Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka adalah bangunan yang kokoh” — QS. Ash-Shaff:4
Abu Musa radhiyallahu’anhu meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan bangunan yang satu sama lain saling menguatkan” — Muttafaq alaihi
Sebuah bangunan. Itu adalah contoh yang sengaja diambil oleh Allah dan Rasul-Nya ketika menggambarkan sebuah komunitas umat Islam yang padanya menempel kuat karakter-karakter muslim sejati. Karakter yang akan membedakan sekaligus melebihkan umat Islam dari umat-umat yang lain. Tak ada satu pun umat selain umat Islam yang memiliki karakter itu.
Ada banyak pelajaran saat kita mencoba membedah, lantas menganalisa satu persatu dari setiap unsur sebuah bangunan. Ada batu, besi, pasir, semen, yang kemudian menyatu dengan bantuan air, sehingga menjelma menjadi kekuatan fisik bangunan. Lalu ada kayu, yang dengan kelebihannya dapat mencipta dan menambah nilai-nilai estetika. Dan, di sinilah kita akan mengetahui betapa jitu saat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya memberikan gambaran tentang rahasia sebuah bangunan.
Tentunya dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi untuk membangun sebuah rumah yang kokoh dan indah. Namun, keduanya tetap memenuhi peran masing-masing untuk menunaikan fungsinya sehingga tidak hanya kokoh dan indah meski kurang ada fungsi, apalagi tanpa ada fungsi sama sekali.
Syarat bangunan rumah yang kokoh adalah pondasi yang juga harus kokoh. Kemudian akan berdiri tegak di atasnya bagian-bagian penting lainnya. Ada tiang-tiang yang berperan sebagai penyangga dan penegak bangunan agar senantiasa berdiri. Ada dinding yang berperan sebagai pembatas dan hijab sosial dengan lingkungan eksternal.
Ada atap yang berperan sebagai pengayom sekaligus simbol eksistensi bangunan. Juga ada pintu dan jendela yang berperan sebagai media penghubung dengan dunia luar. Jika semua syarat dan fungsi tersebut terpenuhi, maka kita akan melihat sebuah bangunan rumah yang kokoh, baik fisik maupun fungsinya.
Sesungguhnya gambaran bangunan yang kokoh dalam Al Qur’an dan Hadits yang disinggung di atas adalah sebuah gambaran tentang komunitas umat Islam, yang memiliki karakter-karakter seorang mukmin sejati yang lantas menjadi sebuah jama’ah yang kokoh. Jadi, untuk membangun sebuah jama’ah yang kokoh, maka tidak akan terlepas dari syarat-syaratnya.
Syarat-syarat individu yang kokoh adalah mutlak dalam pembentukan sebuah jama’ah. Dan sebagaimana syarat-syarat pada bangunan rumah yang harus dipenuhi, maka syarat-syarat untuk membangun jama’ah juga harus dipenuhi.
Syarat-syarat itu adalah: Pertama, Pondasi aqidah yang benar dan bersih dari campuran bahan-bahan yang rapuh, palsu, apalagi merusak. Oleh sebab inilah, maka Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya dengan pembersihan aqidah dari kotoran-kotoran keyakinan yang merusak. Pada tahap ini, perjuangan beliau terfokus pada penekanan iman kepada Allah, Rasul, dan Hari Akhir.
Bagian-bagian individu ini harus mengerti dan memahami pentingnya hidup yang terarah. Bekerja untuk apa dan siapa, yang kemudian menciptakan capaian-capaian hasil untuk dinikmatinya nanti di kehidupan yang sebenarnya, setelah kematian. Jika pada syarat ini seorang muslim mengalami kesalahan, maka akan menimbulkan split individu, dimana kontrol antara ia dan Allah Subhanahu wa Ta’ala terputus. Sehingga, keadaannya pun akan sama persis dengan gambaran Al Qur’an,
“Dan barang siapa yang menyekutukan Allah, maka ia bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit lalu disambar seekor burung, atau dibawa oleh angin ke tempat yang sangat jauh” — QS. Al Hajj:31
Aqidah inilah yang akan menjadi pijakan kokoh bagian-bagian keislaman yang lain, “tiang aturan” dan “dinding etika” akan berdiri kokoh, “atap simbol ibadah” akan kokoh, demikian juga “pintu dan jendela tsaqofah”.
Kedua, bagian bangunan yang juga harus berdiri kokoh adalah Tiang. Ia adalah aturan-aturan, hukum-hukum, kesepakatan-kesepakatan dalam jama’ah. Aturan-aturan inilah yang akan bersinggungan langsung dengan atap, dinding, pintu, dan jendela.
Jika individu jama’ah sudah tidak taat lagi dengan aturan-aturan, hukum-hukum, dan kesepakatan-kesepakatan, maka atap ibadah akan rusak. Simbol eksistensi jama’ah tidak akan terlihat lagi. Tidak akan jauh beda dengan jama’ah-jama’ah yang memang pada hakikatnya tidak memiliki simbol yang jelas tentang keberadaannya. Lalu dinding etika pun runtuh.
Pada saat runtuh itulah, lobang-lobang pintu dan jendela akan bebas terbuka. Pemikiran-pemikiran yang merusak akan dengan mudahnya keluar masuk pada bangunan yang runtuh itu, yang boleh jadi akan membentuk pemikiran-pemikiran baru, yang akan menambah runtuhnya jama’ah tersebut.
Dari sinilah, alangkah baiknya jika kita memahami keterkaitan-keterkaitan antara bagian-bagian bangunan yang sebenarnya adalah kita sendiri selaku bagian dari bangunan jama’ah. Kita tidak berharap bahwa bangunan jama’ah ini seperti halnya sebuah pabrik, dimana bagian-bagian individunya semua bekerja tetapi tidak saling mengenal, sehingga pekerjaan-pekerjaan itu adalah pekerjaan-pekerjaan individu.
Walaupun ada yang kemudian menjadi sebuah hasil capaian bersama, namun itu adalah kebersamaan tanpa mengenal satu sama lain. Jika satu bagian hilang, maka bagian yang lain tidak akan mengetahui. Atau tahu tetapi tidak merasa kehilangan. Transformasi nilai-nilai kebaikan pada kondisi seperti ini menjadi sulit.
Semua bagian individu hanya terfokus pada capaian pribadi, sehingga tidak terlalu menjadi beban pikiran apakah pabrik tempat ia bekerja itu maju ataupun tidak. Karena yang penting, individu itu aman secara sandang, pangan, dan papan. Fenomena masyarakat semacam ini pun tidak terlalu sulit ditemukan. Bagaimana bila problem ini juga terjadi pada jama’ah kita?
Kita juga tidak berharap bahwa jama’ah kita ini seperti halnya sebuah bar, dimana bagian-bagian individunya saling mengenal tanpa aturan. Tidak ada lagi etika, sehingga transformasi nilai-nilai yang merusak pun tidak terbendung lagi. Dan yang kemudian terjadi adalah carut marut pemikiran, nilai, akhlak, dan tujuan.
Sistem tabayyun tidak lagi berjalan. Semua informasi masuk tanpa ada filter etika. Maka yang pasti akan terjadi adalah perselisihan dan pertengkaran. Gambaran ini sangat jelas dalam Al Qur’an, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang keras menelan informasi tanpa melalui tahap tabayyun yang selanjutnya akan menimbulkan pertengkaran antar sesama individu dalam jama’ah.
Adapun bangunan jama’ah yang kita harapkan adalah sebagaimana jama’ah lebah. Saling mengenal tetapi beretika. Ada banyak informasi namun terarah, karena memang ada jalur wahyunya. Sehingga, semua tetap berjalan sebagaimana wahyu itu ingin berjalan atas perintah Penciptanya.
Tidak ada komunikasi yang terhambat sebagaimana gambaran “selokan mampet”. Karena situasi tersebut dapat mengakibatkan pembusukan dari dalam yang lambat laun akan menyebabkan meledaknya kebusukan di mana-mana. Dan pada akhirnya akan merugikan jama’ah itu sendiri.
Juga tidak ada informasi internal yang tersebar oleh perilaku individu yang tidak baik sebagaimana gambaran “ember bocor”. Karena semua bagian individu saling menjaga kebersamaan dalam bangunan jama’ah. Apalagi yang terjadi adalah “banjir informasi”, maka ia adalah seburuk-buruk kondisi jama’ah. Karena setiap bagian individu dalam jama’ah itu sudah kehilangan kepercayaan pada masing-masing individunya. Sehingga, yang terjadi adalah kebiasaan-kebiasaan obral informasi ke pihak luar tanpa memperhatikan lagi akibat yang dapat ditimbulkannya.
Maka kita, bagian individu-individu jama’ah ini, juga merupakan penghuni dari bangunan rumah itu, harus pula memiliki dan senantiasa menjaga aturan-aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Satu sama lain saling mengerti dan memahami tugas dan peran masing-masing. Ada banyak pelajaran berharga tentang karakter-karakter kokoh, yang bisa kita dapatkan dari nasihat Rasulullah ﷺ tatkala mengibaratkan muslim sebagai cermin. Ia adalah cermin bagi saudaranya.
Karakter cermin yang pertama adalah, ia tidak pernah berbohong. Selalu beretika jujur terhadap saudaranya. Tidak pernah menyembunyikan kebaikan saudaranya seperti halnya ia menampakkan kesalahan saudaranya dalam rangka memberikan nasihat yang baik. Begitu pula ia tidak pernah menyembunyikan sesuatu yang baik atau pun buruk bila kita datang menghadapnya.
Apa yang ada dalam diri kita akan ditampakkan dengan jelas oleh cermin. Bisa jadi, suatu saat kita merasa malu dengan apa yang ditampakkan oleh cemin, oleh sebab kesalahan-kesalahan yang kita perbuat. Tetapi kita juga harus paham, bahwa kita adalah penghuni rumah, bagian dari rumah. Akan tidak nyaman bila ada kotoran dalam rumah. Ini adalah gambaran kuat dari karakter evaluasi diri. Dan memang seharusnya kita memiliki karakter kuat cermin ini.
Karakter cermin yang kedua adalah, rasa solidaritas yang tinggi. Tak seorang pun di antara kita yang mempunyai pengalaman di depan cermin dalam keadaan sedih lalu cermin menampakkan sosok yang sedang tertawa lepas. Demikian juga sebaliknya. Dan ini adalah salah satu inti dari nasihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang ukuran rasa cinta sesama saudara. Senang bersama dan sedih bersama. Karena kita adalah sesama penghuni rumah.
Karakter cermin yang ketiga adalah, ia tidak pernah mengobral kebusukan saudaranya. Sampai kapan pun, kita tidak akan pernah menemui cermin bercerita pada cermin yang lain tentang “keanehan” tampilan kita di depannya. Ia menghindari ghibah agar saudaranya selamat.
Pelajaran lain yang bisa kita dapatkan dari cermin adalah, jika kita mencoba menjadi cermin dan ada orang lain yang bercermin pada kita. Kita harus menirukan gerakan orang yang sedang bercermin di hadapan kita. Maka yang ada adalah kesulitan-kesulitan meniru semua gerakan itu. Lebih jauh, bahwa ini adalah gambaran dari jama’ah yang terdiri dari pemimpin dan anggota. Yang bercermin adalah pemimpin, sedang cermin adalah anggotanya.
Jika sang pemimpin tidak memahami kualitas, kapasitas, dan karakter anggotanya, maka ia tak peduli dengan semua keputusan, kebijakan, dan instruksi yang ia perintahkan kepada anggotanya apakah ia mampu melaksanakan atau tidak. Ia tidak pernah tahu karena ia tidak mengerti. Ketidakmengertian inilah yang akan menjadi sumber dari kekacauan tujuan jama’ahnya.
Namun di sisi lain, anggota pun memiliki kewajiban untuk senantiasa melakukan upgrade sel-sel potensi diri yang ada pada dirinya, sehingga akan selalu bisa bekerja dengan instruksi pemimpin. Setiap saat, dalam satu tarikan nafas. Tidak ada lagi alasan-alasan yang perlu disampaikan kepada pemimpin, apalagi mencari-cari pembenaran atas ketidakmampuan diri dalam melakukan upgrading.
Wallahu a’lam bishshowab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!