Keadaan pejuang Syria dengan Gaza itu hampir sama. Mereka mengungsi ke tempat berkumpul dan menjalankan pemerintahan sendiri. Jika Palestina di Gaza, maka Syria di Idlib. Bedanya, mereka yang di Gaza tidak punya backing negara tetangga, dalam hal ini yang diharapkan adalah Mesir.
Sempat muncul harapan ketika Muhammad Mursi berkuasa. Tetapi kemudian ia dijatuhkan oleh antek Israel dan liberal. Mesir bahkan akhirnya malah memblokade Gaza hingga benar-benar tak berdaya.
“Kami Tidak Akan Meninggalkan Gaza Sendirian”
Sejarah mencatat, Presiden Syahid (almarhum) dan pidato-pidato medianya merupakan cerminan nurani umat terhadap Palestina. Ucapan terkenalnya, “Kami tidak akan meninggalkan Gaza sendirian”, menjadi salah satu ciri utama dari retorika medianya — suatu kenyataan yang benar-benar dirasakan oleh rakyat Palestina. Terpilihnya Mohammad Mursi sebagai Presiden Mesir berdampak positif terhadap upaya mengakhiri blokade terhadap Jalur Gaza. Setelah memenangkan pemilu, Mursi mengambil sikap tegas menentang blokade terhadap Gaza. Di dalam pidatonya di hadapan Kongres ke-4 Partai Keadilan dan Pembangunan di Ankara pada 30 September 2012, ia berkata, “Orang Mesir tidak bisa tinggal diam melihat blokade Gaza. Perbatasan antara kami dan Gaza dibuka untuk memenuhi kebutuhan penduduk Gaza — makanan, obat-obatan, pendidikan, dan komunikasi antar keluarga. Perbatasan dibuka agar kami dapat menjalankan peran dan kewajiban kami terhadap saudara-saudara kami di Gaza”.
Di dalam KTT Arab ke-24 di Doha pada 26 Maret 2013, ia juga berkata, “Kita tidak boleh menerima — dan nurani manusia pun tak akan menerima — kelanjutan dari blokade yang zalim ini”.
Sikap Presiden Mursi terhadap agresi Israel terhadap Gaza — yang dimulai dengan pembunuhan tokoh militer Hamas, Ahmed Al-Jabari, pada 14 November 2012, padahal saat itu sudah ada draft kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir — menjadi titik balik penting dalam menghentikan agresi Israel terhadap Gaza. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Mesir mengambil sikap sekeras dan sejelas ini dalam mengecam agresi tersebut.
Sejak awal serangan, lembaga kepresidenan dan pemimpin militer Mesir langsung bergerak untuk menghentikan agresi Israel. Presiden Mursi segera menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Hisham Qandil, para menteri, dan para penasihatnya. Pertemuan ini diawali dengan pidato Mursi yang disiarkan televisi nasional, di mana ia mengecam agresi tersebut. Ia berkata bahwa rakyat, kepemimpinan dan pemerintah Mesir akan mengerahkan segala kemampuannya untuk menghentikan agresi dan mencegah pertumpahan darah.
Mursi juga menyerukan penghentian segera terhadap serangan ke Gaza. “Agresi ini telah terjadi berulang kali dan itu tidak bisa diterima... Kami berkomunikasi dengan seluruh Gaza dan rakyat Palestina, dan kami akan berdiri bersama mereka untuk menghentikan agresi ini. Kami tidak akan menerima dalam kondisi apa pun kelanjutan serangan dan ancaman terhadap Gaza,” tegasnya.
Di dalam pidato medianya, Mursi menggambarkan situasi di Gaza sebagai perkara serius dan agresi terang-terangan. Ia memeringatkan akan dampak dari agresi ini dan menegaskan, “Mesir tidak akan meninggalkan Gaza sendirian. Mesir hari ini sangat berbeda dengan Mesir kemarin, dan orang-orang Arab hari ini juga berbeda dengan orang Arab di masa lalu”.
Ia menegaskan pula, “Mesir dengan kehendak kuat dan kemampuannya yang besar berkata: 'Gaza tidak sendirian'.”
Ia pun menantang Israel dengan mengatakan, “Kalian tidak akan memiliki kekuasaan atas kami atau pun atas Gaza”.
Ia menegaskan juga, “Mesir tidak ingin perang dengan siapa pun. Kami bukan pencari perang, tetapi kami juga bukan pencari damai sepihak. Apa yang terjadi sekarang ini tidak bisa diterima”.
Sikap pemerintahan Muhammad Mursi ini membuat Israel agak ngeper, sehingga mereka tidak memerluas serangan, bahkan menghentikannya. Bahkan perbatasan Rafah dibuka lebar sehingga memungkinkan semua bantuan dari luar masuk ke Gaza dengan bebas, sampai-sampai penyelundupan senjata besar-besaran dari Libya pun terjadi.
Kudeta Al-Sisi Mengubah Dukungan Mesir
Setelah kudeta terhadap Presiden Mursi pada 3 Juli 2013, hubungan antara Mesir dengan Hamas diliputi oleh ketegangan dan ketidakpercayaan. Pada periode ini, muncul retorika media yang bermusuhan dari Abdel Fattah al-Sisi dan media pendukungnya terhadap perlawanan Palestina secara umum, dan terhadap Hamas secara khusus. Sebuah kampanye besar-besaran diluncurkan untuk menghasut opini publik melawan Jalur Gaza secara umum dan Hamas secara khusus, dimulai dari pidato-pidato publik Al-Sisi, lalu diikuti oleh partai-partai, media, dan berbagai tokoh di Mesir.
Dapat dikatakan bahwa hubungan Mesir dan Palestina setelah era Presiden Mursi kembali ke kondisi seperti sebelum Revolusi 25 Januari 2011 — bahkan lebih buruk. Perlawanan Palestina menjadi seperti tanpa perlindungan dalam menghadapi pendudukan. Hal itu membuat Israel semakin berani dalam agresinya terhadap Jalur Gaza dalam perang ketiga yang mereka sebut “Operation Protective Edge” (Operasi Tepi Perlindungan), yang berlangsung selama 51 hari dan berakhir pada 26 Agustus 2014. Di dalam perang itu, Gaza berdiri sendirian, hanya disokong oleh rakyat yang tidak memiliki kuasa atau pun kemampuan untuk mengubah keadaan. Dan kini, kita menyaksikan skala kejahatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, yang dilakukan oleh entitas Zionis terhadap warga sipil tak bersenjata sejak dimulainya perang "Badai Al-Aqsa" (طوفان الأقصى).
Perkembangan situasi dan kenyataan di lapangan, serta retorika media Al-Sisi, telah mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya. Ucapan-ucapannya yang disiarkan di televisi pada berbagai kesempatan mengungkapkan niat sebenarnya terhadap perlawanan. Contohnya: “Israel berhak membela diri” dan “Kami menyarankan Israel untuk memindahkan warga Palestina ke Negev sampai perlawanan berhasil diberantas”.
Di sisi lain, dalam konteks retorika media Sisi terhadap Gaza, pernyataan-pernyataan dari pejabat Zionis dan Barat secara gamblang menegaskan bahwa rezim Sisi membantu entitas Zionis dengan segala cara. Bantuan ini mencakup:
- Memerketat blokade terhadap Gaza dengan menutup perbatasan Rafah, dan hanya membukanya dengan izin dari pihak Zionis.
- Memberlakukan pungutan liar (semacam pajak) terhadap siapa pun yang ingin keluar dari Gaza.
- Melarang sebagian besar korban luka yang membutuhkan perawatan di Mesir atau negara lain untuk keluar dari Gaza.
- Memainkan isu bantuan kemanusiaan, yang ditumpuk di sisi Mesir dari perbatasan Rafah dan tidak diizinkan masuk ke Gaza.
- Memberi ruang kepada sejumlah tokoh media untuk mendiskreditkan perlawanan dan mendukung entitas penjajah.
- Selain itu, ada konfirmasi dari pihak Barat dan Zionis bahwa intelijen Mesir telah memberi tahu Israel lebih awal sebelum 7 Oktober bahwa perlawanan mungkin akan melancarkan serangan terhadap entitas Zionis.
Lebih dari itu, Mesir juga membantu secara intelijen dan militer, termasuk dengan menghentikan beberapa kali serangan drone dari kelompok Houthi di Yaman yang mengarah ke Eilat (Israel selatan).
Peran Erdogan Melindungi Idlib
Sementara oposisi Syria lebih beruntung karena kebetulan yang memimpin Turki 20 tahun terakhir adalah aktivis muslim pro perjuangan mereka, yaitu Erdogan dengan partai AKP-nya. Idlib adalah perbatasan antara Turki dengan Syria, dan kawasan ini berhasil dikuasai oleh oposisi yang memang banyak dibantu secara rahasia dan proxy oleh rezim Erdogan.
Erdogan banyak kehilangan kepercayaan bahkan dikudeta serta hampir kalah pemilu karena keputusan tidak populernya menampung pengungsi Syria yang hampir 3 juta orang sehingga membebani anggaran belanja negaranya. Juga karena menjadi backing milisi oposisi yang sudah dianggap teroris oleh barat dan sebagian negara Arab.
Bayangkan, kalau waktu itu Erdogan berhasil dikudeta atau kalah pemilu sehingga pemerintahan dikuasai partai sekuler yang anti oposisi Syria dan bisa dipengaruhi oleh Asad. Syria itu kan berbatasan dengan Yordania di selatan, Turki di utara, di timurnya ada Irak, serta baratnya Samudera Eropa, Lebanon, dan Palestina terjajah.
Nah, kebetulan negara tetangga yang berani ambil risiko mem-back-up oposisi hanya Turki. Yordania biasalah cari aman, padahal awal revolusi meletus terjadi di Dar'a yang dekat dengan perbatasan Yordania. Irak tidak mungkin, karena ia dalam kekuasaan syiah. Ke Lebanon atau Palestina juga tak mungkin.
Tinggallah Turki yang berbaik hati menampung pengungsi dan menjadi lalu lintas bantuan senjata dan politik untuk hukumatul inqadz (pemerintahan penyelamat) Syria di bawah HTS. Itu karena yang berkuasa adalah Islamis dari kelompok Ikhwan Muslimun, yaitu Erdogan dengan AKP-nya. Jika yang berkuasa Kemalis sekuler, ya akan seperti sikap Al-Sisi terhadap Gaza. Ditutup perbatasannya dan dibiarkan orang di Idlib dibom habis-habisan oleh Rusia dan Iran.
Kesimpulan
Gaza sebenarnya bisa diselamatkan jika pemerintah Mesir mau membantu dengan membuka perbatasan sejak awal perang serta memberikan dukungan politik seperti yang dilakukan Muhammad Mursi. Lebih dari itu, Mesir pun bisa menjadikan pejuang HAMAS maupun faksi jihad lainnya sebagai proxy mereka untuk mengancam Israel agar jangan meluaskan kekuasaan dan kembali menganeksasi Sinai seperti tahun 1967. Mengingat cita-cita Israel Raya memang akan menguasai dataran Sinai yang berada di bawah Mesir.
Gaza sebenarnya benteng pertahanan untuk Mesir. Persaudaraan sesama muslim dan sesama Arab semestinya menjadikan Mesir all out untuk Gaza. Tetapi kenyataan akan lain kalau dia dikuasai oleh rezim antek Israel dan barat seperti Al-Sisi saat ini. Tak ada persaudaraan sesama muslim, tak ada nasionalisme Arab, bahkan tak ada harga diri sebagai manusia ketika negara berada di bawah pimpinan boneka.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!