Apresiasi Jurnalisme dan Upaya Membangun Nyawa Demokrasi

Apresiasi Jurnalisme dan Upaya Membangun Nyawa Demokrasi
Apresiasi Jurnalisme dan Upaya Membangun Nyawa Demokrasi / Photo by Nikolas Gannon on Unsplash

Masyarakat kita sering kali beranggapan bahwa kemerdekaan adalah kebebasan dalam arti kemerdekaan secara kolektif. Padahal, UUD 1945 sering kali berbicara tentang paradigma kebebasan individu yang menjadi tolok ukur kebebasan kolektif yang sebenarnya. Salah satunya yaitu kebebasan pers dalam menjalankan fungsi jurnalisme.

Seperti diketahui, di dalam negara demokrasi, pers atau jurnalisme merupakan pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi, bagaimana kita menjalankan negara juga termasuk menjadi salah satu tanggung jawab jurnalisme. Jurnalisme yang akurat, transparan, dan aktual, tentu menjadi dambaan rakyat yang ingin disuarakan dan dibela hak-haknya.

Kegembiraan di ranah jurnalisme datang di akhir tahun 2024 lalu dengan diberikannya sebuah apresiasi untuk jurnalis yang telah memberikan dedikasi terbaiknya. Alsabbagh (33 tahun) dan Hassouna (47 tahun) dianugerahi penghargaan untuk kategori News untuk karya mereka tentang konflik yang menghancurkan, yang dipicu oleh serangan 7 Oktober 2023 oleh Israel. Skala kehancuran yang besar, jangkauan emosi yang kuat, merupakan daya tarik cerita yang menggambarkan kengerian yang mencekam. Ini bukan sekadar daftar periksa berita terkini, tetapi penceritaan yang kuat dengan empati, keberanian, dan bakat, dalam kondisi perang yang sulit. Penghargaan tersebut telah diberikan sejak 1995, guna mengenang jurnalis video Rory Peck, yang terbunuh di Moskow pada 1993, untuk memberikan perhatian yang lebih bagi karya jurnalis video lepas.

Selain itu, satu film menarik berjudul “No Other Land” yang rilis pada 2024, juga memenangkan penghargaan Anna Politkovskaya-Arman Soldin Prize for Courage in Journalism 2024. Film itu adalah sebuah dokumenter hasil kolaborasi sineas, aktivis, dan jurnalis asal Palestina dan Israel yang tinggal di Yerusalem dan beberapa kota di Tepi Barat. Mereka adalah Basel Adra dan Yuval Abraham. Film itu menghabiskan waktu lima tahun untuk proses produksi, menggali kehidupan masyarakat Palestina yang tinggal di daerah pedesaan Masafer Yatta di Tepi Barat yang diduduki. Di daerah tersebut, Tentara Pertahanan Israel (IDF) secara rutin menghancurkan rumah dan sekolah Palestina, dengan alasan bahwa mereka membutuhkan lahan tersebut untuk zona pelatihan militer.

Penghargaan tersebut hanya dua dari sekian banyak penghargaan terhadap karya jurnalisme di dunia. Diberikan karena dedikasinya tidak hanya mengorbankan waktu dan pikiran, tetapi juga nyawa. Pada kenyataannya, hingga kini, pengejaran dan pembunuhan jurnalis masih terus ada. Terutama oleh pihak-pihak yang dirugikan secara politis. Tidak hanya di wilayah konflik dan perang saja, tetapi juga di negara-negara yang kepemimpinannya bercorak tangan besi.

Apa Pentingnya OCCRP Mem-framing Jahat Jokowi?
Dari fakta-fakta tentang OCCRP, tampaknya sulit diketemukan adanya kaitan langsung antara organisasi nirlaba tersebut dengan salah satu kekuatan politik di Indonesia.

Volker Turk, Komisaris Tinggi HAM PBB, mengungkapkan, “Jurnalis yang mengungkap ketidakbenaran dan menunjukkan kepada kita realitas konflik yang mengerikan adalah pembela HAM. Serangan terhadap mereka berdampak pada hak setiap orang atas kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi, sehingga membuat kita kurang mendapat informasi.

Tercatat, di tahun 2024, Israel dan Haiti adalah negara paling buruk yang membiarkan pembunuhan jurnalis tanpa hukuman. Hingga 30 Oktober 2024, CPJ (Committee to Protect Journalist) – sebuah kelompok kebebasan pers – telah mendokumentasikan sedikitnya 134 pembunuhan jurnalis dan pekerja media di dunia, dengan Amerika Latin, Palestina, dan Ukraina sebagai kawasan paling berisiko.

Di dalam negeri, kekerasan dan kejahatan terhadap jurnalis semakin menjadi ancaman serius yang tidak bisa diabaikan. Di dalam laporan terbaru dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang tahun 2006 hingga tahun 2024 tercatat telah terjadi 1.098 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka yang fantastis!

Rakyat, Jurnalisme, dan Nyawa Demokrasi

Sebuah realita berbicara lebih jelas daripada sekadar framing tak jelas, juga hoaks yang sering dihadirkan pihak berkuasa dan oligarki. Bahwa salah satu indikasi merosotnya demokrasi adalah tekanan dan kekerasan terhadap kebebasan pers. Sudah seharusnya, masyarakat sebagai pihak yang sangat diuntungkan dengan kehadiran pers, menjadi garda depan pembela dan mata yang selalu mengawasi. Karena rakyatlah tuan rumah demokrasi dan pemilik kedaulatan di negeri ini. Simbiosis yang terjadi antara masyarakat dan insan pers menjadi penting untuk roda edukasi dan mediasi di ruang publik yang berkelanjutan.

Ke depan, jurnalisme harus menyentuh kedalaman “batin” masyarakat bawah, agar fungsi jurnalisme benar-benar bisa dipahami masyarakat dalam tataran kontribusi masyarakat secara langsung. Hal ini mungkin bisa dimulai dengan membangun program-program bersama dengan masyarakat, semisal diskusi publik, serap aspirasi, bazaar, baksos, dan lain-lain. Undangan bisa ditujukan kepada para tokoh agama, sesepuh, tokoh pemuda, komunitas, dan yang lainnya, yang dianggap bisa memberikan keterwakilan di masyarakat.

Jangan sampai mereka hanya melihat jurnalisme di kejauhan, di ranah digital saja. Diharapkan, ke depan terbangun narasi bersama untuk terus menghidupkan nyawa pers yang juga nyawa demokrasi.

Pilih Pilkada Langsung atau Tidak Langsung?
Bagaimana jika hak politik rakyat untuk memilih kepala daerah beralih tangan ke DPRD yang keseluruhan anggota DPRD adalah utusan partai politik? Apakah evaluasi sudah dilakukan hingga muncul kesimpulan bahwa Pilkada tidak harus langsung?

Apresiasi yang Membangun Kesadaran Publik

Apresiasi tidak hanya mendatangkan kebanggaan bagi penerimananya. Apresiasi juga diharapkan menjadi mental support dan peningkatan self esteem yang berarti untuk melanjutkan perjalanan panjang kebaikan-kebaikan yang tentunya tak mudah. Memberikan penghargaan untuk para jurnalis atas kinerja luar biasanya tentu akan memberikan dampak. Tidak hanya kepada jurnalis itu sendiri, tetapi juga menyuguhkan good framing bahwa jurnalisme adalah kerja-kerja kita semua. Kerja seluruh bagian masyarakat.

Kita tentu ingat bagaimana kebijakan zero waste tentang pengurangan plastik belanja juga berawal dari komunitas di masyarakat yang bergerak di bidang kelestarian lingkungan. Yang pada akhirnya menjadi kebijakan pemerintah. Jadi, jangan pernah remehkan agent of change berbasis komunitas masyarakat.

Maka, sangat menarik jika perkumpulan pers semisal AJI, PWI, PPDI, dan lain-lain, bisa menghadirkan acara-acara yang dikemas untuk memberikan apresiasi kepada insan pers nasional. Memberikan beragam kategori yang akan memerkaya khazanah pers. Tidak untuk menjadi terkenal, tetapi juga menjadi insan pers yang semakin menunjukkan kapasitas jurnalisme dan mencerahkan peradaban. Sebagaimana perkataan Tom Stoppard, “Saya masih percaya bahwa jika tujuan Anda adalah mengubah dunia, jurnalisme adalah senjata jangka pendek yang lebih cepat”.

Ibarat bernapas di dalam lumpur, saya masih percaya bahwa perkataan Tom Stoppard masih memiliki harapan di tengah iklim demokrasi yang kian mengalami krisis. Sekecil apa pun, nurani dan suara keadilan akan tetap didengar walau di ruang hampa. Seperti kerasnya Israel yang membungkam dan membunuh para jurnalis Palestina, suara keadilan justru semakin menggema di tiap penjuru dunia.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.