Belajar Agama dari Google dan Medsos

Belajar Agama dari Google dan Medsos
Photo by George Milton

Tema ini menarik untuk kita yang hidup di era digital. Kita tentu cukup akrab mengenal google. Kita bisa belajar apa saja melalui mesin pencarian itu. Mulai dari rasa ingin tahu kita tentang pengetahuan umum, sejarah, hingga agama dan sebagainya.

Bukan hanya dari google. Kita juga bisa belajar dari media sosial semisal Facebook, TikTok, Instagram, YouTube, dan seterusnya. Termasuk yang terkini, kita bisa bertanya soal apa saja kepada Chatgpt AI.

Bagi mereka yang bukan dari kalangan santri, biasanya akan berguru kepada Mbah Google dan media sosial. Termasuk gurunya sendiri pun akan bertanya kepadanya. Terlebih jika ada sesuatu hal yang belum ia ketahui jawabannya.

Benar, mesin pencarian ini memang belum terverifikasi. Sehingga, mesin pencarian ini tak bisa menjadi satu-satunya sumber dan rujukan. Mesin pencarian dan media sosial ini bisa menjadi petunjuk awal.

Mengapa mesin pencarian dan medsos (media sosial) ini menjadi penting dan dibutuhkan? Sebab, tidak semua orang punya banyak waktu untuk mencari referensi di perpustakaan atau pun toko buku. Orang zaman now inginnya simple atau praktis. Mereka tak ingin membuang banyak waktu untuk mencari. Sekali klik, jadi.

Persoalannya adalah, apakah seseorang bisa memfilter seluruh informasi yang disajikan? Apakah bisa membedakan mana hoax dan mana yang akurat? Serta bisa membedakan mana informasi yang masih menjadi polemik dan meragukan? Itu sangat tergantung kita dalam memilah dan memilih informasi.

Baca juga: Bentuk Permukaan (Landscape) Neraka

Tentu saja kita tak ingin membatasi informasi, selama informasi itu bukan yang destruktif atau merusak. Juga bukan informasi yang tak ada manfaatnya.

Problema Guru Ngaji

Idealnya, memang belajar agama (Islam) dari guru langsung. Tetapi harus diakui, orang yang sudah belajar dari gurunya, kerap kali merasa kurang atau tidak puas dengan apa yang diajarkan kepadanya. Sebab, ia ingin mengetahui atau baru mengetahui ilmu yang tidak atau belum diajarkan oleh gurunya sendiri. Akhirnya, ia mencari dan menemui sesuatu yang informatif, sesuai apa yang dibutuhkan saat ini.

Poinnya adalah kebutuhan. Jadi, Ketika dibutuhkan, tak perlu lama untuk menunggu bab pembahasan atau kajian tentang apa yang ingin diketahui. Apalagi jika ngajinya sepekan sekali di masjid atau majelis taklim terdekat.

Saya sendiri pernah mengikuti pengajian kaum bapak di masjid yang gurunya cukup sepuh. Adapun pembahasannya terlalu lama untuk memasuki bab selanjutnya. Masih seputar bab thoharoh saja. Bagi saya, itu membosankan. Ternyata bukan hanya saya. Bagi anak muda yang lain, tentu saja tema itu tidak menarik. Akhirnya saya tinggalkan pengajian itu.

Akhirnya, di masjid tempat saya berjamaah, banyak ragam pengajiannya. Ada pengajian yang khusus zikir saja, atau ada yang banyak main hadrohnya saja, dan ada pengajian khusus kaum ibu, dengan guru yang berbeda-beda pula.

Menurut saya, guru ngaji itu juga harus mengikuti perkembangan zaman. Juga mengikuti trending topic yang sedang terjadi di masyarakat. Pastinya trending topic akan menarik untuk dibahas dan ditelaah. Juga bagaimana kita menyikapinya. Barangkali perlu kajian kontemporer yang sebelumnya tak pernah dibahas. Sebab, selama ini cara pengajarannya mengikuti pola masyarakat tradisional.

Baca juga: Membeli Buku Dapat Mempermudah Jalan Masuk Surga

Akan jauh lebih baik, guru ngaji yang wawasannya luas, akan menyisipkan pengetahuan tentang sedikit sejarah, lebih banyak memberi contoh dan praktiknya dalam beramal, walau pun sedikit. Sehingga, begitu pulang ke rumah, ada amalan yang bisa segera diamalkan oleh santrinya. Bahkan menjadi pembiasaan dan amalan rutin sehari-hari.

Ngaji Sesuai Kebutuhan

Kembali ke soal mencari ilmu agama berbasis google atau medsos. Saya merasa banyak mendapat pengetahuan yang tidak disampaikan oleh guru di pengajian. Misalnya soal tahsin, tajwid, dan makhroj yang benar, sementara kita merasa bacaan kita sudah benar. Padahal masih kurang tepat bahkan salah.

Atau tentang kisah teladan Sahabat Nabi dan orang-orang saleh yang belum semuanya kita tahu. Atau kajian tentang hadits dan sanadnya, sahih, dhoif, atau palsu.

Ternyata saya juga baru tahu, ada pendapat dari imam Mazhab dan ulama lain yang berbeda. Masing-masing ada dalilnya. Tentu saja ini menambah wawasan baru bagi saya dari keragaman pendapat ulama tentang suatu hukum.

Dari situ kita bisa memilih. Juga tidak taqlid dengan satu ulama saja. Atau merujuk dari satu sumber saja. Sebab, ternyata Islam itu luas, dan tak akan pernah habis untuk ditelaah.

Kita memang tak pernah dibatasi untuk belajar dari guru mana pun. Bisa mendengar dari manhaj dan Mazhab yang berbeda. Itu pun tergantung dari mana kita belajar pada awalnya. Apakah mengikuti klp yang satu, atau mengambil ilmu dari mana saja, selama tidak menyalahi syariat, sebatas ikhtilaf di antara para ulama.

Tak dipungkiri pula, semakin banyak referensi dan telaah lain dari kalangan ulama yang berbeda pendapat, kerap membuat umat atau jamaah malah bertambah bingung, ikut yang mana. Bahkan, murid dan gurunya pun bisa berbeda pendapat. Dia lebih sreg ikut pendapat dari ustadz yang lain. Bagaimana kalau sudah begini? Apakah sah-sah saja?

Baca juga: Jembatan Qantharah Setelah Jembatan Shirath

Tetapi kalau ada ustadz yang kajiannya mem-bid’ah-bid’ah-kan kelompok lain, bahkan mengkafir-kafirkan, sudah pasti, akan saya skip. Bahkan sudah saya tandai siapa penceramahnya. Namun, tetap saya ambil ilmunya, selama tidak ada perselisihan tajam di dalamnya.

Saya juga menolak penceramah lain yang gayanya selalu marah-marah, atau sambil merokok, atau mengajak jamaahnya untuk jadi jagoan, wah sudah pasti akan saya abaikan dan tidak diikuti. Apalagi yang tidak punya dasar ilmu dan banyak ngaco-nya, ngebanyol-nya, atau amalan yang tidak sesuai dengan syariat, pasti tidak akan diikuti. Jangan sampai kita masuk ke sekte aliran agama yang menyesatkan.

Begitu juga saat mencari pengetahuan agama melalui referensi dari google atau medsos. Tentu saja harus dari sumber media atau ulama yang tepercaya, valid, dan memilki kedalaman ilmu. Untuk itu, perlu ada ilmunya juga untuk memilah. Bukan asal comot saja.

Jadi, silakan saja belajar agama dari mesin pencarian atau berbasis medsos. Tetapi, ditambah lagi dengan membuka Al Qur'an dan Hadits, juga berdiskusi dengan ahlinya. Toh banyak juga mereka yang non muslim yang mengetahui dan mempelajari Islam dari media sosial serta mesin pencarian lainnya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.