Bencana galodo. Begitulah warga setempat menyebut banjir bandang dalam bahasa lokal. Banjir yang menyapu Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, itu bukan hanya meninggalkan hamparan lumpur, puing rumah, dan angka korban jiwa. Ia meninggalkan pula cerita getir tentang kehilangan, sekaligus kilatan harapan yang sulit dijelaskan hanya dengan logika.
Di tengah kengerian itu, dunia menyaksikan bagaimana seorang bayi berusia dua bulan, Fathan, ditemukan masih hidup setelah semalaman terombang-ambing banjir bandang dan terkubur lumpur separuh badannya.
Seorang warga bernama Maulana menyusuri jejak lumpur. Ia tidak mencari keajaiban. Hanya berharap bisa menemukan korban untuk dimakamkan selayaknya. Namun, sebuah tangan kecil yang menyembul dari lumpur justru mengubah segalanya. Fathan ditemukan dalam kondisi separuh tubuh tertanam, tanpa tangis, tanpa suara, hanya matanya yang merespons kaget. Fathan lalu diangkat, dibersihkan, dipakaikan baju, dan didekap untuk diberi kehangatan.
Di dalam hitungan manusia, peluang hidup bayi itu nyaris mustahil. Saat ratusan orang dewasa dan bahkan pemuda yang gagah tak bisa bertahan dari amukan Galodo, bagaimana mungkin bayi berusia dua bulan bisa selamat?

Namun, bagi orang beriman, selamatnya Fathan adalah penegasan bahwa takdir berjalan menurut rancangan yang lebih tinggi. Al Qur’an mengingatkan, “Wallaahu 'alaa kulli syai in qadiir”. Ya, hanya kuasa Allah yang mampu menyelamatkannya.
Entah kebetulan atau doa orang tuanya diijabah, doa yang disematkan menjadi nama bayi itu mengingatkan kita kepada “penaklukan”. Fathan artinya penakluk. Tentu atas qudrah (kuasa) Allah yang sempurna, bayi itu “menaklukkan” air bah setelah semalaman terombang-ambing di tengah banjir.
Fathan kehilangan ayah dan ibunya dalam bencana tersebut. Kakek dan neneknya juga menjadi korban hilang yang belum jelas nasibnya. Namun ia tetap hidup, seakan dunia diperintahkan untuk menjaganya. Kini ia dirawat oleh keluarga, adik dari sang kakek dan dukungan medis untuk mengatasi luka-luka yang ia derita. Pemeriksaan rutin dilakukan, termasuk oleh tim Dokter Kesehatan Polda Riau, yang memastikan kondisinya stabil dan memberikan bantuan untuk pemulihannya.
Jika banjir merenggut keluarga, maka Allah menurunkan orang-orang sebagai pengganti kasih sayang. Fathan juga mendapatkan limpahan ASI dari para Ibu di pengungsian yang kebetulan sedang menyusui bayi mereka.

Ayat dan Panggilan
Bencana alam selalu menyisakan dua jenis korban: korban yang jasadnya ditemukan, dan korban yang tetap hidup tetapi kehilangan dunia di sekelilingnya. Anak-anak yatim akibat bencana termasuk kategori yang kedua. Mereka mungkin selamat secara fisik, tetapi masa depan mereka terancam oleh kehilangan figur orang tua, nafkah, pendidikan, dan kasih sayang.
Kisah Fathan adalah alarm yang seharusnya menggugah kesadaran kolektif umat Islam. Menolong anak yatim bukan hanya tindakan kemanusiaan. Ia adalah mandat agama.
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa beliau dan orang yang memelihara anak yatim kelak sangat dekat di surga, “bagaikan dua jari yang berdampingan”.
Jika demikian, bagaimana mungkin kita sanggup bersikap netral saat melihat anak-anak korban bencana menghadapi hidup tanpa orang tua? Sekadar berdecak kagum, “Hebat benar bayi itu”. Ya, pernyataan yang tak beresonansi dengan getar keimanan dan rasa syukur!
Sesungguhnyalah di balik ayat Allah ini, tersembunyi amanah yang lebih besar. Pertolongan Allah turun bukan untuk disaksikan saja, tetapi untuk ditadaburi dan diteladani dalam bentuk tindakan. Jika Allah menunjukkan kasih kepada seorang anak yatim piatu yang terseret banjir, apakah kita, hamba-hamba-Nya akan berpaling begitu saja dari mereka?

Maka, kisah Fathan adalah ayat Allah sekaligus panggilan. Ayat Allah yang menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Bahwa Allah adalah penolong yang sesungguhnya. Doktrin agama yang nampaknya mulai tak berakar lagi di hati kaum muslimin. Tergeser oleh anggapan naif, bahwa uang, harta, dan kekuasaan politik, adalah segalanya.
Ia juga bermakna pangilan bagi kaum muslimin, karena tidak semua kita bisa turun menjadi relawan, menyusuri lumpur seperti Maulana. Tidak semua bisa menggendong dan menghangatkan tubuh bayi yang menggigil. Tetapi setiap kita bisa membantu dari pintu yang kita mampu: tenaga, harta, waktu, doa, perhatian, semua bernilai di sisi Allah jika dilakukan sungguh-sungguh.
Selamatnya bayi Fathan adalah panggilan bagi kita untuk cawe-cawe meringankan beban derita korban banjir dan terutama anak-anak yang menjadi yatim. Akankah kaum muslimin menelantarkan anak-anak tanpa orang tua itu, setelah Allah berkenan menyelamatkan mereka dengan keagungan-Nya?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!


