BAKOMUBIN Gelar Seminar, Cari Solusi untuk Kashmir

BAKOMUBIN Gelar Seminar, Cari Solusi untuk Kashmir
Foto kegiatan BAKOMUBIN / sabili.id

Pada Senin, 7 Agustus 2023, DPP BAKOMUBIN mengadakan Seminar Nasional tentang Kashmir (IIOK) – Violations of Human Right and UN Resolutions, di Wisma PHI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Acara itu dihadiri Pengurus KB PII se-Jakarta, serta perwakilan MUI Pusat, PP BK PAKSI Pusat, Ikatan Alumni Pemuda Remaja Masjid Pusat, Korps Mubaligh Jakarta, serta Pengurus Pusat BPTKI. Acara yang berlangsung pukul 14.30 hingga 17.30 WIB itu dibuka oleh Ketua Majelis Syuro DPP BAKOMUBIN, Dr. KH. Anwar Sanusi.

Seminar Nasional itu mengambil tema ”Pendudukan kashmir oleh india secara ilegal”. Menurut Ketua Umum DPP BAKOMUBIN, Dr (HC) HMS Suhary, tema tersebut mereka angkat karena kepedulian terhadap masalah Kashmir yang sudah puluhan tahun tak juga selesai. Apakah ikut ke India atau masuk ke Pakistan. Apalagi, kini bukan hanya India dan Pakistan, tetapi Cina juga masuk ke Kashmir.

“Cina sekarang menguasai 15% dari wilayah Kashmir. Pakistan 30% dan India 55%. Persoalan Kashmir merupakan konflik yang panjang, dan PBB sampai sekarang belum mengeluarkan resolusi tentang penyelesaiannya. Ini persoalan dunia khususnya juga persoalan dunia Islam. Penderitaan Kasmir itu luar biasa,” katanya.

Di kesempatan itu, Duta Besar Pakistan, Mr. Muhammad Hasan, menjelaskan, selama tujuh dekade terakhir, Kashmir telah menjadi pusat dari perselisihan yang sengit antara India dan Pakistan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 47 Tahun 1948 dan lebih dari selusin resolusi berikutnya. Lewat resolusi-resolusi itu, DK PBB menetapkan, disposisi akhir Negara Bagian Jammu dan Kashmir akan diputuskan oleh rakyatnya melalui suatu pemungutan suara yang bebas dan tidak memihak, yang dilakukan di bawah naungan PBB. Hal ini diterima oleh India dan Pakistan. Dan sesuai Pasal 25 Piagam PBB, kedua belah pihak berkewajiban untuk mengimplementasikan resolusi itu.

“Tanggal 5 Agustus 2019, India mengambil tindakan sepihak untuk mengonsolidasikan pendudukannya di Jammu dan Kashmir (IIOJK) serta memaksakan apa yang disebut oleh para pemimpin India sebagai "solusi akhir" untuk Kashmir. Untuk melakukannya, India telah menggunakan serangkaian tindakan ilegal, pelanggaran berat, dan kekerasan yang konsisten terhadap hak asasi manusia dan kejahatan lainnya, yang terus berlanjut hingga hari ini. Sejak 5 Agustus 2019, pasukan pendudukan telah membantai lebih dari 1.000 warga Kashmir dan lebih dari 25.000 orang telah ditangkap. Mereka kini mendekam di penjara-penjara India dengan berbagai kasus yang dibuat-buat,” urainya.
Baca Juga : Serangan Bunuh Diri di Pakistan, 44 Orang Tewas

Menurut Hasan,pasukan kependudukan India juga telah menyita harta benda ratusan pemimpin dan aktivis pro-kemerdekaan. Selain itu, pihak berwenang India juga menghancurkan properti ribuan warga Kashmir dengan berbagai alasan. Hasan menilai, motif di balik penyegelan dan penghancuran properti adalah untuk mengintimidasi warga Kashmir dan memaksa mereka tunduk. Itu adalah kebijakan kolonial yang sama dengan yang digunakan Israel di Palestina untuk merampas tanah mereka dan memaksa mereka bermigrasi.

“Rezim RSS India yang dipimpin oleh Modi bertekad kuat untuk memusnahkan umat Islam, mengubah Kashmir menjadi kuburan, dan membuat pemukiman umat Hindu yang tidak memiliki kewarganegaraan di wilayah yang disengketakan tersebut. India meningkatkan pengerahan militer di IIOJK menjadi 900.000 tentara tepat sebelum tanggal 5 Agustus 2019. Dengan satu tentara untuk setiap delapan pria, wanita, dan anak-anak Kashmir, Ini adalah pendudukan terpadat dalam sejarah baru-baru ini. Pasukan besar ini telah melakukan kampanye kejam berupa tindakan represif, termasuk pembunuhan di luar hukum terhadap warga Kashmir yang tidak bersalah; pembunuhan di tempat penahanan; dan operasi ‘penjagaan dan penggeledahan’; penggunaan senjata proyektil untuk membunuh, melukai, dan membutakan para pengunjuk rasa yang melakukan protes damai; penculikan dan penghilangan paksa; serta ‘hukuman kolektif, dengan penghancuran dan pembakaran seluruh desa dan lingkungan perkotaan’. Kampanye brutal itu didorong oleh ideologi ‘Hindutva’, yang menyebarkan supremasi agama dan etnis Hindu dan kebencian terhadap Muslim,” kisahnya.

Pelanggaran Terang-terangan

Hasan melanjutkan, Genocide Watch memperhatikan pola ini dan memperingatkan, tindakan pemerintah India di Kashmir telah menjadi kasus penganiayaan yang ekstrem dan dapat mengarah pada genosida. Untuk menekan suara rakyat Kashmir, pihak berwenang India telah menggunakan sensor dan pengawasan selama beberapa dekade di wilayah pendudukan. Sejak Agustus 2019, kontrol informasi telah sepenuhnya dilembagakan. Jurnalis, pengacara, pembela hak asasi manusia, dan seluruh pemimpin politik Kashmir secara rutin dipenjara, dipukuli, dipermalukan, dilecehkan, dan bahkan dituduh melakukan terorisme, karena melaporkan pelanggaran hak asasi manusia di IIOJK.

Menurut Hasan pula, sejumlah organisasi hak asasi manusia, badan internasional, dan laporan independen telah mendokumentasikan aksi pemerkosaan, penyerangan, dan pelecehan seksual yang dilakukan pasukan keamanan India terhadap warga sipil Kashmir, terutama perempuan, sebagai senjata perang. Undang-undang darurat seperti Angkatan Bersenjata (Kekuatan Khusus) Tahun 1990, telah menciptakan lingkungan yang penuh dengan kekebalan hukum bagi pasukan keamanan India.

“Untuk memadamkan identitas etno-religius warga Kashmir, situs-situs bersejarah telah dihancurkan dan dirusak. Salah satu aspek yang paling meresahkan dari penghancuran warisan budaya adalah penghancuran situs-situs keagamaan, terutama masjid, yang menimbulkan luka emosional yang mendalam bagi penduduk Muslim,” ucapnya.

Hasan menegaskan, semua tindakan yang diambil India empat tahun terakhir merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, termasuk resolusi Dewan Keamanan yang relevan, khususnya Resolusi 122 Tahun 1957. Sehingga, semua tindakan yang diambil oleh India pada dan setelah 5 Agustus 2019 tidak hanya ilegal, tetapi secara ipso facto batal demi hukum.

“Untuk membenarkan pendudukan dan penindasannya, India telah berusaha selama beberapa dekade, khususnya sejak peristiwa 9/11, untuk menggambarkan perjuangan kemerdekaan Kashmir sebagai ‘terorisme’. Demikian juga, untuk mendelegitimasi perjuangan penduduk asli Kashmir untuk menentukan nasib sendin, India secara keliru menuduh bahwa perjuangan tersebut dihasut oleh Pakistan. Untuk mengungkap kebohongan India, Pakistan telah mengusulkan perluasan patroli oleh Kelompok Pengamat Militer PBB di India dan Pakistan (UNMOGIP) di sepanjang garis kontrol di Jammu dan Kashmir. Akan tetapi, India menolak untuk mengizinkan misi PBB ini berpatroli di sepanjang garis kontrol dan memperluasnya. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya, India terus menolak akses ke Jammu dan Kashmir untuk Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia dan badan-badan PBB lainnya serta organisasi hak asasi manusia dan kemanusiaan dan media internasional,” sebut Hasan.
Baca Juga : UEA Serukan Komunitas Internasional Atasi Akar Sebab Intoleransi dan Ekstremisme

Hasan menegaskan, orang-orang Kashmir tidak bersenjata tetapi ulet dan gagah berani. Mereka telah mengalahkan kekuatan militer India yang merupakan kekuatan militer terbesar keenam di dunia melalui tekad, keteguhan dan semangat yang tak tergoyahkan. Tekad yang belum pernah terjadi sebelumnya yang ditunjukkan oleh rakyat Kashmir adalah tulisan di dinding bagi rakyat Kashmir bahwa tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat menghancurkan gerakan kemerdekaan yang sah dari rakyat Kashmir. Ini adalah upaya kepentingan India untuk mengabaikan hal tersebut dan menerima hak rakyat Kashmir untuk menentukan nasib sendiri.

“Bagaikan batu karang yang kokoh, Pemerintah dan rakyat Pakistan berdiri di belakang rakyat Kashmir. Hal ini juga mendesak masyarakat internasional, khususnya anggota OKI,” ujarnya.

Menurut Hasan, Pakistan menginginkan hubungan damai dengan semua negara tetangganya. Termasuk India. Pakistan telah menanggapi dengan tanggung jawab dan menahan diri terhadap provokasi India yang berulang kali dilakukan. Di sisi lain, India terus menggunakan retorika agresif dan ancaman berulang kali untuk menggunakan kekuatan terhadap Pakistan, bahkan di bawah ancaman nuklir. Tanggung jawab ada pada India untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi dialog yang berarti untuk menyelesaikan sengketa Jammu dan Kashmir.

“Untuk tujuan itu, India harus melakukan beberapa hal. Pertama, menghentikan semua pelanggaran hak asasi manusia di Jammu dan Kashmir. Kedua, menghentikan dan membalikkan perubahan demografis ilegal di sana. Ketiga, membalikkan langkah-langkah ilegal dan sepihak yang diberlakukan pada dan setelah 5 Agustus 2019. Keempat, memberikan akses kepada para pengamat internasional, termasuk mekanisme hak asasi manusia PBB dan media internasional, untuk mengamati situasi hak asasi manusia yang memburuk di lapangan,” katanya.

Menurut Hasan, komunitas internasional harus memainkan peran proaktif yang mewajibkan India untuk menghormati hak asasi manusia rakyat Kashmir dan bekerja menuju penyelesaian konflik yang damai dan inklusif. Perdamaian di Asia Selatan hanya akan terwujud jika sengketa Jammu dan Kashmir diselesaikan. Dewan Keamanan dan Sekretaris Jenderal PBB harus melakukan upaya bersama, sebagaimana diberdayakan oleh Piagam PBB, untuk mendorong penyelesaian damai atas sengketa Jammu dan Kashmir, sesuai dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan dan keinginan rakyat Kashmir.

Langkah-langkah pencegahan untuk menghentikan pelanggaran di IIOJK dan untuk mempromosikan akuntabilitas global merupakan sebuah keharusan moral dan tanggung jawab hak asasi manusia secara kolektif. Jutaan orang Kashmir telah menderita terlalu lama. Sudah saatnya untuk mengakhiri penderitaan mereka. “Dalam upaya ini, semua anggota masyarakat internasional termasuk Anda dan saya memiliki peran untuk dimainkan. Mari kita memainkan peran kita dengan berbicara menentang ketidakadilan,” katanya.

Berita Tak Sampai

Di bagian lain, Drs. H. Nur Munir, MA, M. TS (IMERC), mengatakan, pemerintah India pada 6 Agustus 2019 mencabut status khusus Jammu dan Kashmir berdasarkan Pasal 370 Konstitusi India tahun 1949 yang ditambahkan, wilayah yang telah menjadi subyek perselisihan antara India, Pakistan, dan China sejak 1947.

Mendampingi pencabutan itu adalah pemutusan jalur komunikasi di Lembah Kashmir yang dipulihkan setelah beberapa bulan. Ribuan pasukan keamanan tambahan pun dikerahkan untuk mengekang setiap pemberontakan. Beberapa politisi terkemuka Kashmir ditahan, termasuk mantan menteri utama.

“Presiden India mengeluarkan perintah berdasarkan kekuatan Pasal 370, mengesampingkan Perintah Presiden 1554 yang berlaku dan membatalkan semua ketentuan otonomi negara. Menteri Dalam Negeri lalu memperkenalkan RUU Reorganisasi di Parlemen India, berupaya membagi negara bagian menjadi dua wilayah persatuan untuk diperintah oleh seorang letnan gubernur dan badan legislatif unikameral,” katanya.

Nur Munir melanjutkan, resolusi yang meminta pencabutan status khusus sementara berdasarkan Pasal 370 dan RUU untuk Reorganisasi Negara diperdebatkan, dan disahkan oleh Rajya Sabha (Majelis Tinggi Parlemen India) pada 5 Agustus 2019. Pada 6 Agustus, Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India) berdebat dan mengesahkan RUU Reorganisasi bersama dengan resolusi yang merekomendasikan pencabutan Pasal 370 Konstitusi India untuk Jammu dan Kashmir.

Satu pembicara lagi adalah Wakil Dekan IV Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uhamka, Dr. Tohirin, S.H.I., M.PD.I. Menurut Tohirin, selama ini kita tak pernah tahu berita-berita tentang Kashmir saat ini. Termasuk jika kita cari di situs google.com, kita tidak tahu soal pembantaian di Kashmir itu. Yang kita tahu hanya film India.

“Berita-berita tentang pembantaian warga muslim kita tidak tahu. Kita hanya tahu film india. That is a problem. Saya melihat, isu kashmir ini sudah lama berlangsung, dan saat ini adalah situasi yang genting sekali dan semakin buruk,” katanya.

Tohirin mengatakan, yang paling penting adalah kita harus berkontribusi. Tidak bisa datang ke kashmir tetapi kita bisa berdoa. Doa, kita mohon kepada allah. Yang kedua, banyak informasi yang harus kita tahu. Sehingga, hal yang mungkin yang mudah kita lakukan dalam berkontribusi adalah membuat konten dan hal lainnya supaya orang tahu, bahwa Kashmir tidak baik-baik saja.

“Permasalahan sebenarnya bukan lagi persoalaan beda agama saja, ya. Sesungguhnya ada soal keadilan di sana. Soal keadilan, karena ada penindasan, discriminationdan protes simbolnya adalah agama. Sesungguhnya tidak ada keadilan di sana,” tegasnya.

Tentang apakah Kashmir memilih bergabung ke India, Pakistan, atau menjadi negara merdeka, menurut dia, semua tergantung orang Kashmir. Tetapi kita perlu dorong supaya ada kejelasan dan keadilan bagi Kashmir. Juga ada kebebasan bagi Kashmir untuk memilih.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.