Itulah sebabnya Israel yang semasa Asad berkuasa mendiamkan Suriah dan tak berani masuk selangkah pun, bahkan di saat rezim Asad komunis Alawite itu melemah karena konflik internal, tak bisa menahan diri ketika tahu pimpinan HTS itu berhasil merebut negara. Apalagi ketika ia mulai bisa merekonsiliasi semua faksi bertikai untuk tunduk di bawah kekuasaannya. Hal itu bahaya besar buat Israel, dan Israel tentu tidak lugu selugu kalangan aktivis Islam yang lebih bermodal semangat tetapi vulgar strategi sehingga mudah dibaca dan dipatahkan sebelum matang.
Mengapa Isreal tak bisa menahan diri? Sebab, Ahmad Syara’ licin dan ahli strategi politik. Ia tak seperti Usamah yang perjuangannya mudah terbaca dan gampang bagi Amerika serta sekutunya untuk menggiring dia menjadi musuh bersama. Akibatnya, gerakannya bahkan dimusuhi oleh sebagian besar kaum muslimin sendiri yang lalu diajak Amerika untuk menumpas dia. Meski mereka berdua tentu punya kelebihan tersendiri di sisi Allah, tetapi di sini kita bicara tentang bagaimana musuh menghadapi mereka, sehingga kita juga lebih paham dalam menyikapi keduanya.
Hal inilah yang sudah sangat dipelajari oleh Ahmad Syara’, apalagi setelah mengambil ilmu taktiknya Erdogan yang sudah 3 kali dikudeta kaum sekuler dan militer Turki tetapi sampai sekarang masih bisa bertahan bahkan jadi penyokong terbesar gerakan perlawanan oposisi Suriah. Sebagai pimpinan jihad ideologis dan panglima perang lapangan, sangat mustahil orang seperti Ahmas Syara’ alias Abu Muhammad al-Jaulani akan meninggalkan ideologi perjuangannya. AS dan Israel sangat paham, bahkan lebih paham daripada sebagian simpatisan Al-Qaeda sendiri, bahwa orang semacam itu tak mungkin berubah.
Jalan terbuka bagi pejuang muslimin seluruh dunia untuk menaklukkan Israel adalah Suriah. Yordania, Mesir, dan Lebanon telah bisa ditaklukkan. Maka, ancaman satu-satunya hanya datang dari Suriah.

Ketika Suriah dikuasai Asad yang boleh jadi bermusuhan dengan Israel sebagai nasionalis Arab, tetapi dia bukan Islam dan tak akan membela kepentingan Islam, bahkan lebih kejam terhadap kaum muslimin bangsa Arab sendiri dibanding Israel, maka tentu Israel bisa lebih tenang. Sebab, orang seperti ini mudah ditaklukkan tanpa konfrontasi bersenjata. Tetapi ketika Damaskus telah dikendalikan oleh seorang jihadis yang sudah terekam jejaknya sejak lama, maka Tel Aviv tak kan pernah tidur nyenyak. Teman mereka seideologi dan sebangsa Arab di Gaza yang terblokade saja bisa menyusun kekuatan besar dan menyelundupkan berbagai senjata, apalagi jika berada di negara Merdeka dan terbuka.
Saat ini Amerika dan Israel harus mencari jalan bagaimana caranya Ahmad Syara’ kembali dikenal dunia Islam sebagai Abu Muhammad Jaulani yang seorang teroris, sehingga mudah untuk menggiring opini dunia -- terutama pemerintah negara-negara Arab -- untuk menjauhi dan memusuhinya. Jika dia sudah menjadi musuh bersama seperti halnya Usamah bin Ladin, maka mereka akan mudah menggunakan tangan umat Islam sendiri untuk menggulingkannya.
Lugunya, sebagian Islamis bahkan jihadis pun telah bersuara mengecam bahkan mengkafirkan pemerintahan Ahmad Syara’ hanya karena kurang sabar menerima perkembangan yang ada, padahal mereka juga melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana tidak mudahnya menundukkan berbagai faksi perlawanan yang siap jadi pemantik api bagi musuh untuk menggembosi bahkan mengancurkan pemerintahan.
Asy-syar’ telah belajar dari pemimpin tertingginya dulu, Usamah bin Ladin, guru politiknya, Erdogan, dan juga perjuangan seniornya, Muhammad Mursi, bagaimana mereka semua berusaha dijatuhkan dan apa yang bisa dipelajari dari ruang yang membuat mereka bisa dijatuhkan. Tetapi mereka tetaplah sama, minimal di mata Amerika dan Israel, ancaman nyata karena membawa ideologi penegakan negara Islam raya dan mengembalikan tanah Palestina ke pangkuan umat Islam.

Hanya saja, analisa Israel dan Amerika biasanya telah matang dan melalui berbagai tahap penyaringan, sehingga mereka juga bermain licik dan cerdik. Mereka bukan kaum emosional yang mudah berbaik maupun berburuk sangka kepada siapa pun. Sehingga, mustahil mereka bisa percaya bahwa Ahmad Syara’ akan bisa dikendalikan.
Kelemahan kelompok frontal dulu semisal Al-Qaeda termasuk ISIS, adalah kurangnya strategi senyap sehingga mudah dipermainkan oleh intelijen musuh. Mereka memanfaatkan teknologi informasi tetapi bukan penguasa sumbernya, sehingga keberadaan jaringan mereka mudah dilacak. Parahnya lagi, mereka tak mengerti prioritas, semua yang berseberangan dianggap musuh dan diperangi, sehingga memerbanyak musuh dan membuat mereka kerepotan sendiri menghadapi berbagai serangan dari segala penjuru.
Kesalahan ini pula yang sudah disadari lama oleh Taliban, sehingga dalam fase akhir perjuangan jihad mereka sudah menempuh jalur diplomasi dan mengambil opini baik masyarakat internasional. Mereka berhasil melakukan itu, karena menempatkan skala prioritas siapa lawan dan siapa yang bisa diajak kerja sama tanpa melepas prinsip wala` wal bara`. Akhirnya, dengan perantara strategi yang merupakan al-akhdzu bil asbab yang memang diperintahkan Allah, pertolongan Allah pun datang dan musuh yang tadinya main keroyokan pun terusir dengan hina dan disoraki masyarakat internasional sebagai pecundang. Taliban menang perang senjata, sampai semua senjata mereka pun berhasil dirampas Taliban tanpa perlawanan berarti, berhasil pula membungkam mereka di tataran diplomasi.
E-Book Eksklusif Sabili : Kepahlawanan Perempuan Palestina Untuk Perubahan Dunia
Wala` kita tetap kepada pimpinan Abu Muhammad Ahmad Syar’ Al-Jaulani dalam menegakkan Islam di Suriah dengan tahapannya, dan memercayakan kepada para ulama yang telah puluhan tahun membersamainya di medan perang dan bukan hanya berfatwa semata, yang akan mampu membimbing dan mengarahkannya tak melenceng dari aturan Islam, sehingga dia tetap terpuji dalam syari’at (Ahmad Syara’).
Bekasi, 27 Juli 2025

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!