Kata “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri. Toleransi menjadi kunci penting dalam kehidupan sosial yang beragam, adil, dan terbuka.
Pengertian “Toleransi” adalah sikap menerima, menghargai, dan menghormati perbedaan pendapat, keyakinan, atau praktik yang dilakukan oleh kelompok lain. Toleransi juga berarti tidak memaksakan kehendak, tidak mencela, dan tidak merendahkan orang lain karena perbedaan yang ada. Pendek kata, toleransi adalah “kesepakatan dalam ketidak sefahaman”. Artinya, masing-masing individu, kelompok, golongan, akan saling menghormati, saling menerima, saling menghargai, saling sepakat, dan tidak saling mengganggu, kendati pun fahamnya berbeda-beda.
Beberapa tujuan toleransi adalah:
- Menciptakan kerukunan sosial,
- Meningkatkan pemahaman antar individu atau kelompok,
- Mendorong dialog dan komunikasi yang konstruktif,
- Membangun keadilan dan kesetaraan,
- Menciptakan lingkungan yang inklusif.
Beberapa contoh sikap toleran dalam kehidupan sehari-hari adalah:
- Bergaul dengan semua orang tanpa membedakan kepercayaan masing-masing,
- Tidak memaksakan keyakinan agama pribadi untuk dianut oleh orang lain,
- Tidak mengganggu ibadah atau pun jalannya kegiatan agama lain,
- Tidak merusak tempat ibadah dan mengganggu ketenangan agama lain,
- Tidak melakukan tindakan penghinaan dan merendahkan agama orang lain.
Bagaimana dengan “toleransi beragama”? Bahwa “toleransi beragama” adalah sikap saling menghormati dan menerima perbedaan dalam keyakinan dan praktik keagamaan antara individu atau kelompok yang berbeda agama. Ini mencakup penghormatan terhadap hak setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya tanpa takut akan adanya diskriminasi, kekerasan, atau pengucilan. Toleransi beragama juga mencakup kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai meski pun ada perbedaan dalam hal pandangan hidup, ajaran agama, dan ritual keagamaan. Di dalam masyarakat yang toleran, setiap agama dapat berkembang dengan bebas dan dilindungi oleh hukum.
Buya Hamka pernah mundur dari jabatan Ketua MUI pada 19 Mei 1981 karena merasa ditekan oleh Menteri Agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara agar menghalalkan “Natal Bersama”. Buya Hamka memilih mundur daripada harus menganulir fatwa.
Berikut ini adalah pandangan Buya Hamka tentang toleransi beragama:
- Allah Swt memberikan kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa pun tanpa ada paksaan.
- Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, rasa simpati, dan sikap yang mengedepankan kebersamaan meski dalam perbedaan untuk kepentingan bersama.
- Pendidikan Islam haruslah sesuai dengan Al Qur'an dan As-sunnah.
Sedangkan Ringkasan Fatwa MUI Tahun 1981 dan tidak ada Fatwa pengganti setelahnya adalah:
- Perayaan Natal di Indonesia sekali pun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang sangat berbeda dengan keyakinan dalam Islam.
- Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada kesyirikan dan larangan Allah Swt, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Natal.
Prinsip: “Di dalam toleransi, janganlah mengorbankan keyakinan atau aqidah serta ibadah, cukup saling menghormati dan tidak saling mengganggu”. Semoga artikel ini bisa menjadi pedoman bagi saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, dan moga-moga semakin memiliki sikap toleran terhadap sesama tanpa mencampur adukkan aqidah dan ibadah. Selamat beraktivitas, semoga sukses selalu. Aamiin.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!