Tugas pertama pemimpin adalah menjaga atau melindungi agama rakyatnya (sesuai agama yang diridhoi Allah). Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” – Ali Imran : 18
“Dia telah mensyari'atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama [yang mengesakan Allah SWT, beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menaati segala perintah dan larangan-Nya] dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” – Asy Syura : 13
“7. Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. 8. Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka.” – Muhammad : 7-8
Seluruh nabi dan para khalifah-Nya (penguasa di bumi-Nya) yang Allah beri amanah punya tugas dan kewajiban menegakkan dan melindungi agama tauhid, agar menjadi ajaran agama bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Itulah alasan para ulama pejuang kemerdekaan bangsa dan tokoh pendiri bangsa ini mencantumkan tugas pokok pemimpin bangsa ini di sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tugas kedua, menjaga atau melindungi jiwa manusia (rakyatnya). Peran ini merujuk pada firman Allah:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum): Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” – Al Maidah : 32
Tugas dan amanah Allah yang kedua bagi khalifah Allah (penguasa) di bumi ini adalah menjamin kehidupan (jiwa) rakyatnya yang ada di bawah kendali kekuasaannya, agar tak terjadi pembunuhan, penghilangan nyawa manusia secara zalim dan tanpa alasan yang dibenarkan secara hukum agama maupun norma adat. Oleh karena itu, para ulama pejuang kemerdekaan bangsa dan tokoh pendiri bangsa ini mencantumkan tugas pokok kedua ini sebagai dasar rumusan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Baca Juga : Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 1): Syariat dan Kepemimpinan
Ketiga, menjaga atau melindungi akal manusia (rakyatnya).
“59. Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah (maksudnya: hukum yg sesuai dengan perintah & petunjuk Allah) yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia’? (maksudnya: hukum yang diinginkan orang-orang kafir dan musyrik). 62. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? [menjadikan manusia berkuasa]. Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kalian mengingat-Nya (menggunakan akal).” – An Naml : 59 & 62
Menjaga dan melindungi akal manusia, bermakna agar para khalifah/penguasa di bumi ini sebagai wakil Allah selalu mengedukasi masyarakatnya agar mampu berpikir cerdas, tak mudah diadu domba, tidak mudah berpecah belah, serta agar memahami tugas dan fungsi dirinya sebagai makhluk Allah di bumi, sekaligus sebagai rakyat dalam komunitas suatu negara bangsa. Sehingga, harkat martabatnya sebagai manusia merdeka tetap terus terjaga, mampu hidup makmur dan damai, sejajar dan setara dengan manusia lainnya, serta menjadi manusia yang terhormat dan dapat berperilaku terhormat pula.
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) saling bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, karena nikmat Allah, lalu menjadilah kalian orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk. Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” – Ali Imran :103 & 105
Di dalam ayat lain, Allah menegaskan,
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” – Al Anfal : 46
Sehingga, para ulama pejuang kemerdekaan bangsa dan tokoh pendiri bangsa ini mencantumkan tugas pokok ketiga sebagai amanah dan tanggung jawab penguasa atau pemimpin bangsa ini sebagaimana dicantumkan dalam falsafah sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia”.
Keempat, menjaga atau melindungi nashab (keturunan) manusia (rakyatnya). Allah SWT telah menyatakan dalam firman-Nya,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” – Al Hujurat : 13
Baca Juga : Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 2): Kewajiban Untuk Memilih Pemimpin
Apa maksud dan tujuan dari melindungi nasab dan keturunan manusia, sehingga Allah masukkan hal ini sebagai bagian penting dari tugas dan amanah khalifahan-Nya (para penguasa di bumi) untuk dijaga?
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” – Asy Syura :38
Setiap manusia kelak akan dipanggil di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kabilah atau nasab orang tuanya dan atau suku bangsanya. Demikian pula ketika di dunia ini, manusia dikumpulkan, berkumpul dan berserikat sesuai dengan kabilah-kabilah suku bangsanya dengan kebiasaan, budaya dan aturan-aturannya sendiri. Di dalam setiap perkumpulan maupun perserikatan untuk menentukan kebijakan yang diridhoi Allah, pengambilan keputusan dan penetapan hukum yang sesuai dengan bimbingan Allah agar tetap berada dalam keberkahan Allah, diperlukan permusyawaratan. Permusyawaratan perlu wakil-wakil kabilah dan utusan suku-suku bangsa yang jelas nasabnya, terdidik, dan terbaik akhlak budi pekertinya, kuat jati diri keimanannya, serta terbimbing dengan hidayah Allah. Bukan dari nasab-nasab yang tak jelas asal usul dan jati dirinya.
Bahkan dalam hukum fiqih, anak hasil hubungan gelap (zina) yang tidak jelas asal usul nasabnya haram dijadikan imam (pemimpin). Sehingga, urusan nasab sangat penting dan diperlukan dalam masalah syariat, agar dalam sistem permusyawaratan dan perwakilan untuk mewakili suku bangsanya tak terjadi penghianatan dari wakil yang tidak jelas ikatan nasabnya terhadap kepentingan kabilah suku bangsa yang diwakilinya. Karena kewajiban syariat untuk menjaga nasab inilah, para ulama pejuang kemerdekaan bangsa dan tokoh pendiri bangsa ini mencantumkan tugas pokok keempat yang menjadi amanah dan tanggung jawab penguasa atau pemimpin bangsa ini dalam falsafah sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat, Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”.
Kelima, menjaga atau melindungi harta kekayaan rakyatnya (negaranya).
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (generasi penerus) yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” – An Nisa’ :9
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jika kalian meningalkan anak keturunanmu (generasi penerus) dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain.” – HR. Al Bukhari & Muslim
Di antara tugas dan kewajiban pemimpin (khalifah Allah) di setiap buminya adalah menjaga dan melindungi harta kekayaan rakyat dan bangsanya secara adil dan merata. Baik harta kekayaan milik pribadi maupun milik negara. Tak boleh terjadi, rakyatnya mengalami kesulitan dalam masalah sosial ekonomi (sandang, papan dan pangan). Tak boleh ada kezaliman dan penindasan dalam masalah keadilan hukum, keadilan ekonomi, serta dalam masalah pemerataan kemakmuran.
Allah telah menurunkan perintahnya kepada para khalifah-Nya (pemimpin) di bumi-Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. – An Nisa’ :135
Kewajiban syariat untuk menjaga harta atau melindungi harta rakyat dan bangsa itulah, maka para ulama pejuang kemerdekaan bangsa dan tokoh pendiri bangsa ini mencantumkan tugas pokok kelima sebagai amanah dan tanggung jawab bagi setiap penguasa atau pemimpin bangsa ini dalam falsafah negara pada sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!