Abikoesno Tjokrosoejoso (Abikusno Cokrosuyoso) lahir di Madiun, 15 Juni 1897. Ayahnya bernama Raden Mas Tjokroamiseno yang kala itu menjabat Wedana di distrik Kanigoro, Madiun. Ayahnya masih keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tokoh yang lahir dengan nama lengkap Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejoso itu adalah anak kedelapan dari 12 bersaudara. Salah satu kakak kandungnya adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Haji Umar Said Cokroaminoto), seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia yang juga mentor atau guru dari banyak tokoh bangsa.
Setelah lulus sekolah dasar, Abikoesno melanjutkan pendidikannya di Koningin Emma School Soerabaja yang waktu itu merupakan salah satu sekolah terbaik di Hindia-Belanda. Setelah lulus di tahun 1917, Abikoesno melanjutkan studi ke Batavia (Jakarta), dengan masuk sekolah tinggi arsitektur, Architectsexamen. Lulus Architectsexamen tahun 1925, di tahun yang sama Abikoesno meraih sertifikasi arsitektural dari Belanda.
Sertifikasi dan gelar yang ia raih membuat Abikoesno resmi menjadi insinyur swasta serta mendapatkan izin kerja dan izin praktik sebagai arsitek dari BOW (Burgelijke Openbare Werken) atau Kantor Pekerjaan Umum pemerintah kolonial Belanda. Pekerjaan sebagai arsitek membuat Abikoesno bersama keluarganya kerap kali berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti lokasi proyek yang sedang ia kerjakan. Ia pernah menetap di Batavia, Kediri, Semarang, Bandung, Surabaya dan beberapa kota lainnya. Namun Abikoesno bukan arsitek biasa, ia adalah arsitek pejuang. Abikoesno kerap kali menolak pengerjaan proyek pemerintah kolonial Belanda.

Sejak muda, di dalam jiwa Abikoesno telah tertanam jiwa perlawanan terhadap penjajah. Api kemerdekaan itu tumbuh mulanya dari lingkup keluarga. Terutama lewat kedekatan dirinya dengan sang kakak, Tjokroaminoto. Bersama kakaknya, ia fokus mengorganisasikan massa pro-kemerdekaan. Hal itu ia lakukan meski kerap kali harus berpindah-pindah tempat tinggal.
Terjun ke Politik
Ghirah pro kemerdekaan itu membawanya terjun ke dunia politik serta berkenalan dengan sejumlah tokoh politik dan pergerakan ketika itu. Sejak masih sekolah, di sela-sela belajar Abikoesno membersamai aktifitas kakaknya H.O.S Tjokroaminoto di Sarekat Islam (SI). SI yang awalnya Sarekat Dagang Islam (SDI) adalah organisasi pribumi paling berpengaruh pada awal abad ke-20. Awalnya, perjuangan organisasi yang berbasis di Solo itu dimaksudkan untuk memerkuat basis pedagang-pedagang Islam. Tetapi lambat laun SI meluas menjadi gerakan anti-kolonialisme/imperialisme dengan jangkauan nasional. Abikoesno pun ikut perjalanan kakaknya ke daerah-daerah, sehingga ia pun meresapi visi perjuangan SI.
Pada 1929, SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Abikoesno Tjokrosoejoso lantas aktif sebagai anggota PSII. Abikoesno juga dikenal kritis dan sering melontarkan kritik dalam pidatonya, khususnya tentang kebijakan tanah di Hindia-Belanda yang merugikan kaum bumiputera. Di tahun 1923, Abikoesno menjabat Ketua Cabang PSII di daerah Kediri. Di tahun 1934 ia diberi amanah memimpin PSII menggantikan kakaknya, H.O.S Tjokroaminoto.
Bukan hanya di dunia politik, Abikoesno Tjokrosoejoso juga dikenal sebagai wartawan. Ia pernah menjadi pemimpin majalah Sri Joyoboyo yang kala itu terbit setiap minggu. Majalah itu sering mengangkat berita dan kritik terhadap penyelewengan kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan kaum bumiputera dan rakyat miskin. Menjadi satu-satunya majalah mingguan di daerah Kediri dan Jawa Timur bagian selatan membuat Sri Joyoboyo berkembang pesat. Apalagi, warga pribumi juga menggemari majalah itu karena menggunakan Bahasa Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Indonesia sejak awal Maret 1942, Abikoesno direkrut para pemimpin militer pemerintah pendudukan Jepang untuk membantu mereka meyakinkan rakyat agar mau bekerja sama dengan Jepang. Ia dijadikan Ketua Sub-Seksi Keislaman di gerakan 3A. Gerakan ini terkenal bersemboyan “Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia”. Di dalamnya didirikan suatu subseksi Islam bernama Persiapan Persatuan Umat Islam yang diketuai Abikoesno.
Gerakan 3A kemudian dibubarkan dan diganti Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Di Putera, Abikoesno Tjokrosoejoso menempati posisi Chuo Sangi-in (Dewan pertimbangan pusat).
Awalnya, Jepang memang dianggap sebagai juru selamat bangsa Indonesia. Namun, kemudian mereka menampakkan hasrat kolonialisme sama seperti Belanda. Bahkan, dalam beberapa hal mereka menjalankan kebijakan yang lebih kejam daripada Belanda.
Merumuskan Piagam Jakarta
Perjuangan merebut kemerdekaan memasuki babak baru di tahun 1945. Di pertengahan tahun 1945, Abikoesno Tjokrosoejoso bergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). BPUPKI (Di dalam Bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai) adalah sebuah lembaga yang dibentuk Jepang dalam rangka memersiapkan kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri bangsa Indonesia yang duduk di dalam BPUPKI berasal dari berbagai latar belakang agama dan ideologi.
Semula, Jepang membentuk BPUPKI sebagai alat propaganda, karena mereka telah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pembentukan BPUPKI adalah salah satu penguat janji itu. Tujuan pembentukan BPUPKI adalah untuk menyelidiki hal-hal penting yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia sekaligus menyiapkan rencana kemerdekaan. Namun, para tokoh pergerakan nasional ketika itu justru menjadikan lembaga bentukan Jepang itu sebagai alat perjuangan untuk benar-benar mewujudkan Indonesia merdeka.

Di BPUPKI, Abikoesno menjadi perwakilan golongan Islam bersama Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan KH Ahmad Sanusi. Ketika itu, di dalam sidang-sidang BPUPKI masih terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan tentang gagasan dasar negara, terutama di antara tokoh-tokoh golongan nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam. Menyikapi belum dicapainya kesepakatan, BPUPKI lantas membentuk sebuah panitia yang disebut Panitia Sembilan, untuk menyempurnakan rumusan Pancasila serta merancang pembuatan Undang-Undang Dasar. Anggota Panitia Sembilan adalah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Mohammad Yamin, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Panitia Sembilan bertugas mengumpulkan pendapat para tokoh tentang rumusan dasar negara yang nantinya akan dibahas dalam Sidang Kedua BPUPKI.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan selesai menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara. Mohammad Yamin lalu menamai naskah tersebut sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam Jakarta berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Berikut ini isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Piagam Jakarta dari Panitia Sembilan itu lalu dibawa untuk dijadikan sebagai preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar. Di dalam naskah Piagam Jakarta itu, terdapat rumusan Pancasila. Lima sila yang menjadi dasar negara itu adalah, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, naskah Piagam Jakarta itu tidak serta merta diterima semua kalangan. Tanggal 17 Agustus 1945 petang, Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan, ia mendapat aspirasi dari perwakilan rakyat Indonesia timur yang ketika itu mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika esensi dari sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam dasar negara tidak diubah. Bung Hatta Lantas mengajak para tokoh agama untuk berdiskusi membahas hal tersebut. Di antaranya adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan. Dan dengan kebesaran jiwa, tokoh-tokoh Islam ketika itu menerima keberatan dari perwakilan Indonesia timur. Setelah berdiskusi, ditetapkanlah bunyi sila pertama dasar negara (yang selanjutnya disebut Pancasila) yang termuat di Piagam Jakarta itu dengan kalimat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI diganti dengan sebuah lembaga bernama Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Semula, PPKI juga dibentuk Jepang karena di awal Agustus 1945 itu Jepang sedang goyah lantaran kalah dalam perang melawan sekutu. Di tengah situasi tak menentu, Jepang membentuk PPKI dengan tujuan untuk lebih menegaskan keinginan dan tekad mencapai kemerdekaan Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadan 1334 Hijriah. Naskah Piagam Jakarta kemudian disahkan oleh PPKI menjadi Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Sebagai Anggota PPKI, Abikoesno dikenal sebagai orang yang mengagas “Sumpah Presiden”. Hal ini membuat Abikusno Tjokrosoejoso juga mendapat gelar “penggagas sumpah presiden”.
Aktif di Dunia Arsitektur
Pada 19 Agustus 1945, Abikoesno Tjokrosoejoso ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan dan tercatat sebagai Menteri Perhubungan Pertama. Ia menjabat hingga November 1945. Salah satu prestasi terbaiknya sebagai Menteri Perhubungan adalah membuka jalur kereta api Jakarta-Merak. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), ia lantas kembali menjabat Menteri Perhubungan untuk kali kedua pada 1953, namun mengundurkan diri di tahun 1954. Sejak itu, ia kembali aktif di PSII sembari meneruskan pekerjaan di bidang arsitektur.
Di dunia arsitektural Indonesia, Abikoesno dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan pemikiran filosofis barat dan timur dalam dunia rancang bangun. Beberapa karya asitekturnya yang diketahui adalah Masjid Asy-Syuro Garut, Pasar Cinde Palembang, Gedung Museum M.H. Thamrin, dan Masjid Syuhada Kota Baru Yogyakarta.
Pada 30 Agustus 1952, bersama dengan KH Wahid Hasyim dan Sirajuddin Abbas, Abikoesno Tjokrosoejoso mendirikan Liga Muslimin Indonesia. Pada 11 November 1968, Abikoesno Tjokrosoejoso meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Surabaya. Pada 9 November 1992, Abikoesno dan delapan anggota Panitia Sembilan lain mendapatkan tanda jasa Bintang Republik Indonesia Utama dari Presiden Soeharto.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!