoritas anggota Majelis mengusulkan sanksi pemecatan. Kuusulkan, diskorsing saja. Sebab, menurutku, harus ada empat saksi yang menyaksikan hubungan senggama di antara mereka. Padahal, hubungan mereka hanya melalui SMS.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 17): DPR, Pemulung, dan Gedung KPK

Besoknya, hari Jumat, saya terperanjat. Kubaca artikel pegawai itu di rubrik Rohani Islam. Saya sebagai Ketua Majelis memecat dia dari pegawai KPK. Sebab, beliau adalah pengurus DKM KPK yang sepatutnya tidak boleh mencintai istri orang. Apalagi, beliau sudah beristri. Itulah pemberatan terhadap dirinya.

Pegawai Dipecat karena Selingkuh

Mereka berdua sudah punya pasangan hidup. Saya biasa diajak untuk ikut sosialisasi pencegahan korupsi. Saya kaget. PI merekomendasikan DPP untuk memeriksa mereka berdua. Mereka diduga selingkuh.

Mereka berdua, sebelum diperiksa, telah mundur dari KPK. Saya sebagai Ketua Majelis ingin mereka tetap diperiksa. Di dalam persidangan, atasan langsung mereka menganggap MKE melampaui kewenangannya. Alasannya, kedua anak buahnya tersebut sudah bukan lagi pegawai KPK. Kujelaskan, jika mereka tidak dijatuhi hukuman, ia akan jadi preseden buruk. Sebab, setiap orang akan melanggar Kode Etik, kemudian berhenti dari KPK agar tidak dijatuhi hukuman. Jadi, kujatuhkan hukuman diberhentikan tidak dengan hormat.

Menggunakan Telepon Kantor untuk Urusan Pribadi

Tahun 2005, sebelum Kode Etik diterapkan, ada pegawai yang sering menggunakan telepon kantor untuk urusan pribadi. DPP, tanpa membentuk Majelis Kode Etik, sepakat menjatuhkan hukuman. Ia harus mengganti biaya telepon selama beberapa bulan yang digunakan untuk urusan pribadi.

Andaikan KPK sekarang menegakkan Kode Etik tanpa pandang bulu, KPK tidak akan mengalami degradasi kepercayaan masyarakat seperti sekarang.

(Depok, 10 Oktober 2023)

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.