Seperti tak putus dirundung masalah, sejak awal dicanangkan, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) telah mengundang kontroversi. Awalnya ada yang berbinar menaruh harapan kepada MBG, namun tak sedikit pula yang skeptis terhadap efektifitas MBG.
Mereka yang menaruh harapan kepada MBG membayangkan hadirnya pemerintah di meja makan anak-anak. Meja makan anak akan lebih berwarna, bermutu, dan bergizi lebih tinggi. Terbayang generasi Indonesia yang semakin sehat, kuat, dan cerdas.
Pihak yang skeptis tak kurang pula argumennya. Khawatir program ini terlalu dipaksakan, lebih bermuatan politik ketimbang perbaikan gizi anak, serta berpotensi menjadi ajang korupsi, nepotisme, dan kolusi baru, dalam implementasinya.
Faktanya, masalah-masalah justru bermunculan menggelayuti program andalan Pemerintahan Prabowo-Gibran ini. Sejak urusan penetapan anggaran, MBG telah dianggap bermasalah: Dari mana sumber anggaran sebesar itu akan diperoleh? Apakah kas negara mampu menanggungnya tanpa mengorbankan sektor lain yang juga vital? Perdebatan mengenai besarnya anggaran dan prioritas pembangunan telah menjadi soundtrack yang mengiringi laju MBG.

Kisah MBG yang tak putus dirundung masalah pun terus bergulir. Fakta-fakta di lapangan justru sering memupuskan binar harapan dan menguatkan kekhawatiran.
Lihat saja anggarannya. Awalnya ditetapkan sebesar Rp 15.000/anak, lantas dipangkas menjadi Rp 10.000/anak. Banyak pihak yang bertanya-tanya, gizi macam apa yang terkandung dalam menu seharga 10.000 rupiah? Sedangkan ahli gizi memberi estimasi kelayakan di angka 20.000 rupiah!
Angka ini kian terasa muskil jika diterapkan di seluruh Indonesia. Bagaimana mungkin 10.000 rupiah bisa mendapatkan makanan yang pantas (bukan bergizi) untuk daerah Papua, Indonesia Timur, dan daerah kepulauan?
Tak berhenti di sana. Di dalam implementasinya, berbagai laporan media mencatat adanya masalah distribusi. Ada sekolah yang menerima makanan terlambat, ada yang kualitas gizinya jauh dari standar, ada pula yang porsinya tak sebanding dengan jumlah siswa. Bahkan di beberapa daerah, MBG justru menimbulkan polemik baru: Apakah lebih baik anggaran dialihkan ke infrastruktur sekolah yang bobrok, atau tetap dipaksakan untuk program makanan yang pelaksanaannya amburadul?
Makin ke sini makin banyak saja temuan praktik amburadulnya MBG. Di wilayah Kepulauan Riau, anak-anak disuguhi MBG yang telah basi. Bahkan ada yang menjijikkan; ditemukan ulat dan jangkrik di menu makan anak-anak. Fakta ini diungkap oleh Kepala Kantor Pelayanan Pemenuhan Gizi (KPPG) Kepulauan Riau, Syariwidya, sebagai temuan dari inspeksi yang dilakukan oleh pihaknya.
Hal serupa terjadi di Bangkalan, Madura. Sejumlah sekolah mengembalikan paket MBG ke dapur penyedia. Ada 6 sekolah yang dilaporkan menerima paket MBG basi. Namun laporan di lapangan menyebutkan kasus tersebut juga terjadi di sekolah lain di Bangkalan, tetapi sayang paket sudah keburu dibagikan kepada siswa sebelum dilakukan pengecekan oleh pihak sekolah.
Lalu kasus yang paling heboh pun muncul. Anak-anak keracunan MBG! Tak tanggung-tanggung, secara nasional telah dilaporkan ada 5.360 siswa yang keracunan MBG. Bukankah ini menjadi paradoks paling konyol dari MBG? Makanan bergizi berubah menjadi makanan beracun!
Tak bisa dibiarkan, MBG yang dicanangkan dengan niat baik telah berubah menjadi masalah akibat sistem pengelolaan yang amburadul dan tidak profesional. Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap anak-anak yang keracunan?
Tak kalah horor dari kasus MBG beracun, masalah baru yang sesitif pun mengemuka dari balik dapur MBG. Disinyalir kuat food pray (wadah makanan) yang dipakai oleh MBG mengandung minyak babi. Desas-desus tak sedap ini telah mengemuka semenjak pertengahan Agustus lalu dan menimbulkan kegelisahan di kalangan wali murid muslim di seluruh Indonesia.
Sekitar pertengahan September kemarin, terkonfirmasi bahwa ompreng atau food pray yang digunakan oleh MBG dan diimpor dari China terbukti menggunakan unsur lemak babi. Hal ini diungkapkan oleh Pengurus Wilayah Rabithah Ma’had Islamiyah Nahdlatul Ulama Jakarta yang telah menerima hasil uji atas sample yang mereka kirimkan ke Shanghai Weipu Testing Technology Group, di China.
Masalah lemak babi semakin melengkapi kekisruhan di seputar pelaksanaan MBG. Akankah MBG menjadi "Makanan Bermasalah Gratis"? Apakah kita tega hati melakukan itu semua kepada anak-anak didik kita sendiri?

Berpotensi Menjadi Sandungan Prabowo
MBG sejak awal memang sarat dengan nuansa politik. Ia menjadi simbol janji kampanye yang digadang-gadang sebagai bukti kepedulian terhadap rakyat. Tetapi, ketika janji itu berhadapan dengan kenyataan di lapangan, publik pun bertanya: Apakah program ini benar-benar lahir dari kebutuhan rakyat, atau sekadar proyek citra politik?
MBG yang menarget anak-anak sekolah di seluruh Indonesia memiliki rentang mata rantai program yang amat jauh. Semakin jauh rentangan mata rantai program, cenderung makin sulit untuk dibuat ideal dan dikontrol secara sehat. Mata rantai program mudah karatan, lecet-lecet, berbelok arah dan bahkan putus oleh aneka tarikan kepentingan.
Bukankah selalu ada simpul dalam tiap hirarki mata rantai program? Sayangnya, simpul kerap menjadi sumbatan, dan yang lebih parah adalah berkelindan dengan kepentingan gelap yang justru ingin program ini tidak maksimal atau bahkan gagal. Seberapa jauh hal-hal semacam ini dapat dikendalikan oleh pusat kekuasaan?
Penting bagi Presiden Prabowo Subianto sebagai pihak yang secara moral paling bertanggungjawab atas program ini untuk segera mengambil sikap yang tegas. Evaluasi total dan ambillah sikap!
MBG memang bisa menaikkan popularitas dan citra politik, namun tersembunyi juga potensi sandungan yang tak kalah berbahayanya. Jadi, sebelum MBG berubah menjadi Makanan Basi Gratis atau Makanan Beracun Gratis, sebaiknya Presiden Prabowo mendengarkan suara rakyat, lalu mengambil sikap yang benar.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!