Jika anda tergolong "Bucin" kepada Anies, judul di atas mungkin terasa menyakitkan. Hati lagi sedih dan galau karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu gagal maju Pilkada malahan disyukuri. Ibarat sudah jatuh ditimpa tangga pula. Padahal mereka yakin seribu persen, Anies kandidat unggulan yang bakal menang, siapapun pesaingnya. Tapi, ternyata harapan itu bak pungguk merindukan bulan.
Namun bagi pembencinya, judul di atas mungkin diacungi jempol. Mereka bersorak gembira mantan Mendiknas itu gagal berlayar, setelah tarik ulur menegangkan sepanjang 27-29 Agustus lalu. Saking bencinya, bagi mereka nyaris tak ada sepotong kebaikan pun yang dimiliki mantan Rektor Universitas Paramadina itu. Meski selama lima tahun memimpin DKI Jakarta ada banyak pencapaian yang dihasilkannya.
Bagi pendukung rasional, judul diatas dianggap biasa-biasa saja. Mereka mendukung Anies karena memang secara kualitas Anies layak lantaran sudah membuktikan kinerjanya selama lima tahun memimpin DKI Jakarta. Hal itu setidaknya tergambar dari seluruh survei yang menempatkan Anies sebagai top ranking. Tapi jika ia tak jadi berlayar karena tak ada parpol yang mencalonkannya, ya sudah. Mereka paham secara konstitusional hak memajukan kandidat ada di tangan parpol.
Sebenarnya ada pintu lain untuk maju Pilkada melalui jalur perseorangan. Dengan perolehan sekitar 2,6 juta suara di Jakarta saat Pilpres lalu, peluang Anies untuk berlayar di Pilkada Jakarta terbuka lebar. Ia hanya memerlukan dukungan 630 ribuan warga ber-KTP Jakarta dari DPT sekitar 8,3 juta atau kurang dari seperempat pemilih AMIN saat Pilpres lalu. Namun sejak awal mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak mengambil jalur itu.
Elektabilitasnya yang tinggi membuatnya sangat percaya diri akan banyak Parpol berebut mencalonkannya, meski ia bukan kader Parpol manapun. Pengalaman menjadi Cagub di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Capres di Pilpres 2024, semakin mempertebal rasa percaya diri itu. Apalagi jauh sebelum dimulainya pendaftaran resmi Cagub/Cawagub pada 27-29 Agustus, Nasdem dan PKB sudah nyaring mengajukan namanya. PKS malahan langsung mendeklarasikan pasangan AMAN (Anies-Sohibul Iman) sebagai jagoan mereka.
Dukungan itu agaknya membuat Anies 0verconfident dan yakin tiketnya berlayar telah di tangan. Mungkin lantaran hal itu pula ia menolak tawaran "memakai jaket PKS" agar tambahan 4 kursi yang dibutuhkan untuk berlayar sesuai PT 20 % waktu itu bisa terpenuhi. Jika tawaran itu diterima, PKS rela menyerahkan Cawagub kepada partai lain, agar koalisi terwujud dan Anies bisa berlayar.
Menurut Sohibul Iman, tawaran itu ditolak. Anies tetap pada pendiriannya tidak ingin menjadi kader Parpol. Mungkin karena di matanya tidak ada Parpol yang tidak tersandera. Agaknya ia ingin membuktikan diri tanpa menjadi kader Parpol bisa sukses mencetak hattrick, setelah dua kali sukses menjadi Cagub dan Capres. Selain karena faktor eksternal, boleh jadi sikap Anies yang dinilai jumawa itu membuat PKS tak lagi mengusungnya, meski telah ada putusan MK. Kita semua tahu, akhirnya pasangan itu ambyar dan Anies gagal bertanding.
Kita tentu saja kecewa Anies gagal maju, karena popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas nya sudah teruji. Namun, sebagai orang beriman penulis percaya apa yang terjadi ini merupakan kehendak Allah. Tidak ada satu peristiwa apapun, bahkan seutas daun yang jatuh di tengah malam yang gelap gulita, tanpa izin Allah. Kita yakin, pasti ada kebaikan dibalik peristiwa ini. Penulis sengaja memakai judul diatas, karena memang begitulah seharusnya sikap orang yang beriman. Apapun yang terjadi selalu disikapi positif sebagai sebuah kebaikan. Pahit-manis, senang-susah, menang-kalah, maju-gagal dan seterusnya semuanya baik.
Ini ditegaskan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam haditsnya " Sungguh amat menakjubkan kehidupan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik , dan hal itu tidak akan dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Jika mendapatkan nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika terkena musibah ia bersabar dan itu baik baginya" – HR. Muslim
Itulah mengapa lazim kita dengar ucapan Alhamdulillah dalam aneka kesempatan. Memulai dan menutup doa dengan mengucap Alhamdulillah. Mengawali khutbah, pidato, sambutan juga sama. Jika ada orang bertanya "bagaimana kabar anda?", sebagai mukmin kita akan jawab Alhamdulillah. Meskipun saat itu tubuh kita mungkin sedang kurang enak badan. Bahkan seorang aktivis yang dipenjara karena kriminalisasi, mengucapkan Alhamdulillah ketika ditanya kabarnya. Betapapun keadaan dirinya- mungkin juga keluarganya- teramat miris.
Alhamdulillah bermakna Allah Yang Maha Baik tidak menginginkan kepada hamba-Nya kecuali kebaikan. Saking Pengasih dan Penyayangnya, Dia akan menerima hamba-Nya yang bertaubat, setinggi dan sebesar apapun dosa orang tersebut. Bahkan kebaikan dan kasih sayang itu tetap berlaku kepada mereka yang berdosa sekalipun dalam bentuk hukuman keras yang ditetapkan-Nya kepada para pendosa itu. Seorang pembunuh yang di-qishash atau penzina yang dirajam, dan menerima hukuman itu dengan tulus akan bebas dari azab di akhirat.
Coba simak penegasan Allah " Sesungguhnya di dalam qishash itu ada kehidupan bagi mereka yang berakal".
Maka, gagalnya Anies maju sebagai Cagub di Pilkada tahun ini, pasti membawa kebaikan bagi semua. Bagi PKS yang urung mengusungnya, bagi warga Jakarta juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Terutama tentu bagi diri Anies sendiri. Bukankah Allah menyatakan " ...Boleh jadi kamu membenci sesuatu , padahal dia baik bagimu. Boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu, padahal dia buruk bagimu. Allah Maha Tahu sedangkan kamu tidak mengetahui" – QS. Al Baqarah:216
Rencana Anies mewujudkan Gerakan Perubahan dalam bentuk Ormas atau Parpol, salah satu hikmahnya. Jika ia maju jadi Cagub Jakarta dan menang, dapat dipastikan Gerakan Perubahan yang digaungkan jelang Pilpres lalu sekadar omon-omon. Karena kendaraan dan panggung untuk mewujudkan ambisinya jadi presiden tahun 2029, telah tersedia. Karena itu, ia pasti akan berjibaku mengelola Jakarta habis-habisan untuk meraih sukses agar panggung dan kendaraan politiknya semakin tok-cer.
Kegagalan maju Pilkada memaksa Anies mewujudkan janjinya menghela gerakan perubahan dengan membentuk Ormas atau Parpol. Karena seperti dikatakan Rocky Gerung, Anies memang berambisi jadi presiden. Maka membuat Ormas atau Parpol adalah cara yang tepat untuk memuluskan keinginannya. Hal itu sekaligus juga menunaikan janji kampanye saat Pilpres lalu kepada hampir 41 juta pemilihnya di Indonesia.
Waktu yang kelak akan membuktikan apakah Ormas atau Parpol yang dinakhodai Anies benar-benar menggulirkan perubahan atau sekadar alat pemuas syahwat politik belaka. Politikus PKS, Mardani Ali Sera menyambut baik niatan Anies membuat Parpol. Namun ia mengingatkan tidak mudah menghela Parpol. Undang-undang menyodorkan persyaratan berat untuk sebuah Parpol bisa lolos ikut pemilu. Sudah banyak Parpol yang didirikan sejumlah tokoh dengan semangat menggebu, ternyata gagal ikut Pemilu. Jika berhasil lolos sebagai peserta Pemilu, perolehan suaranya sebatas nol koma atau satu koma.
Hikmah kedua untuk Parpol sendiri, khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Munculnya sosok Anies pada Pilgub 2017 dan Pilpres 2024, sejatinya merupakan pembunuhan terhadap kaderisasi Parpol. Memenangkan Pileg dua kali di Jakarta (2004 dan 2024) dan selalu meraih tiga besar Parpol di Jakarta sepanjang reformasi, tak menjadikan PKS kaya dengan calon pemimpin. Pada Pilkada tahun 2007 PKS mengusung Wakapolri Adang Darodjatun sebagai Cagub dengan kader internal Dani Anwar sebagai Cawagub. Pasangan Adang-Dani dikalahkan petahana Fauzi Bowo-Prijanto. Setelah itu setiap perhelatan Pemilu Adang selalu menjadi caleg PKS dan lolos ke Senayan. Lolosnya Adang tentu saja menutup peluang kader PKS lain yang boleh jadi sudah berdarah-darah sejak dari bawah.
Tahun 2012 PKS coba percaya diri dengan mengusung kader terbaiknya, Hidayat Nurwahid berpasangan dengan Didik Rachbini. Hasilnya, pasangan ini hanya meraih posisi ke empat. Dua teratas ditempati pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nahrowi. Kini setelah tak jadi mengusung AMAN, PKS harus puas jadi Cawagub melalui sosok Suswono. Padahal PKS pemenang Pileg di Jakarta dengan mengoleksi satu juta lebih suara dan meraih 18 kursi. Ke depan, setiap parpol harus sungguh-sungguh menyiapkan kadernya masing-masing untuk siap berkontestasi di Pilkada atau Pilpres.
Hikmah selanjutnya tentu untuk seluruh bangsa. Berbagai kontroversi dan hiruk-pikuk Pilkada-juga Pilpres- menyadarkan kita bahwa demokrasi yang diagung-agungkan sebagai mantra sakti daulat rakyat ternyata masih jauh panggang dari api. Rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan sebagian besar rakyat, menjadikan demokrasi sekadar nama dan embel-embel belaka. Atas nama demokrasi para koruptor, penggarong kekayaan negara, pembohong dan para penjilat terus menerus mengangkangi kekuasaan negara.
Menyambut 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, kita harus memastikan cita-cita para Founding fathers membentuk negara yang merdeka,bersatu, berdaulat, adil dan makmur bisa terwujud. Kata kuncinya terletak pada akhlakul karimah, sesuatu yang justru terasing di Indonesia saat ini. Reformasi dengan mantra demokrasi one man one vote telah menempatkan uang, kekuasaan, jabatan dan pangkat menjadi panglima. Akhlak mulia dan keteladanan, cukup disimpan di laci meja.
Wallahu a'lam bishawwab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!