Akhir September kemarin, jagat politik nasional kembali bergemuruh. Bermula dari kemunculan voice note "Mawar", yang diyakini publik berisi suara Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Tak lama, Mawar alias Kaesang secara terbuka menyatakan PSI sebagai pelabuhan politiknya. Bukan sekadar jadi anggota, Bos “Sang Pisang” itu pun segera didapuk jadi Ketua Umum menggantikan Giring Ganesha.
Pilihan politik Kaesang menyempal dari tradisi keluarga Jokowi yang berhimpun di PDIP. Sang ayah, Jokowi, meniti karir politiknya sejak jadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga dua kali menjadi Presiden melalui partai moncong putih. Tak heran jika Megawati, sang bos, kerap menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Sebutan yang sejatinya kurang elok dan tak sedap didengar. Begitu pula Gibran maupun Bobby, kakak dan kakak ipar Kaesang, yang menjadi Walikota Solo dan Medan dengan didukung partai yang sama. Terlebih Megawati menyebutkan keluarga kader PDIP harus solid berada di barisan partai Banteng. Tidak boleh di partai yang berbeda.
Publik pun geger. Lho, kok Kaesang beda? “Dia kan sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah mandiri,” bela sang ayah. “Yang dimaksud keluarga adalah keluarga inti, yaitu suami, istri dan anak yang belum berkeluarga,” tepis Ketua DPP PDIP, Djarot Syaiful Hidayat. Semuanya ingin menunjukkan, tidak ada yang aneh dengan pilihan Kaesang.
Benarkah begitu? Membaca dinamika politik tidak boleh hanya menatap apa yang kasat mata semata. Apa yang terjadi di latar depan tidak sama - bahkan kerap kali berbeda - dengan yang tersembunyi di belakang.
Baca Juga : Siapa yang Fajir?
Tak ada asap kalau tak ada api. Maka, jika berlabuhnya Kaesang ke PSI adalah asap, di manakah apinya? Sejak pertama kali terpilih menjadi Walikota Solo tahun 2005, karir politik Jokowi tergolong mulus. Hanya dalam waktu 9 tahun setelahnya, Jokowi yang bukan pendiri atau ketua Partai atau pimpinan organisasi/lembaga nasional, melesat jadi Presiden. Berpasangan dengan JK, Jokowi memenangkan Pilpres tahun 2014. Kemenangan kembali ia raih pada Pilpres 2019, berpasangan dengan Ma'ruf Amin. Prestasi yang tidak bisa dicapai oleh siapa pun di era reformasi.
Habibie menjadi presiden menggantikan Pak Harto tahun 1998, setelah 20 tahun jadi Menteri. Gus Dur merupakan pendiri PKB serta menjabat Ketua Umum PBNU selama 15 tahun sebelum terpilih menjadi presiden tahun 1999. SBY, selain pemilik Partai Demokrat, juga pernah menjadi Kassospol TNI dan Menko Polhukam sebelum memenangkan Pilpres tahun 2004. Bahkan Megawati, bos partai tempat Jokowi bernaung, dua kali gagal saat ikut kontestasi Pilres, yaitu tahun 2004 berpasangan dengan Hasyim Muzadi dan tahun 2009 berpasangan dengan Prabowo (MegaPro). Tahun 2001, Megawati sebagai Wakil Presiden naik jadi presiden lantaran Gus Dur dimakzulkan oleh MPR.
Bukan cuma dirinya yang "sukses" menggenggam kekuasaan, tetapi juga anak dan menantunya. Gibran, yang tergolong anak kemarin sore dan minim pengalaman kepemimpinan, senyatanya "menang" Pilwalkot Solo dan pada 22 Januari 2021 ditetapkan sebagai Walikota oleh KPU Solo. Bahkan, namanya kini santer disebut-sebut bakal jadi cawapres Prabowo, seandainya MK meloloskan batas minimal usia cawapres jadi 35 tahun. Sementara Bobby Nasution, sang menantu, juga “berhasil” merengkuh jabatan Walikota Medan. Belum lagi, keberhasilan menyandingkan Ketua MK Anwar Usman dengan adik perempuannya ke pelaminan tahun lalu. Lagi-lagi “prestasi” luar biasa yang tak bisa dicapai para presiden sebelumnya. Nyaris lengkap sudah kekuasaan yang dicengkeram dinasti Jokowi.
Dengan sederet "prestasi" hebat itu, tak salah kalau Jokowi ingin membangun dinasti politik sendiri. Apalagi, fakta menunjukkan partai-partai yang sekarang eksis di perpolitikan nasional tak sedikit yang bernuansa dinasti dan nepotisme. PDIP misalnya, seolah menjadi hak dinasti Soekarno. Megawati sudah hampir 30 tahun mencengkeram posisi Ketum PDIP. Gerindra adalah kendaraan politik Prabowo. Maka, mesti sudah tiga kali gagal dalam kontestasi capres/cawapres, Gerindra terus saja mengusung dia. Demokrat disiapkan untuk jalan politik keluarga SBY. Begitu juga Nasdem, yang arah politiknya tergantung apa maunya Surya Paloh.
Masalahnya, justru itu salah satu titik lemah Jokowi. Dengan sederet kekuasaan dalam genggamannya, satu-satu yang belum berhasil dikangkangi - dan ini sangat vital dalam perpolitikan nasional - adalah partai politik. Padahal, parpol adalah satu-satunya lembaga yang ditahbiskan boleh mengajukan nama capres/cawapres maupun caleg. Setua, sebesar, sekuat dan seberjasa apa pun suatu organisasi, tidak bisa mengajukan calon legislatif maupun calon pemimpin eksekutif (Presiden/Wapres, Gubernur/Wagub, Bupati dan Walikota). Jika pun punya kandidat hebat dan mumpuni, mereka harus melalui jalur parpol.
Karena itulah, semua politisi yang ingin menggengggam kekuasaan akan berusaha menguasai partai politik. Baik dengan membuat partai sendiri atau "mengakuisisi" partai yang ada. Cara yang pertama, nyatanya tidaklah mudah. Ketatnya berbagai persyaratan administratif dan faktual yang harus diverifikasi sebelum bisa ikut pemilu, membuat orang tak lagi terlalu bersemangat membuat parpol. Jika pun lolos verifikasi, tak mudah untuk meraup suara pemilih.
Maka, cara paling mudah adalah menguasai kepemimpinan partai yang ada. Mau menguasai PDIP? Masalahnya, Megawati sang Bos menyebut Jokowi semata petugas partai. Di sisi lain, Mega tampaknya telah menyiapkan Puan Maharani atau Prananda Prabowo sebagai suksesor. Maka, bermimpi menguasai PDIP nyaris mustahil. Apalagi masa jabatan Jokowi sebagai presiden hanya tinggal setahun lagi. Coba partai lain? KSP Muldoko pernah coba "mengkudeta" kepemimpinan AHY di Demokrat. Namun, usaha ini tampaknya tidak berjalan mulus. Bahkan bisa dikatakan gagal.
Apakah PSI menjadi sasaran berikutnya? Boleh jadi, dan masuk akal. Ini semacam simbiosis mutualistis. PSI yang semula tampil trengginas karena dukungan sejumlah sponsor, pasca pemilu 2019 kelihatannya mulai kehabisan bensin. Sejumlah kader dan pengurusnya pun satu persatu pamit mundur, dengan berbagai alasan. Karena itu PSI memerlukan pemasok bensin baru agar mesin tetap jalan, serta perluasan basis pendukung agar bisa melewati ambang batas parlemen. Dan Kaesang adalah jawaban jitu. Dengan mendapuk Kaesang sebagai Ketum, diharapkan kedua hal tersebut bisa diraup. Bensin tetap deras mengucur dan sebagian pendukung fanatik Jokowi bisa digaet.
Baca Juga : Jangan Bersedih Kawan
Bagi Jokowi sendiri, ini jalan mudah untuk membangun dinasti politik. Meski dukungan para cukong melimpah, biaya "menguasai" PSI relatif lebih murah dan mudah. Jika sekarang Kaesang jadi Ketum, besok atau lusa boleh jadi bapaknya diangkat jadi Ketua Dewan Pembina atau sejenisnya. Setelah itu tinggal pandai-pandai maintenance.
Win-Win bagi Jokowi dan PSI. Tetapi bagaimana dengan rakyat dan bangsa Indonesia? Ujug-ujug Kaesang jadi Ketum PSI sejatinya adalah gambaran buruk wajah perpolitikan nasional. Preseden itu menjungkir- balikkan semua nilai kebaikan dan membunuh akal sehat. Sedangkan untuk menjadi Ketua BEM, Ketua Ormas atau Ketua apa saja diperlukan kapasitas tertentu. Maka diadakanlah Latihan Kepemimpinan dari Tingkat Dasar hingga Tingkat Lanjut. Durasinya dari mulai hitungan hari hingga pekan, bahkan bulan. Setelah itu ada penugasan di organisasi, mulai berupa panitia kegiatan hingga jabatan struktural. Itu pun berjenjang dari level bawah hingga nasional. Begitu juga halnya di dunia kemiliteran dengan diadakannya Sesko diiringi penugasan lapangan, Lemhanas, dan lain-lain.
Sama halnya di dunia usaha dan akademis. Seorang usahawan harus menapaki usaha dari bawah sebelum menjadi pengusaha papan atas. Sama halnya dunia akademis, berjenjang dari S1, S2 hingga S3, dari mulai asisten dosen, dosen, hingga guru besar. Semua itu dimaksudkan agar ada proses berjenjang yang harus dilalui seseorang untuk mencapai peringkat tertentu. Proses itu menjadi ujian sekaligus menambah kekayaan pengalaman.
Jika di lembaga bukan pengusung calon pemimpin negara saja, sedemikian ketatnya proses dan ujian yang harus ditempuh, semestinya proses dan seleksi di parpol lebih ketat lagi. Sebab, parpol merupakan lembaga yang diposisikan sebagai penghasil calon pemimpin bangsa dan negara.
Fenomena Kaesang - juga figur-figur lain parpol berdasarkan nepotisme - akan membawa bangsa ini kepada kemunduran. Bahkan kehancuran. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, belajar ekstra keras dan berlatih sungguh-sungguh, jika ternyata kesuksesan dan kekuasaan bisa didapat sedemikian mudah dan murahnya karena bapakisme?
Kita tentu masih ingat ajaran para guru dan founding fathers kita, bahwa Pemuda bukanlah mereka yang berkata “Inilah bapak saya”, tetapi mereka yang mengatakan “Inilah saya”. Apakah ajaran mulia itu harus kita buang ke tong sampah, lalu digantikan dengan kalimat "Nih, lihat siapa bapak gue"?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!