Agama vs Sains: Menjawab Pertanyaan Eksistensial

Agama vs Sains: Menjawab Pertanyaan Eksistensial
Agama vs Sains: Menjawab Pertanyaan Eksistensial / Dall•E 3

Dialog antara agama dan sains sering kali menjadi perdebatan yang mendalam. Terutama ketika membahas pertanyaan eksistensial yang sulit dijawab oleh sains.

Salah satu perdebatan terkenal adalah antara seorang ahli biologi evolusi dan ateis terkemuka, Prof. Richard Dawkins, dengan seorang jurnalis dan komentator muslim terkenal, Mehdi Hasan. Pertemuan mereka menyoroti isu-isu semisal tujuan hidup, asal-usul moralitas, dan pertanyaan apakah agama memiliki jawaban yang sahih terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains.

Artikel ini akan mengulas pandangan kedua pihak, serta memberikan bantahan dari perspektif Islam, dan mengeksplorasi bagaimana sains dan agama dapat berperan dalam era saintifik digital.

Dawkins: Sains dan Agama Bertentangan

Melalui berbagai karyanya semisal “The God Delusion” (2006), Richard Dawkins berpendapat bahwa agama tak hanya tidak relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial, tetapi juga berbahaya karena menawarkan jawaban-jawaban yang tidak berbasis pada bukti empiris.

Di dalam dialognya dengan Mehdi Hasan, Dawkins menyatakan bahwa sains tidak harus menjawab pertanyaan semisal “Mengapa kita di sini?” atau “Apa tujuan hidup kita?

Sebab, menurut dia, dalam konteks ilmiah, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak memiliki makna. Bagi Dawkins, moralitas adalah hasil evolusi dan seleksi alam, bukan sesuatu yang diturunkan dari wahyu ilahi atau agama.

Amal Individu maupun Jama’iy adalah Aplikasi dari Tauhid
Penyakit umat dan para aktivis dakwah adalah ketika sudah merasa sombong sehingga tak mau bekerjasama dengan pihak lain. Merasa benar sendiri dan ingin menguasai.

Bantahan Perspektif Islam

Mehdi Hasan memberikan bantahan yang kuat dengan menyatakan bahwa sains memiliki keterbatasan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan makna hidup dan moralitas. Hasan berargumen bahwa agama menawarkan kerangka kerja yang kohesif untuk memahami tujuan hidup dan asal-usul moralitas. Sesuatu yang menurut dia tidak dapat dijawab oleh sains murni.

Di dalam Islam, moralitas dan tujuan hidup dipandang sebagai aspek integral dari keberadaan manusia yang dipandu oleh wahyu Ilahi. Misalnya yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam “Ihya' Ulum al-Din” (1100) dan oleh Maulana Wahiduddin Khan dalam “The Quranic Way of Life” (2012).

Seorang cendekiawan Muslim terkemuka, Prof. Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya, “The Need for a Sacred Science” (1993), mengritik pandangan Dawkins. Ia menyatakan bahwa pendekatan Dawkins terhadap sains sangat reduksionis dan mengabaikan dimensi spiritual dari eksistensi manusia.

Nasr berpendapat bahwa sains dan agama harus dilihat sebagai dua cara mengetahui yang saling melengkapi. Bukan bertentangan. Menurut Nasr, agama menawarkan wawasan yang lebih mendalam mengenai tujuan dan makna hidup yang tidak dapat dicapai oleh metode ilmiah saja.

Kritik terhadap Pandangan Ateisme Dawkins

Pandangan Richard Dawkins sering kali dikritik sebagai terlalu simplistis dan bias terhadap ateisme. Misalnya, Alister McGrath, dalam bukunya “The Dawkins Delusion?” (2007), menuduh Dawkins memanipulasi data ilmiah untuk mendukung agenda ateisnya dan mengabaikan kompleksitas argumen teologis yang telah berkembang selama berabad-abad. McGrath berpendapat bahwa Dawkins gagal mengakui kontribusi agama dalam membentuk moralitas dan etika, serta dalam memberikan makna pada kehidupan manusia.

Menakar Pemikiran M.Natsir Soal Relasi Agama dengan Negara dan Politik
Pandangan Natsir tentang hubungan Islam dan negara adalah bahwa agama bukanlah semata-mata ritual peribadatan dalam istilah sehari-hari semisal shalat atau puasa.

Di sisi lain, ilmuwan Muslim semisal Dr. Mustafa Mahmoud dalam “Dialogue with an Atheist” (2004) menunjukkan bahwa sains dalam Islam tidak pernah dipisahkan dari spiritualitas. Mahmoud menekankan bahwa sains dalam perspektif Islam adalah alat untuk memahami tanda-tanda Tuhan di alam semesta, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat kauniyah dalam Al Qur'an. Pandangan ini menggarisbawahi bahwa Islam selalu mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan spiritual, membentuk dasar dari etos sains dalam peradaban Islam.

Sains Islam dalam Era Digital

Di dalam era saintifik digital saat ini, peran sains dalam Islam semakin relevan. Ilmuwan semisal Prof. Ibrahim Kalin dalam bukunya “Islam and the Challenge of Modernity” (2019) menekankan bahwa Islam menawarkan model integratif di mana sains dan agama bekerja bersama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Kalin berpendapat bahwa dalam menghadapi tantangan global semisal perubahan iklim, krisis moral, dan ketimpangan sosial, kolaborasi antara sains dan nilai-nilai agama sangatlah penting. Dengan demikian, dialog antara sains dan agama tidak harus selalu dalam bentuk pertentangan.

Sebaliknya, keduanya (sains dan agama) dapat saling melengkapi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna hidup, moralitas, dan tujuan eksistensi manusia. Terutama dalam era digital yang semakin kompleks ini.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.