Mulai Selasa, 27 Agustus 2024, pendaftaran Calon Kepala Daerah dibuka. KPU pun sudah menerbitkan PKPU sesuai dengan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Amar putusan MK nomor 60 yang membatalkan persyaratan ambang batas 20 % telah membuka peluang banyak parpol mengusung jagoannya sendirian. Sementara amar putusan MK nomor 70 yang mensyaratkan usia minimal 30 tahun untuk Cagub/Cawagub saat penetapan paslon oleh KPUD telah memakan korban Kaesang Pengarep, putra bungsu Jokowi.
Kaesang batal mendampingi Ahmad Luthfi di Pilkada Jateng, padahal sudah mengurus berbagai surat untuk pencalonannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebagai gantinya, muncul nama Mantan Wagub, Taj Yasin. Akankah pasangan Lufhi-Yasin ini tetap diusung KIM Plus seperti sebelumnya? Ataukah bakal terjadi perubahan? Kita tunggu saja.
Salah satu pilkada yang paling menjadi sorotan adalah Pilgub Jakarta. Dengan ambang batas 7,5 % perolehan suara, nyaris hampir semua parpol yang punya kursi di DPRD Jakarta dapat mengusung calon sendiri, kecuali Perindo dan PPP. Bahkan, parpol non kursi pun dapat mencalonkan jika gabungan suara mereka memenuhi syarat ambang batas. Tak heran jika Partai Buruh segera mendeklarasikan dukungannya kepada Anies Baswedan sembari membujuk PDIP melakukan hal yang sama.
Di titik ini, PKS menjadi sorotan utama. Maklum, partai dakwah ini adalah satu-satunya partai yang sejak jauh hari sudah mengumumkan jagoannya. PKS mengumumkan pasangan AMAN (Anies-Sohibul Iman) untuk Pilkada Jakarta sejak 25 Juni 2024. Namun, karena sampai batas waktu yang ditetapkan, Anies tak juga dapat menambah 4 kursi untuk melengkapi persyaratan ambang batas 22 kursi, PKS bergeser ke lain hati. Mereka bergabung dalam KIM Plus yang memberikan PKS jatah Cawagub untuk mendampingi Ridwan Kamil (RK).
Di dalam ilmu fiqih, ambang batas itu disebut illat. Jika sekarang illat itu sudah tidak ada, semestinya alasan PKS bergabung ke KIM menjadi tak ada lagi. Apalagi, sebagai partai pemenang pemilu di Jakarta dengan 18 kursi di DPRD, PKS cuma kebagian jadi Cawagub, sedangkan Golkar – partai asal RK – cuma punya 10 kursi. Sungguh perlakuan yang tidak pantas. Ketika mengusung AMAN, salah satu alasan PKS rela menempatkan kadernya sebagai Cawagub adalah karena elektabilitas Anies yang tinggi. Alasan yang tidak bisa diterima akal sehat saat disandingkan dengan RK di KIM Plus, mengingat tingkat elektabilitas RK yang biasa-biasa saja.
Karena illat itu sudah tak ada, semestinya PKS bisa mengusung calonnya sendiri di Pilkada Jakarta. Tak mesti Anies yang diusung. Apalagi, yang bersangkutan sudah berangkulan dengan PDIP. PKS harus berani mengusung kadernya sendiri atau nama lain yang lekat di hati umat. PKS punya banyak kader yang layak diusung. Sohibul Iman dan Mardani Ali Sera adalah dua di antaranya.
Nama yang terakhir bahkan pernah dijagokan untuk mendampingi Sandiaga Uno saat Pilgub 2017 sebelum masuknya nama Anies Baswedan atas endorsement JK, di samping ia pernah terpilih tiga kali ke Senayan dari Dapil Jakarta. Adapun Sohibul Iman punya kapasitas yang tak perlu diragukan lagi. Selain pernah menjadi Presiden PKS dan Wakil Ketua DPR, ia juga pernah jadi Rektor Universitas Paramadina sebelum Anies Baswedan.
Atau jika mau lebih progresif, PKS bisa menjagokan Gamal Albinsaid, anak muda dengan prestasi Bank Sampah. Jika Gamal diusung, suara anak muda Jakarta boleh jadi bisa diraup. Maju sendiri dan keluar KIM sangat penting bagi PKS untuk mengembalikan kepercayaan publik. Jangan takut kalah. Sebab, siapa pun nama yang diusung PKS, peluang menang tetap terbuka siapa pun kompetitornya. Bahkan seandainya pun berhadapan dengan Anies yang kemungkinan dijagokan PDIP dan Partai Buruh maupun RK yang diusung KIM.
Di dalam semua survey, nama Anies Baswedan memang melambung tinggi dan selalu menjadi pemuncak. Tetapi jangan lupa, itu terjadi lantaran Anies santer bakal diusung oleh PKS, Nasdem, dan PKB, yang saat Pilpres lalu bergabung dalam Koalisi Perubahan. Jika Anies maju dari PDIP, tentu konstelasi akan berubah.
Basis pemilih Anies setidaknya ada empat elemen. Pertama, pemilih PKS. Kedua, kalangan Islam yang anti Jokowi dan PDIP, semisal FPI, 212, dan lain-lain. Ketiga, kelas menengah yang jengah dengan perilaku rezim dan menganggap Anies sebagai antitesis. Keempat, kalangan miskin kota yang disingkirkan oleh Ahok.
Maka, jika Anies maju dari PDIP, dua elemen pertama tentu saja akan balik badan. Bahkan elemen pendukung FPI dan 212 sudah balik badan saat Pilpres kemarin. Mereka marah lantaran Victor Laiskodat, orang yang paling mereka benci dan dicari-cari, justru muncul di panggung kehormatan saat kampanye akhir di JIS. (Lihat tulisan: PKS The Lonely Party). Kemesraan Sufmi Dasco dan sejumlah petinggi Gerindra dengan HRS saat berkunjung ke kediamannya bulan lalu cukup menjadi gambaran. Ada pun kaum miskin kota, semisal warga kampung akuarium, tentu sulit melupakan kekasaran Ahok yang di-backing PDIP.
Maka, pendukung fanatik Anies tinggal elemen ketiga ditambah kemungkinan dari basis pendukung PDIP. Tetapi akankah basis pendukung PDIP bisa menerima Anies? Waktu yang kelak akan menjawabnya.
Di sisi lain, hasil dua Pilkada DKI Jakarta terakhir ternyata tak sama dengan hasil survey sebelum Pilkada dilaksanakan. Pada pilkada 2012, pasangan Foke-Prijanto yang selalu unggul dalam survey, ternyata keok. Begitu juga saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Pasangan Ahok-Djarot selalu berada di peringkat teratas survey, diikuti pasangan AHY-Silvi, sementara Anies-Sandi berada di posisi buntut. Namun, faktanya berbeda. Melalui pilkada dua putaran, Anies-Sandi berhasil membuat KO Ahok-Djarot.
Sementara itu, meski didukung oleh koalisi gemuk, peluang RK untuk menang juga masih samar-samar. Pertama, tingkat elektabilitasnya biasa-biasa saja. Kedua, dan ini kerap luput dari perhatian, ia mantan Walikota Bandung dan Gubernur Jabar. Hal ini identik dengan Persib yang selalu bersaing keras dengan Persija. Begitu pun rivalitas para bobotoh dengan Jakmania, yang tak jarang berujung rusuh. Akankah para Jakmania dan kawan-kawannya bisa menerima RK? Wallahu a'lam.
Dengan konstelasi seperti itu, tak ada alasan PKS takut mengusung jagoannya sendiri. Menang-kalah itu soal biasa. Tetapi setidaknya, marwah partai tegak dan simpati umat bisa terpelihara. Bukan cuma di Jakarta, hal itu juga berlaku di tempat lain, sepanjang memenuhi ambang batas yang ditetapkan MK.
Misalnya di Pilkada Sumatera Utara. Jika pun harus berkoalisi, harus bersifat parsial dengan sejumlah partai yang seide. Yang penting, bayang-bayang PKS ditaklukkan Jokowi harus dibuang jauh-jauh. Demonstrasi para mahasiswa, guru besar, akademisi, aktivis, selebritis, dan lain-lain pada Kamis pekan lalu menggambarkan dengan jelas persepsi publik tentang Jokowi.
Para petinggi PKS semestinya pandai membaca angin. Amar putusan MK yang diikuti dibatalkannya pembahasan revisi UU Pilkada adalah tanda-tanda awal cengkeraman Jokowi mulai melemah. Keberanian Wakil Ketua DPR asal Gerindra, Sufmi Dasco, mengumumkan pembatalan revisi UU Pilkada tentu tidak lepas dari peran Prabowo Subianto. Sebab, jika aksi demo itu terus berlangsung dan makin massif, Prabowo-lah yang paling dirugikan. Hal ini sekaligus menandakan adanya perbedaan pandangan antara Prabowo dengan Jokowi. Ditambah lagi pidato Prabowo yang menyebut-nyebut bahaya orang yang sangat haus kekuasaan.
Jika PKS keluar dari KIM, insya Allah umat akan diuntungkan. Sedangkan di dalam pemerintahan, masih ada PAN, PKB, dan Gelora, yang setidaknya masih bisa menjaga agar kebijakan pemerintah mendatang tidak menyimpang dari Islam dan tidak meminggirkan umat Islam. Bahkan, syukur bisa mempengaruhi pemerintah melahirkan kebijakan yang membawa maslahat bagi umat.
Apalagi, track record Prabowo sebagai tentara dan menantu Soeharto saat orba tidak ada catatan menyakiti Islam atau menzalimi tokoh Islam. Hal ini lantaran Prabowo meyakini bangsa Indonesia hanya bisa besar dan maju jika pemerintah dan rakyat bersatu. Maka, karena di Indonesia umat Islam adalah mayoritas, pemerintah dan anasir di dalamnya harus mengakomodasi dan ngemong umat Islam, tanpa mengesampingkan elemen bangsa yang lain. Boleh jadi, pandangan itu yang dulu membuat ia berani melawan Benny Murdani dan Ali Murtopo, karena keduanya menjadikan umat Islam sebagai sasaran tembak. Akibatnya, hubungan pemerintah – termasuk TNI – dengan rakyat selalu panas.
Sementara di luar pemerintahan, PKS bisa menggarap basis sosial secara lebih leluasa. Hubungan dengan ormas Islam maupun tokoh Islam bisa lebih rekat dan kedekatan dengan rakyat lebih lekat. Di parlemen, PKS harus berada di garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan sungguh-sungguh menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat sesuai amanah yang ditetapkan UU. Dengan demikian, lima tahun ke depan umat Islam boleh berharap ada pemimpin bangsa yang dilahirkan dan disiapkan lahir dari rahim umat.
Tidak ada kata takut atau bimbang bagi mereka yang berjalan di atas kebenaran. Takut dan bimbang itu hanya bagi orang yang berbuat salah atau tersandera. Bukankah Allah Ta'ala menegaskan, “Dan orang-orang yang berjuang pada jalan Kami, pasti Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan keluar” (QS Al-Ankabut:69)?
Ayolah, Kawan! Kamu Pasti Bisa!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!