Lelaki gagah itu duduk di posisi depan di ruang utama Masjid Darussalam, Kota Wisata, Kabupaten Bogor. Jenggot, cambang, dan berewok lebat menghias wajahnya. Tampil sebagai pembicara di salah satu sesi dalam Mualaf Festival 2023, kata-kata yang terucap dari sela bibirnya saat membawakan materi “Metodologi Dakwah” Sabtu, 19 Agustus 2023, itu terdengar jelas dan mengobarkan semangat.
Pagi menjelang siang, setengah jam lagi waktu dzuhur datang. Udara di luar Masjid Darussalam begitu hangat. Matahari kian meninggi dan memancarkan panas. Suasana hangat pun terjadi di jamaah di dalam masjid kala itu.
“Dakwah adalah sebuah aktivitas, pekerjaan yang paling mulia di dunia ini,” ucapnya di awal kajian.
Lelaki itu bernama Syamsul Arifin Nababan, Lc. Jika menyimak nama marga lelaki itu, mungkin banyak orang tak menyangka Nababan adalah seorang muslim. Apalagi da’i. Betul, karena Syamsul Arifin Nababan adalah seorang mualaf dan lahir dari kedua orang tua yang menganut agama Kristen. Ketika lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 10 November 1966, kedua orang tuanya bahkan mengharapkan dia kelak menjadi pendeta sekaligus menyebarkan agama Kristen.
Syamsul Arifin Nababan berkisah, ayahnya dulu berprofesi sebagai pendeta di sebuah Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatera Utara. Sejak kecil, sang ayah berusaha menggembleng Syamsul Arifin kecil untuk melanjutkan jejaknya. Hal itu dibuktikan dengan memasukkan Syamsul Arifin ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Kristen. PGA memang menjadi tempat yang cocok bagi para calon pendeta menuntut ilmu agama mereka.
Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Bagaikan seseorang yang haus ilmu, ia selalu merasa tak cukup mendalami ilmu agama Kristen di sana. Maka, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Nomensen di Medan. STT Nomensen adalah sekolah untuk mencetak calon pendeta. Atmosfer agamis memenuhi sekolah itu. Waktu berlalu, ia lalu diangkat menjadi Evangelist atau penginjil di Gereja HKBP selama tiga tahun enam bulan.
Baca Juga : Mantan Misionaris : Bohongnya Kebahagiaan dari Pernikahan Beda Agama
Syamsul Arifin bercerita, sebagai salah satu kewajiban para calon pendeta di STT Nomensen, mereka harus mengikuti program di luar sekolah, semisal Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tepatnya tahun 1989, ia dan teman-temannya diutus berkunjung ke suatu wilayah di Sumatera Utara. Bermodalkan “beberapa bungkusan”, mereka menentukan obyeknya, yaitu kaum muslim. Memberikan bantuan dana sosial, sekaligus mengajak mereka untuk pindah agama menjadi Kristen. Sekali dayung dua pulau terlampaui.
Sesampai di sana, Syamsul dan temannya harus berhadapan dengan pemuka kampung dulu sebelum menjalankan misi. Pemuka kampung bertanya tujuan kedatangan mereka. Mereka jawab dengan terus terang. Pemuka kampung itu tersenyum. Lalu, Nababan dan temannya diajak berkunjung ke rumah tokoh masyarakat di kampung itu untuk berdialog.
“Kami diberi sambutan yang sangat hangat. Mereka mengatakan tujuan kegiatan kami sangat baik. Namun, ia mengingatkan agar jangan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama. Penduduk kampung pada prinsipnya siap dibantu, tetapi tidak untuk pindah agama,” kisahnya.
Tak hanya itu. Kepada Nababan dan temannya, tokoh masyarakat itu menjelaskan, agama Kristen hanya diutus untuk bani Israil. Bukan untuk warga di sini. Mereka melanjutkan dengan membuka kitab suci agama Kristen dari berbagai versi yang dibawa Nababan dan temannya. Ternyata mereka paham isinya. Bahkan, mereka menguliti satu persatu kelemahan al-kitab. Salah satu bahasan yang dikaji kala itu adalah buku tentang Dialog Islam-Kristen di Madura antara K.H. Baharudin Mudhari dengan seorang pendeta.
Mereka menunjukkan, seperti termaktub dalam Matius 15:24, Yesus menjawab, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”.
Nababan dan temannya tak dapat menjawab. Dialog ketika itu terhenti karena adzan magrib berkumandang. Nababan dan temannya pun kembali ke asrama.
Baca Juga : drg. Carissa Grani: Dunia Medis Mengungkap Mukjizat Shalat bagi Tubuh
Setelah kejadian seru di hari itu, sesuatu terus menggelayut dalam pikiran Nababan. Ia menyebut, seperti tidak bisa melupakan dialog antara mereka dengan para pemuka kampung. Dialog itu terus membekas di dalam benaknya.
Lantas ia mengambil buku “Dialog Kristen-Islam” tersebut. Ia membaca dan membacanya berulang kali. Bahkan hingga 12 kali. Hari demi hari, buku itu mulai mempengaruhi pikirannya. Nababan bahkan mulai jarang praktik mengajar. Pernah hingga 3 hari berturut-turut ia tak mengajar.
Tak perlu waktu lama, dirinya tepergok oleh pendeta. Pendeta itu rupanya tahu, Nababan berdialog dengan seseorang muslim yang mengerti Alkitab. Ia pun membesarkan semangat Nababan agar menantang balik.
“Masak kamu kalah sama orang yang hanya tahu kelemahan Alkitab?Padahal kamu telah belajar selama 3,5 tahun. Dan kamu juga pernah mengikuti kuliah seminari,” kata sang pendeta dengan nada menantang dan sinis.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sejak saat itu, Nababan lebih banyak merenung seputar kelemahan-kelemahan alkitab. Akhirnya, bulat tekadnya untuk berhenti menjadi calon pendeta. Pada tengah malam, ia pergi meninggalkan asrama itu. Walau entah tidak tahu mau ke mana. Seakan ia menuju tempat antah berantah.
Ia gamang. Jika kembali ke rumah, sudah pasti bakal diinterogasi panjang lebar dan disuruh kembali ke asrama. Tetapi ia tak hendak kembali lagi ke asrama dan melanjutkan harapan menjadi calon pendeta. Akhirnya, di malam itu ia resmi membuat keputusan besar. Meninggalkan asrama, keluarga, dan keinginan orang tuanya.
Nababan menjalani pelarian itu. Di suatu tempat, Nababan bertemu dengan seorang muslim Jawa. Kepada bapak itu, Nababan menjelaskan alasan perjalanan dan posisi dirinya yang dalam bahaya. Jika ketahuan di mana posisinya, dirinya akan diburu.
Oleh orang itu, ia diajak pergi ke Kota Jember, Jawa Timur. Nababan ikut. Ia tinggal di rumah bapak itu. Setahun lamanya tinggal bersama, Nababan merasa telah dianggap seperti saudara sendiri. Di Jember, ia bekerja apa saja. Mereka pun saling membantu satu sama lain.
Sejak kabur dari asrama, Nababan tak lagi menjalankan ajaran agama. Ia merasa kehilangan pegangan hidup. Bulan demi bulan berlalu. Nababan terasa tenteram hidup di sana. Seakan ia telah menemukan cahaya yang turun di Jember. Sebuah kota kecil yang memberi dia perasaan damai.
Baca Juga : Habib Muhsin Al Athos: “Medan Juang Kita Ada Tiga”
Selama tinggal di sana, dirinya tidak pernah diajak, apalagi dibujuk, untuk memeluk agama Islam. Tetapi ia justru belajar, seorang muslim sangat menghargai kebebasan beragama. Seorang muslim tidak akan memaksakan agamanya kepada seseorang yang telah beragama lain.
Ketika itulah, ketertarikan terhadap Islam mulai tampak dan kian kuat di dalam dirinya. Nababan mulai kepo (kepingin tahu lebih dalam, red) tentang Islam. Ia rajin bertanya seputar Islam. Oleh lelaki muslim sahabatnya itu, ia diarahkan untuk bertemu seorang kiai. Ternyata kiai yang temui itu adalah pimpinan Pondok Pesantren Raudhatul 'Ulum, KH Khotib Umar.
Bagaikan video dokumenter yang diputar ulang kembali di depannya, memori tentang dialog bersama tokoh masyarakat di Medan dengan topik kelemahan alkitab mengisi kepala Nababan ketika itu. Seperti deja vu. Nababan menjelaskan tentang keinginan dia untuk mengetahui Islam lebih jauh dan lebih dalam, kegiatan masa lalunya, dan menguraikan kelemahan-kelemahan alkitab.
Nababan saat itu melihat, KH Khotib Umar sangat terharu. Secara spontan beliau merangkul Nababan sambil berkata,
“Anda adalah orang yang beruntung, karena Allah telah memberikan pengetahuan kepada Anda…”
KH Khotib Umar menguraikan perihal kelemahan-kelemahan alkitab. Setelah mendengarkan uraian KH Khotib Umar, Nababan semakin banyak merenung. Batinnya berkata, penjelasan KH Khotib Umar sangat cocok dengan hati nurani dan rasional. Hidayah pun berlabuh di hatinya. Nababan lantas bertekad bulat untuk memeluk agama Islam. Ia pun memantapkan diri tinggal di pesantren di Jember itu sebagai santri.
Tahun demi tahun ia lalui sebagai santri di Pondok Pesantren Raudhatul 'Ulum. Suatu ketika kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya muncul dalam hatinya. Ia mohon izin kiai untuk kembali. Kiai Khotib Umar mengizinkan. Nababan pun pergi menuju Sumatera Utara.
Sesampai di kampung halaman, awalnya orangtua dan saudara-saudaranya tak mengenali Nababan yang berpakaian gamis dan sorban. Nababan mengenalkan diri dan agama yang kini dia anut. Tentu dapat ditebak, ibunya sangat shock, kakak-kakaknya amat marah, dan akhirnya ia diusir dari rumah.
Nababan pergi. Justru karena diusir keluarganya, ia menjadi sosok yang tegar. Kemudian ia berdakwah ke beberapa kota. Bermacam-macam respon yang ia dapatkan sepanjang jalan. Ada yang menerima baik, ada pula yang menolak.
Tak juga sedikit teror yang ia terima dari keluarga orang-orang yang ia Islamkan. Salah satu tantangan itu datang ketika ia ingin mengislamkan 10 orang di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketika akan mengucap syahadat di suatu rumah, ia dan kawannya dikepung warga satu desa. Warga desa itu melempari batu ke arah dalam rumah. Serangkaian ucapan bernada kebencian pun terlontar. Ada yang bilang “serbu”, “bakar”, bahkan “bunuh”. Suasana sangat mencekam. Nababan merasa hari itu akan menjadi hari terakhir baginya hidup di dunia ini. Tetapi alhamdulillah, pertolongan Allah datang. Di saat itu, ada orang baik yang menolong.
Tantangan tak hanya datang dari pihak eksternal. Pihak internal umat muslim pun menghadirkan tantangan. Salah satunya adalah prasangka negatif yang ditujukan kepada dirinya dan mualaf lainnya. Ia diduga layaknya Snouck Hurgronje, islamolog asal Belanda yang menghancurkan umat Islam di masa lalu, lantaran berpura-pura memeluk Islam tetapi menggerogoti dari dalam.
Baca Juga : Mensyukuri Nikmatnya Hidayah & Kemerdekaan untuk Persatuan
Namun, semua tantangan dapat ia atasi. Nababan pun membangun pondok pesantren untuk memberi kehidupan dan pendidikan yang layak bagi mualaf lain yang bisa jadi lebih buruk nasibnya dari dia.
“Kompetisi penyiaran agama semakin tertata. Kita sebagai umat Islam harus semakin waspada. Apalagi, agama lain ditopang dengan iming-iming materi yang jumlahnya tidak sedikit. Jangan sampai orang Islam yang merupakan warga keturunan maupun mualaf tergiur oleh materi-materi itu lalu berbalik ke agama mereka,” pesannya di depan jamaah Mualaf Festival 2023.
Di bagian akhir panyampaian materinya, Syamsul Arifin Nababan berpesan, jumlah muslim yang mualaf tidak sedikit. Mereka berasal dari bermacam latar belakang. Dampak yang mereka terima pun beragam. Mereka butuh uluran tangan kita. Bahkan lebih dari butuh. Sudah semestinya sebagai muslim kita mengambil peran untuk membimbing mereka. Bukan sekadar mengucapkan ikrar syahadat, tetapi juga mendampingi mereka menjalani kehidupan selanjutnya. Sebab, jika mereka terbentur dan akhirnya kembali ke agama yang sebelumnya, siapa yang kelak menanggung dosanya?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!