Iman telah menciptakan kehidupan harmonis dan penuh persaudaraan di kalangan salafus-shalih. Mereka hidup bersaudara sebagai hamba Allah. Tak ada perbedaan antara majikan dan pelayan, antara orang kaya dan miskin, antara rakyat dan penguasa. Mengapa kondisi ini bisa terwujud? Sikap tawadhu' (rendah hati) adalah salah satu jawabannya.
Rasulullah saw biasa duduk berbaur dengan sahabat-sahabatnya tanpa membedakan mereka. Cara berpakaian dan penampilan beliau juga hampir tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan. Rasul sering membantu para sahabat dalam berbagai pekerjaan, melayani keluarga, bekerja menguliti kambing, memerah susu, atau memperbaiki sandalnya. Beliau bahkan menawarkan diri kepada para sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Beliau lebih suka mendahulukan sahabatnya dan berjalan di belakang mereka. Rasul tidak segan meminta pendapat orang lain, kemudian mengambil pendapat tersebut jika dianggap lebih tepat. Tidak sekalipun beliau meminta pelayanan istimewa dari para sahabat-nya mengingat beliau adalah utusan Allah dan pemimpin umat.
Suatu hari, datanglah seorang Arab dusun kepada Rasulullah dengan tubuh gemetar karena takut. Rasul kemudian menenangkan hatinya seraya bersabda, "Tenangkanlah hatimu. Aku bukan raja. Aku hanyalah anak seorang perempuan yang biasa memakan daging kering." (HR Ibnu Majah). Sikap tawadhu' yang dicontohkan Rasulullah menjadi teladan bagi para sahabat dan tabi'in setelahnya.

Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq, tanpa canggung berjalan kaki menyertai pasukan di bawah komando Usamah bin Zaid, pemuda berusia tujuh belasan. Ketika Usamah mempersilakan Abu Bakar untuk naik ke punggung kuda, ia berkata, "Demi Allah, jangan engkau turun dari kuda mu. Aku tidak akan menaikinya. Apalah artinya kakiku tersentuh debu untuk sesaat saja dalam membela agama Allah ini?"
Pada kesempatan lain, saat Abu Bakar ingin memerintahkan Umar bin Khattab untuk menggantikan posisinya sementara sebagai Khalifah di Madinah. Tanpa sungkan Abu Bakar meminta izin kepada, Usamah bin Zaid, saat itu Umar memang termasuk anggota prajurit di bawah komando Usamah. Abu Bakar berkata, "Wahai Usamah, kalau seandainya engkau berpendapat bahwa tugasku sebagai Khalifah dapat digantikan oleh Umar, maka tunjuklah dia.”
Sikap tawadhu' terus menghiasi para pemimpin Islam selanjutnya. Hingga ketika memangku jabatan khalifah, diriwayatkan Umar bin Khattab pernah memanggul segentong air di pundaknya. Salah seorang anaknya dengan nada kurang suka bertanya, "Mengapa ayah melakukan hal itu?" Umar menjawab, "Aku merasa bangga dengan diriku sendiri. Karenanya aku bermaksud menghinakannya, supaya aku tidak lagi dapat merasa bang-ga dengan diriku ini."
Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, Umar justru memiliki sensitivitas terhadap rasa sombong berupa kebanggaan terhadap diri sendiri. Kesombongan yang muncul secara manusiawi lantaran pasukan Islam berhasil melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di bawah pemerintahan beliau. Wajar bila posisi serta citra Umar bin Khattab demikian berarti bagi rakyat-nya.

Namun, pada saat itulah Umar merasa khawatir, jika perasaan bangga terhadap diri ini akan berubah menjadi kesombongan. Karena itu, dengan segera ia berusaha menaklukan rasa bangganya dengan 'menghinakan' dirinya. la lakukan pekerjaan rakyat biasa di depan orang banyak, tanpa mempedulikan bahwa ia adalah seorang khalifah yang kekuasaannya menyamai seorang kaisar.
Suatu ketika, Umar berjalan-jalan di Makkah, la melihat seorang budak berdiri terpaku dan menyendiri, sementara majikannya makan bersama teman-temannya. Alangkah marahnya Umar melihat hal itu. la memanggil budak tersebut dan menyuruhnya makan bersama dalam satu piring yang sama.
Sikap tawadhu' tidak hanya milik Umar. Ali bin Abu Thalib, tatkala menjabat sebagai khalifah, pernah menggigil kedinginan lantaran di tubuhnya hanya melekat selembar baju tipis yang cocok untuk musim panas. Padahal, rekomendasi pengeluaran harta di Baitul Maal berada di tangannya. Tapi ia tidak menganggap kedudukan tinggi di hadapan manusia sebagai kemuliaan di sisi Allah. Kesadaran bahwa manusia adalah hamba Allah serta pemimpin sebagai pelayan rakyat, tertanam kuat dalam jiwa Ali.
Lihat pula Abu Ubaidah ibnul Jarrah, ketika pasukannya tiba di kota Amwas yang tengah dilanda wabah kolera yang amat ganas. Khalifah Umar yang merasa cemas terhadap nasib Abu Ubaidah menulis sepucuk surat. Umar memerintahkan Abu Ubaidah untuk segera meninggalkan kota
"Amma ba'du. Saya sangat membutuhkan bantuan Anda untuk memecahkan suatu masalah. Itu sebabnya, setelah menerima surat saya ini, saya minta Anda berangkat menemui saya - tanpa harus menunda lagi." Demikian tulis Umar dalam suratnya.

Abu Ubaidah menatap surat tersebut. la mengerti, Khalifah Umar ingin menghindarkan diri-nya dari wabah ganas yang tengah melanda kota. Abu Ubaidah berkata lirih, "Astaghfirullah li Amiril Mukminin (semoga Allah mengampuni Amirul Mukminin)." Selanjutnya ia menulis surat balasan kepada khalifah: "Saya telah memahami maksud baik Tuan. Namun harap Tuan tahu, saat ini saya sedang bersama satu pasukan kaum muslimin, dan saya sama sekali tidak ingin meninggalkan mereka sampai saatnya Allah menentukan keputusannya terhadap saya dan mereka. Bebaskan-lah saya dari keinginan ini, ya Amirul Mukminin. Dan biarkanlah saya menyertai mereka di sini."
Membaca surat balasan itu, menitiklah air mata Umar bin Khattab. Dengan pelupuk mata yang masih basah, Ami-rul Mukminin bertanya kepada orang yang saat itu berada di samping-nya, "Apakah Abu Ubaidah telah meninggal dunia?" Orang itu menjawab, "Tidak ya Amirul Mukminin. la masih berada di tempatnya."
Sikap Abu Ubaidah bin Jarrah selaku komandan pasukan, selain didorong oleh rasa tawakal terhadap ketentuan Allah swt, juga rasa tawadhu'nya sebagai pemimpin terhadap pasukan-nya. Karena itu, ia tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dan menelantarkan mereka. Abu Ubaidah merasa dirinya sama dengan pasukan-nya yang lain. Perbedaannya hanya dalam posisi tugas, yang satu sama lain saling membutuhkan. Tak ada yang lebih baik dalam hal tersebut. Abu Ubaidah dan juga kaum muslimin yang saat itu berada di Amwas adalah pasukan pembela agama Allah.
– Asiya Afifah
Disadur dari majalah Sabili No.16 TH. VI 24 FEBRUARI 1999/ 8 DZULQA'DAH 1419

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!