Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 18): Nazaruddin dan Komite Etik KPK

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 18): Nazaruddin dan Komite Etik KPK

Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri kedelapanbelas dari kisah beliau. Selamat menikmati.


Penampilannya parlente. Usianya ketika itu relatif masih muda, 33 tahun. Muhammad Nazaruddin namanya. Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat. Ia juga mantan Anggota Komisi III DPR-RI pada 2009 – 2011. Ia satu-satunya buronan KPK yang sempat melanglang buana ke puluhan negara sampai ditangkap di Kolombia.

Suami Neneng Sri Wahyuni itu penuh percaya diri ketika memasuki ruang sidang Komite Etik KPK. Beliau cukup cerdas. Sayang, beliau tidak jujur. Olehnya, baru dua tahun menjadi Anggota DPR, beliau masuk terungku KPK. Bahkan, beliau harus menjadi penghuni penjara Sukamiskin, Bandung, selama 13 tahun.

Komite Etik Jilid 2

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63/2005 tentang Manajemen SDM KPK menetapkan, jika terjadi pelanggaran Kode Etik oleh Komisioner, maka dibentuk Komite Etik (KE). Komite ini bertugas menangani pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh Komisoner KPK.

Anggota KE terdiri dari unsur Komisioner, Penasihat, dan prominent person. Individu-individu yang termasuk unsur prominent person ditentukan oleh Komisioner dan Penasihat. Prominent person adalah tokoh di luar KPK yang dikenal berintegritas dan anti korupsi.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 17): DPR, Pemulung, dan Gedung KPK

Sejatinya, KE pertama kali dibentuk tahun 2005. Saya waktu itu sebagai Koordinator dan dibantu Penasihat, Suryohadi Djulianto, berjaya menuntaskan kasus ini tanpa pemberitaan media massa. Sebab, pembentukan KE tersebut hanya karena salah paham di antara sesama Komisoner. Mereka berbeda pandangan dalam menetapkan strategi pemberantasan korupsi.

KE jilid 2 dibentuk karena ada laporan Masyarakat, bahwa Komisioner KPK bertemu Anggota DPR-RI, Muhammad Nazaruddin, bukan dalam tugas. Komite ini diketuai olehku. Enam orang lainnya menyertai. Sjahrudin Rasul dan Bibit Samad Rianto mewakili unsur Komisioner KPK. Unsur Penasihat diwakili oleh Prof. Said Zainal Abidin dan diriku. Prominent Person dari luar KPK sebanyak tiga orang yakni Prof. Syafi’i Maarif, Nono Anwar Makarim, dan Prof. Marjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia (UI).

KE, dalam melaksanakan tugasnya selama kurang lebih sebulan, mendatangkan dua saksi dari dalam dan lima orang dari luar KPK. Saksi dari internal KPK adalah Ade Raharja (Deputi Penindakan) dan Johan Budi (Juru Bicara KPK). Lima orang saksi dari luar KPK adalah Nazaruddin (Bendum Partai Demokrat), Anas Urbaningrum (Ketum Partai Demokrat), Yulianis (Wakil Direktur Keuangan perusahaan Nazaruddin), Benny K. Harman (Pimpinan Komisi III DPR), dan sopir perusahaan Nazaruddin yang kalau tidak salah ingat, namanya Dayat.

Cerdas tetapi Tak Jujur

Nazaruddin menurutku cukup cerdas. Mungkin pula, bisa disebut sebagai “licik.” Sebab, jika ada pertanyaan Anggota KE yang tidak berkaitan dengan pokok perkara, Nazaruddin tampil tak ubahnya seorang narasumber dalam seminar. Beliau dapat menjelaskan masalah tersebut secara detail.

Sayang, Nazaruddin tidak jujur. Sebab, ketika kuajukan pertanyaan berkaitan dengan pokok perkara, beliau tak ubahnya orang bisu. Kalau pun menjawab, sangat berbelit-belit. Namun, dengan pendekatan hati, khususnya sewaktu di mushalla, Nazaruddin mau menjawab pertanyaan Anggota KE, sekali pun dalam rangkaian kalimat dengan kata-kata bersayap.

Baca juga: Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 16): Mengejar Koruptor ke Kolombia

Tiga dari lima saksi yang diperiksa KE saat itu memberi informasi penting. Nazaruddin, misalnya. Ia mengakui pertemuannya secara terpisah dengan dua komisioner KPK tanpa ada pemberian gratifikasi dan janji-janji. Menurut dia, kedua Komisioner KPK itu hanya membicarakan rencana pembangunan gedung baru KPK. Sebab, rencana anggaran pembangunan gedung baru KPK yang diajukan ke DPR tidak disetujui, khususnya oleh Komisi Hukum. Reaksi masyarakat, luar biasa. Sumbangan pun mengalir dari mana-mana, seperti diuraikan di artikel sebelumnya.

Yulianis, wakil Direktur Keungan Perusahaan Nazaruddin, dalam beberapa keterangannya, membuat saya menyimpulkan, atasannya itu seorang yang cerdas tetapi tidak jujur. Yulianis bilang, Nazaruddin melarang semua direksi dan karyawan membawa HP dan alat tulis setiap menghadiri rapat perusahaan. Yulianis saja yang boleh membawa laptop. Sebab, beliau akan presentasi keadaan keuangan perusahaan. “Wah, dalam rapat-rapat BIN, jenderal dan para pejabat bebas membawa HP,” batinku.

Yulianis juga menerangkan, Nazaruddin biasa menegurnya, jika angka-angka yang dipresentasikan dalam rapat, salah. Yulianis mencontohkan, dia misalnya mencatat seratus juta rupiah diberikan ke Anggota DPR, A. Nazaruddin langsung menegurnya. Sebab, katanya, uang yang diberikan ke anggota A tersebut seharusnya 150 juta rupiah, bukan 100 juta rupiah. Padahal, menurut Yulianis, kejadian tersebut sudah berlalu, beberapa bulanan, bahkan sudah tahunan.

Yulianis juga menginformasikan adanya money politic di Kongres Partai Demokrat. Menurut dia, uang yang diterima dari Nazaruddin agar memilih Anas menjadi Ketum Partai Demokrat, juga digunakan peserta untuk pergi kenight club di Bandung. Para anggota KE agak terkejut mendengar keterangan Yulianis tersebut. “Waduh, para kader kok berperilaku seperti itu,” batinku.

Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 15): Cicak vs Buaya Jilid 2

Dayat, sopir mobil boks, mengatakan, ia membawa kardus-kardus itu, berisi uang tunai 5 juta dollar AS dan Rp 35 milyar. Uang-uang itu dibawa ke Hotel Aston, Bandung, tempat berlangsungnya kongres Partai Demokrat. Dayat mengatakan, kardus-kardus yang berisi dollar AS dibawa pulang kembali ke rumah Nazaruddin di Jakarta. Namun, menurut dia, uang rupiah dibagikan ke peserta Munas.

Putusan KE: Empat Lawan Tiga

KE bersidang setiap hari Senin – Jum’at, selama kurang lebih sebulan. KE pun sampai pada tahap voting. Sebab, Anggota KE tidak bulat suara dalam memutuskan perkara. Berbeda dengan KE jilid 1. Kali ini, saya terpaksa harus menempuh voting.

Masing-masing Anggota KE mengatakan pendapatnya secara terbuka. Hasilnya, empat anggota mengatakan Komisioner sebagai terperiksa, tidak bersalah. Tiga anggota KE lainnya mengatakan terperiksa bersalah.

Di dalam konferensi pers, KE mengatakan, Komisioner sebagai terperiksa tidak terbukti melanggar Kode Etik. Olehnya, mereka hanya diberi peringatan tidak tertulis.

KE jilid dua ini merupakan perananku sebagai “hakim” yang sangat berat. Sebab, dibandingkan tugas lain, baik sebagai Ketua atau Anggota KE maupun sebagai Ketua atau Anggota Majelis Kode Etik Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP), tugas kali ini cukup berat. Sebab, kedua Komisioner sebagai terperiksa tersebut adalah yuniorku, sehingga agak mempengaruhi independensiku.

Alhamdulillah, saya tetap berpegang teguh dengan hadits Nabi Muhammad saw yang populer, “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti kupotong tangannya.

(Depok, 21 September 2023)


Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.