Hari ini, tanggal 20 November, masyarakat dunia memeringati Hari Anak Sedunia. Dilansir dari laman UNICEF, tema Hari Anak Sedunia tahun 2024 adalah “Listen to the Future” atau dengarkan masa depan.
Masih ada nestapa yang menimpa banyak anak-anak di berbagai belahan dunia. Di Gaza, anak-anak menjadi korban perang. Tak hanya kehilangan ayah-ibu, mereka bahkan kehilangan anggota tubuh dan peluang. Di Haiti, sejumlah besar anak-anak perempuan menjadi korban perdagangan anak dan kekerasan seksual. Dan banyak kisah lain yang tak kalah mengerikan yang menimpa anak-anak, tersebar hampir di semua benua.
Di wilayah-wilayah damai dan memiliki kemakmuran tinggi, tumbuh anak-anak yang rapuh. Sedang ramai orang berbicara tentang Strawberry Generation (generasi stroberi). Ini sebuah istilah yang menurut Rhenald Kasali memiliki makna “generasi yang indah namun mudah sekali hancur dan benyek”. Indah dengan berbagai bakat dan potensi, namun tak tahan gesekan hidup, sehingga mudah menyerah dan terluka.
Konon, istilah Strawberry Generation ini pertama kali populer di Taiwan pada tahun 1990-an, untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap rapuh seperti buah stroberi—tampak indah di luar, tetapi mudah rusak saat mendapat tekanan. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada Generasi Milenial atau Generasi Z di beberapa budaya, meski pun tidak selalu berlaku untuk semua individu dalam kelompok tersebut.
Stroberi dalam istilah ini hendak menggambarkan situasi di seputar anak-anak yang terbiasa nyaman dan hidup dalam berbagai fasilitas modern yang hampir-hampir meniadakan istilah jerih-payah. Stoberi juga mewakili situasi batin dan fisik yang rapuh atau mudah pecah dan rusak. Mudah lelah dan sakit, secara fisik maupun mental. Tidak bisa dimarahi, suka menghindari masalah, dan sebagainya.
Namun, warna merah Stroberi juga mengandung sejumlah keindahan yang mewakili potensi positif generasi ini. Di antaranya adalah, mereka cerdas dan memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap teknologi. Mereka juga kreatif memadukan banyak hal yang telah tersedia dalam lingkungannya menjadi hal lain yang bermanfaat.
Banyak pihak yang mengeluhkan Generasi Stroberi. Dunia kerja tidak puas dengan mentalitas mereka yang lembek. Sedikit kena marah, pilihannya adalah resign. Mereka juga dianggap tidak bisa bekerja under pressure. Mudah lelah dan selalu butuh waktu untuk healing.
Orang tua pun banyak yang mengeluhkan generasi stroberi ini. Bahkan, banyak yang sibuk bertanya ke psikolog, bagaimana cara mendidik generasi ini.
Ya, semua pihak memang perlu prihatin. Salah penanganan terhadap Generasi Stroberi mungkin akan melahirkan nestapa yang lain yang mungkin lebih parah daripada anak-anak korban perang.
Tidak Lahir dari Orang Tua Durian
Bayangkanlah. Jika yang kita sebut sebagai Generasi Stroberi ini tumbuh dengan segala kerapuhannya, kemudian mereka menjadi dewasa dan menikah, maka generasi seperti apa yang akan mereka lahirkan? Padahal, bisa jadi, saat Generasi Stroberi punya anak, dunia tengah memasuki perang dunia ketiga, yang tanda-tandanya telah tampak di hari-hari terakhir ini.
Tetapi, memulai terapi dengan konsultasi mengadukan situasi anak kepada psikolog mungkin bukan awal yang sepenuhnya benar. Orang tua harus sadar sejak awal bahwa generasi stroberi lahir dari “Strawberry Parenting”.
Generasi Stroberi ini lahir tidak secara ujug-ujug. Mungkin kemunculannya telah diawali oleh orang tua dari Generasi X yang mengalami gegar budaya saat smart phone membetot semua perhatian mereka. Lalu android merebak, youtube mudah diakses, Medsos bejibun, dan lain-lain.
Orang tua dari Generasi X yang akan atau tengah mengasuh Generasi Milenial mengalami pergeseran dalam memainkan peran-peran parenting. Pola asuh berubah. Orang tua sibuk ber-gadget ria, anak-anak diputarkan youtube. Maka, lahirlah generasi milenial yang tumbuh dalam pola asuh semi gadget. Kadang main sama orang tua, kadang main dengan gadget.
Generasi Milenial lahir dalam lingkungan yang telah begitu cerdas, mudah dan banyak pilihan layanan instan. Mereka tak lagi main petak umpet. Mereka tak lagi bisa memanjat pohon. Bahkan, mereka tak bisa membuat surat cinta yang penuh makna hingga dua halaman!
Mereka lebih piawai mengopi quote, kutipan kata bijak hingga rayuan gombal yang bersifat instan. Lalu jadi ayah dan ibu dan melahirkan anak. Hidup dijalani dengan mudah, semua masalah dan kebutuhan selesai dengan handphone. Nah, lahirlah generasi stroberi. Generasi yang sangat bisa jadi adalah akibat dari pola asuh kualitas stroberi, bukan durian!
Sekadar pembanding, mungkin kita perlu melongok ke Palestina. Adakah di sana, di Gaza, lahir anak-anak stroberi? Bahkan ibu-ibu di Palestina melahirkan mujahid-mujahid besar, yang bahkan tetap menjadi pejuang saat badan terkoyak dan tak utuh lagi?
Di Hari Anak Internasional ini, kita tetap penting bicara hak anak. Tetapi juga amat penting bicara tentang parenting. Kita masih spesies manusia, tetapi pola asuh yang salah membuat mentalitas kita terjerembab ke dalam kerapuhan Stroberi.
Generasi Stroberi tak lahir dari model parenting ayah-ibu durian.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!