Candi Prambanan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih kokoh berdiri hingga kini. Banyak turis datang berkunjung. Tak sekadar menikmati wisata sejarah dan peninggalan masa lalu, banyak juga turis lokal yang tergerak ingin melihat patung Roro Jonggrang, sang putri jelita yang menjadi salah satu aktor penting dalam latar legenda tentang candi itu.
Konon kisahnya, Pengging dan Prambanan adalah dua kerajaan yang bertetangga. Pengging dipimpin oleh Raja yang kasar dan suka berperang. Sementara Kerajaan Prambanan dipimpin oleh Prabu Baka, raja yang baik budi dan adil.
Raja Pengging punya anak laki-laki yang gagah dan sakti mandra guna. Namanya Bandung Bondowoso. Di dalam versi lain, Bandung Bondowoso disebutkan sebagai ksatria kerajaan Pengging yang sangat diandalkan, bukan anak sang raja. Ia gagah berani, kasar, dan memiliki pasukan khusus dari kalangan jin-dedemit. Sementara itu, Prabu Baka dianugerahi seorang putri yang amat cantik, halus budi pekertinya, dan – meminjam lagu Koes Plus – manut marang romo lan biyunge (berbakti kepada ayah bundanya, red).
Suatu hari, Raja Pengging ingin menyerang kerajaan Prambanan. Penyerangan itu dimaksudkan untuk memperluas area kekuasaan dengan menaklukkan kerajaan Prambanan. Bandung Bondowoso tampil sebagai komandan perangnya. Di dalam penyerangan yang tiba-tiba, Bandung Bondowoso dan pasukannya mampu mengobrak-abrik tentara Prambanan. Bahkan, Prabu Baka sendiri ikut tewas di tangan Bandung Bondowoso dalam penyerbuan tersebut.
Atas kemenangan yang gemilang itu, Raja Pengging menghadiahkan istana kerajaan Prambanan kepada Bandung Bondowoso. Tentu hal ini sangat menggembirakan Bandung Bondowoso. Ia pun melangkah masuk untuk segera menghuni istana megah itu.
Baca Juga : Musim Politik Tak Seindah Musim Kopi
Nah, di sinilah kisah cinta yang tragis itu dimulai. Saat Bandung Bondowoso meninjau semua sudut dan ruang istana, ia mendapati seorang putri cantik yang dikawal para dayangnya. Bandung jatuh cinta dalam pandangan pertama!
Sesuai tabiatnya yang kasar dan brangasan, Bandung tanpa segan-segan langsung mengajukan pinangan, agar putri cantik yang kemudian ia kenal bernama Roro Jonggrang itu, mau menjadi istrinya. Tentu saja Roro Jonggrang kaget setengah mati. Ia tahu persis Bandung Bondowoso adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Jadi bagaimana mungkin ia menerima pinangan Bandung?
Namun, di sisi lain ia juga sadar sepenuhnya, bahwa dirinya dan dayang-dayang yang tersisa adalah tahanan perang Bandung Bondowoso. Ia dihadapkan pada simalakama. Menolak berarti mati, dan menerima pinangan akan menjadi derita sepanjang waktu.
Adu Siasat dan Kesaktian
Roro Jonggrang berpikir keras, bagaimana agar bisa selamat dari pilihan simalakama ini. Akhirnya ia menemukan ide, atau lebih tepatnya siasat. Ia pun menjawab pinangan Bandung Bondowoso. “Aku terima lamaranmu, tetapi dengan syarat,” katanya.
Bandung Bondowoso yang tengah nandang wuyung (jatuh cinta), dengan semangat menyergap syarat tersebut. “Katakanlah, apa syaratnya. Pasti aku penuhi,” jawabnya.
Roro Jonggrang sudah menyiapkan persyaratan yang ia yakin tak mungkin bisa dipenuhi oleh Bandung Bondowoso. Ia pun berkata, “Buatkan aku 1000 arca dan dua buah sumur dalam waktu satu malam!”
Bandung Bondowoso menatap lurus wajah Roro Jonggrang. Ada kilat kemarahan di matanya. Ia tahu, Roro Jonggrang ingin menolak lamarannya, dan syarat ini hanyalah siasat agar ia tidak sanggup memenuhinya.
“Baik, akan aku penuhi persyaratan itu,” dengan nada ketus Bandung menyanggupi untuk menyelesaikan pembangunan 1000 arca dalam satu malam. Ia pun mengumpulkan segenap pasukannya. Dari sana ia dapat masukan dari para perwira yang menjadi pembantunya.
“Anda memiliki ajian yang mampu menggerakkan pasukan dari bangsa jin dan dedemit. Gunakanlah kesaktian itu, biar Roro Jonggrang tahu kesaktian anda,” katanya.
Bandung Bondowoso menerima baik usulan tersebut. Mulailah ia melakukan ritual untuk merapal mantra dan memberikan instruksi langsung kepada pasukan jin yang tunduk padanya. Proyek yang nyaris tak masuk akal itu pun dimulai. Dengan kekuatannya, pasukan jin mulai bekerja sesuai instruksi Bandung Bondowoso.
Baca Juga : Dinasti dan Syahwat yang Tak Pernah Kenyang
Sementara itu, melihat kinerja pasukan jin yang dikerahkan oleh Bandung Bondowoso, diam-diam Roro Jonggrang cemas bukan kepalang. Ia melihat progress yang begitu cepat. Belum tengah malam, sudah separuh jumlah arca yang terbangun. Pasti akan kelar sebelum fajar tiba!
Roro Jonggrang yang cerdik kembali bersiasat. Ia menyuruh para dayangnya untuk membakar jerami dan membunyikan lesung. Jerami yang terbakar menimbulkan cahaya temaram, lesung yang dipukul menimbulkan bunyi kesibukan di pagi hari. Ayam jantan terusik karenanya, dan berkokok.
Jin yang tengah bekerja pun terkecoh. Mereka saling menyeru, “Ayo, lekas kembali ke alam kita! Sebentar lagi fajar menyingsing. Lihatlah semburat cahayanya dan dengarkan kokok ayam jantan itu. Jika kita terkena cahaya matahari, maka hancurlah kita”.
Pasukan khusus yang hanya bisa digerakkan oleh ajian Bandung Bondowoso itu pun kabur, meninggalkan target pekerjaan yang belum sepenuhnya usai.
Esok harinya, Bandung Bondowo ingin membuktikan kinerja pasukannya yang sebelumnya tak pernah meleset dalam bertugas. Ia akan langsung menunjukkan kepada Roro Jonggrang, sekaligus menagih janji perkawinan. Mereka berdua diiringi para dayang dan pembantu Bandung Bondowoso mulai menghitung.
Ladalah, ternyata arca kurang satu. Jumlahnya hanya 999, kurang satu arca. Roro Jonggrang tersenyum menang, Bandung Bondowoso mendidih dalam amarah. Ia sadar siasat Roro Jonggrang mengakibatkan pasukan khususnya kabur sebelum tugas selesai.
Dengan amarah meluap, ia menunjuk wajah Roro Jongrang, sembari berteriak marah, “Kalau begitu, kamu saja yang menjadi arca yang ke-1000!”
Kemarahan dan kesaktian menjadi kutukan. Roro Jonggrang menjadi batu, melengkapi arca yang kurang!
Begitulah kurang lebih legenda itu. Tak ada yang kalah, tak ada yang menang. Roro Jonggrang berhasil menepis keinginan Bandung Bondowoso, tetapi harus membayar dengan mengorbankan dirinya menjadi batu. Bandung Bondowoso gagal mempersunting Roro Jonggrang, namun ia bisa membuat Jonggrang beku dan tak bisa dimiliki oleh pria mana pun.
Kesaktian Bandung Bondowoso di Jagat Politik kita
Bandung Bondowoso memang tidak berhasil mencapai mimpinya untuk mempersunting Roro Jonggrang. Namun prestasinya membuat 999 candi dalam waktu satu malam bukanlah prestasi yang ecek-ecek untuk ukuran manusia biasa. Siapa yang tak ingin memiliki kemampuan seperti itu, jika dimungkinkan di alam nyata?
Namun, dalam pentas politik tanah air, kedigdayaan yang nyaris sama sebagaimana ditunjukkan oleh Bandung Bondowoso itu bukan cerita khayali. Ia nyata dan benar-benar terjadi. Kemampuan yang sangat kilat untuk meraih posisi politik yang bagi orang lain perlu waktu puluhan tahun.
Lihatlah, berapa lama seorang Megawati Soekarnoputri harus berjuang untuk menapaki kursi ketua partai dan tahta kepresidenan? Berapa lama dan berapa dana yang harus dikeluarkan oleh Prabowo Subianto untuk bisa membangun dan memimpin Gerindra? Berapa lama seorang Ahmad Syaikhu harus mengabdi di PKS hingga mencapai kedudukannya hari ini? Berapa tahun Zulkifli Hasan harus bergulat dalam dinamika internal PAN sebelum ia sampai pada posisinya saat ini?
Baca Juga : Blunder Membawa Berkah
Lalu bandingkan dengan Gibran Rakabuming Raka. Kader kemarin sore PDI Perjuangan, yang dengan mudah didapuk sebagai calon wakil presiden. Lalu bandingkanlah dengan Kaesang Pangarep, yang dua hari menjadi anggota partai, ia langsung menjadi ketua umumnya!
Lihat pula Boby Nasution. Banyak kader PDIP di Medan yang berdarah-darah, hingga usia senior, belum juga tercapai mimpinya untuk menjadi anggota DPRD setempat. Apalagi menjadi kepala daerah.
Apa gerangan kesaktian yang dimiliki oleh ketiga orang itu? Apakah mereka mewarisi ajian Bandung Bondowoso? Lalu siapa yang jadi jin yang menjadi andalannya?
Jika demikian halnya, berhati-hatilah. Sandaran atau kekuatan yang kita andalkan seringkali punya batas dan masalahnya sendiri. Kecuali kita bersandar kepada Allah.
Meski Bandung Bondowoso sakti, meski Roro Jonggrang ahli bersiasat, kedua-duanya tak mampu menggapai mimpi atau ambisi mereka masing-masing secara sempurna. Mereka berdua tetap dirundung nestapa. Ingatlah, akan selalu ada arca yang tertinggal dari semua pasukan tak kasat mata yang kalian andalkan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!