Menapaki 10 hari terakhir di bulan Ramadan, tuntutan agar kualitas ibadah semakin ditingkatkan justru berhadapan dengan godaan yang kian berat. Akankah kita tetap berada di benteng puasa ataukah berlari darinya?
Benteng dalam pemahaman tradisi budaya apa pun selalu dimaknai sebagai tempat berlindung yang aman untuk mempertahankan diri. Benteng bisa berupa bangunan kokoh yang memang dirancang untuk pertahanan. Namun, dalam strategi militer, kondisi alam yang strategis pun dapat dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan yang efektif.
Bukit Uhud adalah tempat strategis yang dipilih Rasulullah ﷺ untuk menempatkan pasukan. Kondisi Bukit Uhud yang lebih tinggi bisa dimanfaatkan dalam dua hal sekaligus. Pertama, menjadi benteng yang secara alami mampu memberikan perlindungan berupa tingkat kesulitan yang tinggi bagi pasukan musuh yang ingin menyerang pasukan Rasulullah ﷺ. Kedua, dengan posisinya yang tinggi itu, pasukan panah Rasulullah justru lebih leluasa untuk melihat pergerakan musuh dan melakukan serangan dari tempat yang relatif terlindung dari pandangan dan jangkaun lawan.
Bukit Uhud menjadi benteng alami yang akan menentukan kemenangan pasukan Islam di bawah komando langsung Rasulullah ﷺ. Sejarah memberikan kesaksian, strategi Rasulullah ﷺ yang memosisikan pasukannya di Bukit Uhud sesunguhnya berjalan efektif. Pasukan Islam berhasil memukul mundur kaum kafir Quraish di awal-awal pertempuran.
Malapetaka kemudian terjadi. Saat pasukan panah yang telah diposisikan sedemikian rupa di lereng-lereng bukit yang strategis itu mulai beranjak meninggalkan pos masing-masing. Mereka tergiur harta ghonimah yang tercecer di bawah bukit, ditinggalkan oleh pasukan kafir Quraish yang lari kocar-kacir akibat efektifnya sistem bertahan dan serangan kaum muslimin di lereng-lereng Bukit Uhud.
Mungkin takut tak kebagian harta ghonimah, pasukan yang ditempatkan secara strategis ini kehilangan kendali diri dan bertindak tidak disiplin. Mereka ikut turun memperebutkan harta yang ditinggalkan oleh musuh. Pesan Rasulullah mereka abaikan, agar jangan pernah beranjak dari benteng strategis itu apa pun yang terjadi.
Baca juga: Menempa Sikap Ridha
Godaan harta dan kemenangan yang ada di depan mata membuat pasukan itu terlena. Benteng strategis itu mereka tinggalkan. Khalid Bin Walid yang menjadi komandan pasukan musuh melihat situasi itu. Ia memberikan komando kepada pasukannya untuk berbalik arah dan menyerang pasukan Islam yang sudah keluar dari benteng alam yang strategis itu.
Walhasil, pasukan Islam dibuat porak-poranda. Umat Islam harus menelan pil pahit berupa kekalahan tragis yang menewaskan beberapa ksatria dan pendekar besar semisal Hamzah, paman Rasulullah ﷺ. Bahkan, Rasulullah sempat terluka dalam perang tersebut.
Meninggalkan benteng pertahanan adalah salah satu faktor penyebab yang membuat kaum muslimin harus menderita kekalahan dalam Perang Uhud. Meski pada awalnya kemenangan itu telah terlihat di depan mata.
Puasa Ramadan sebagai Benteng
Perang Uhud adalah ibrah penting bagi kaum muslimin untuk memenangi pertempuran dan menghindari kekalahan, termasuk dalam bertempur melawan hawa nafsu. Puasa di bulan Ramadan adalah salah satu perang besar kaum muslimin dalam memerangi hawa nafsu. Mampukah kita memenanginya? Sejarah Perang Uhud mungkin bisa memberikan inspirasi kepada kaum muslimin untuk memenangkan jihad besar melawan hawa nafsu di bulan suci Ramadan ini.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Shaum itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah: ‘aku sedang shaum’ Beliau mengulang ucapannya dua kali. Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta’ala daripada harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman, dan nafsu syahwatnya karena Aku. Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, dan setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa.” – HR. Bukhari
Memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan dan kemenangan yang telah di depan mata, godaannya juga semakin berat. Bahkan godaan itu kerap muncul dalam bentuk pseudo kemenangan. Merasa telah menang hanya dengan melihat kalender bahwa 1 syawal telah dekat. Maka muncul euforia, untuk merayakan dengan memakai, mengonsumsi segala sesuatu yang nampak indah dan menyenangkan.
Baca juga: Beda Suasana Puasa di Jakarta dan Gaza
Kasus membludaknya pengunjung di mal dilaporkan terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia jelang lebaran ini. Padahal, dalam sembilan bulan sebelumnya banyak tenan di berbagai mal mengeluh sepinya pengunjung.
Sepuluh hari terakhir Ramadan dan makin ramainya mal hendaknya mengingatkan kita semua para shoimin kepada tragedi Uhud. Puasa telah dinyatakan oleh Rasulullah ﷺ sebagai Benteng yang akan melindungi kaum muslimin dari kekalahan atas hawa nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi ironis, benteng itu justru ramai-ramai ditinggalkan ketika momen-momen yang paling menentukan tengah berlangsung.
Seperti pasukan Uhud yang tergoda ghonimah, kita para shoimin juga tergiur baju baru, kerudung baru, sandal baru. Sehingga ramai-ramai meninggalkan “pos-pos penjagaan” puasa kita untuk menjaga hati, mata, lisan, dan tentu saja nafsu.
Benteng itu hadir, dipilih, dan dibangun untuk melindungi. Tetapi ia akan kehilangan fungsi utamanya sebagai pelindung atau perisasi jika yang dilindungi justru keluar dari area perlindungan itu. Sepuluh Ramadan yang terakhir kerap menjadi saksi kegagalan para shoimin untuk meraih kemenangan dengan sertifikat taqwa, karena terjebak oleh pseudo kemenangan.
Itu artinya kita kembali kalah, dan nafsu yang kembali menang. Padahal, seruan Rasulullah ﷺ amat jelas, agar kaum muslimin makin serius dalam ibadah, bahkan dianjurkan iktikaf di 10 malam terakhir bulan Ramadan.
Saat kembali memalingkan wajah ke belakang, benteng itu tetap berdiri kokoh namun makin jauh kita tinggalkan. Sementara di antara sayup-sayup kesadaran yang masih tersisa, kita mulai menyadari bahwa pesta kemenangan yang kita rayakan adalah perangkap musuh yang sengaja menjauhkan dari benteng kokoh itu, agar tubuh limbung kita makin mudah terperosok dalam langkah-langkah syaiton berikutnya.
Wallahu a’lam
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!