Dalam rangka memberi sudut pandang sosiologis terkait fakta HIV yang menginveksi ribuan ibu rumah tangga dan anak-anak, Sabili.id menayangkan perbincangan dengan Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta yang juga seorang aktivis dakwah, Abdi Rahmat, terkait isu tersebut. Berikut petikannya:
Sabili: HIV bukan kasus baru, namun cukup mencengangkan saat ada ribuan ibu rumah tangga dan anak-anak yang terpapar virus tersebut. Menurut anda bagaimana hal ini bisa terjadi?
Abdi: Karena sumber masalahnya, yaitu perilaku seksual yang permisif, tidak diatasi. Bahkan ada kecenderungan pembiaran atau memberi ruang bagi penyebaran perilaku seksual tersebut baik di level struktural (termasuk budaya), level institusional, dan di level individual. Misalnya, pembiaran menyebarnya budaya perilaku seks bebas, termasuk LGBT, via medsos (facebook, Instagram, twitter, youtube, tiktok, dll) yang sampai saat ini belum ada regulasi strukturual yang mengaturnya.
Sabili: Apakah hal ini ada hubungannya dengan perilaku masyarakat kita yang makin permisif dengan pornografi dan pornoaksi?
Abdi: Ya. Di level struktural dan kultural, penyebaran nilai-norma seks bebas via medsos begitu massive, dan lambat laun diterima sebagai nilai dan norma sosial. Dan belum ada regulasi struktrual yang mengaturnya.
Di level insitusional, pengambil kebijakan belum memberi perhatian cukup terhadap regulasi tersebut. Mengatasi HIV-AIDS, mengikuti arus kecenderungan dunia, adalah dengan perilaku seksual terproteksi (memakai pelindung). Padahal sumber masalahnya bukan di sana, tapi perilaku dan budaya seksual permisif tadi.
Bahkan, di level insitusional ini ada gerakan (social movement) yang secara sistematis mengampanyekan dan mengadvokasi gaya hidup perilaku seks bebas tersebut misalnya lewat Gerakan-gerakan LGBT.
Di level individual, perilaku masyarakat semakin permisif misalnya dalam pacaran, orang tua membebaskan anaknya dalam berpacaran. Karena data dari kemenkes menunjukkan meningkatnya jumlah anak muda (usia muda) yang terinfeksi HIV-AIDS. Dan meningkatnya transmisi virus HIV via perilaku seks bebas ketimbang via jarum suntik.
Sabili: Bagaimana dengan peningkatan LGBT di Indonesia?
Abdi: Perilaku LGBT dan Gerakan LGBT tentu menjadi faktor penting dalam meningkatnya fenomena ini. Banyak diberitakan bagaimana komunitas LGBT ini melakukan sex party. Sebagai gerakan social, mereka juga disokong oleh institusi dunia, dengan membangun framing: “Orientasi seksual adalah hak.”
Sabili: Menurut anda, apa yang paling mengkhawatirkan dari data tersebut bagi masa depan umat dan bangsa?
Abdi: Yang paling mengkhawatirkan dari fenomena tersebut tentunya adalah rusaknya tatanan budaya bangsa/masyarakat yang menjauh dari nilai-nilai relijius. Nilai relijius secara formal adalah nilai dasar bangsa, seperti tertuang dalam sila pertama Pancasila.
Anak-anak kalau tidak diantipasi sejak dini akan mendapatkan gambaran (konsepsi) yang keliru dan berbahaya tentang kehidupan seksual dan keluarga. Dan di masa depan, bisa jadi mereka akan menjadi pelakunya.
Sabili: Mungkin Bapak bisa mengurai anatomi dari persoalan ini?
Abdi: Pertama, Fenomena/kasusnya: Meningkatnya kasus HIV-AIDS: di kelompok sosial pelaku seks bebas, perempuan yang terinveksi dari pasangan/suami ODHA (Orang Dengan HIV/Aids), anak-anak yang terinfeksi dari orangtua ODHA. Ada dua kasusnya: ODHA di kalangan pelaku seks bebas dan bukan pelaku seks bebas (perempuan dan anak) yang terdampak HIV-AIDS.
Kedua, penyebabnya. Saya melihat dari tiga level. Level struktural/kultural: Budaya seks bebas yang tertransmisi secara massive. Belum ada regulasi mengatur hal tersebut. Level Institusional: Gerakan LGBT dan pembiaran Gerakan LGBT. Belum ada kebijakan yang melindungi kelompok sosial (perempuan dan anak) agar tidak tertular HIV-AIDS. Level individual: Edukasi dan kontrol dari keluarga yang masih lemah terhadap anak-anak mereka.
Ketiga, dampak: Meningkatnya kasus. Menular dan menjangkiti kelompok sosial yang tidak bersalah.
Sabili: Pihak yang terinveksi belum tentu bersalah, namun masyarakat sering memberi perlakukan yang tidak semestinya pada penderita HIV, bagaimana menurut Bapak?
Abdi: Sebenarnya stigma dari masyarakat tidak sepenuhnya salah, karena memang sumber masalahnya adalah perilaku seks bebas tadi. Namun, masyarakat perlu diedukasi bahwa yang terdampak dari HIV-AIDS bukan hanya pelaku seks bebasnya, tapi juga istri (pasangan) dan anak-anak dari pasangan atau orang tua yang terinfeksi HIV-AIDS pelaku seks bebas.
Sabili: Menurut anda, apakah pemerintah telah optimal melakukan pencegahan terhadap makin meluasnya HIV?
Abdi: Tentu saja belum; pertama kasusnya masih meningkat. Kedua, mengatasi ke sumber masalah. Pemerintah mestinya lebih mengoptimalkan upaya mengatasi ke sumber masalahnya dengan menggandeng kelompok-kelompok masyarakat serta menyusun regulasi yang bisa mengendalikan sumber masalahnya.
Sabili: Angka perzinahan dalam berbagai bentuknya meningkat, bahkan banyak kasus terjadi di usia SMP, bagaimana pandangan anda?
Abdi: Mencegah dan menghindari seks bebas di level individual ada di dalam keluarga. Jadi keluarga menjadi faktor penting dalam pengendalian sosial seks bebas melalui pendidikan anak-anak mereka. Di level institusional, pengendalian sosial seks bebas tersebut melalui institusi sekolah, insitusi agama, dan kelompok-kelompok sosial keagamaan lainnya.
Dalam keluarga, cara pandang tentang interaksi lawan jenis, pendidikan seks, terutama yang berbasis nilai-nilai relijius yang disosialisasikan/ditanamkan pada anak akan menjadi basis kontrol sosial yang signifikan dalam membentuk kecenderungan dan prilaku seksual anak dan menghindarkan mereka dari perilaku seksual menyimpang di masa depan ketika mereka beranjak dewasa. Begitu pula, insititusi keagamaan serta ormas-ormas keagamaan dapat berperan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perilaku seksual yang sehat yang akan siginifikan bila didasarkan pada nilai-nilai relijius.
Sabili: Organisasi keagamaan dan dakwah juga kerap “menghindar” untuk terlibat serius dalam penaganan kasus ini. Padahal tidak semua yang terinveksi adalah pezina. Apa pandangan anda?
Nah ini, seperti pada jawaban di atas, organisasi-organisasi keagamaan dapat berperan sebagai public edukator. Tapi juga, berperan dalam mengadvokasi pada dua hal: pertama: advokasi kebijakan regulasi untuk mengatur persebaran nilai-nilai seks bebas melalui media sosial dan berbagai aplikasi digital seks bebas. Kedua, advokasi perlindungan terhadap perempuan dan anak yang bukan pelaku seks bebas tapi potensial terdampak HIV-AIDS dari pasangan atau orang tua yang ODHA. Misalnya regulasi tentang keharusan tes HIV bagi pasangan yang berisiko yang akan menikah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!