Di dalam khazanah Tata Krama Jawa, ada sebuah peribahasa yang berbunyi, “Anak polah Bopo kepradah, Bopo kesulah Anak kepolah”. Apa maksudnya?
Di dalam buku berjudul “MAGUTI: Kajian Simbolisme Budaya Jawa” yang disusun oleh Kodrat Eko Putro Setiawan (2019) halaman 94, dijelaskan bahwa makna “anak polah bopo kepradah, bopo kesulah anak kepolah” adalah ketika anak bertingkah, bapak atau orang tua-lah yang akan bertanggung jawab. (Jika) orang tua dihukum dengan dihujani tombak, anak ikut merasakannya.
Berdasarkan peribahasa tersebut, bisa disimpulkan bahwa tanggung jawab orang tua kepada anaknya sangatlah besar. Oleh sebab itu, seorang anak wajib berbakti kepada orang tua. Selain itu, “anak polah bopo kepradah” dapat diterjemahkan dengan penjelasan bahwa jika anak melakukan perbuatan buruk, maka orang tua yang akan mendapatkan hukumannya, baik hukuman normatif, aib, cemoohan, beban penderitaan, dan lainnya. Misalnya, jika anak berkelahi atau melukai orang lain yang mengakibatkan tuntutan untuk menanggung biaya perawatan medis, atau bahkan sampai menyebabkan orang lain meninggal dunia, atau seorang anak mencuri barang milik orang lain sehingga dituntut untuk mengganti atau terancam hukuman bui, dan lain sebagainya. Tentu pihak yang paling terbebani tanggung jawab besar adalah orang tuanya.
Fenomena Anak Polah Bopo Kepradah ini beberapa waktu belakangan sedang marak terjadi di negeri ini. Mulai dari kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandi terhadap David Ozora. Akibat ulah arogan dia, mata publik lantas menyorot gaya hidup anak pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo, tersebut. Dan benar saja, setelah diusut tuntas, ternyata ayah Mario Dandi itu terbukti telah melakukan dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sehingga pada 8 Januari 2024 dijatuhi hukuman 14 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Lalu ada kasus Ronald Tannur di Surabaya. Anak politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Nusa Tenggara Timur, Edward Tannur, tersebut, adalah terdakwa kasus penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. Pada 24 Juli 2024, Ronald dibebaskan oleh tiga orang anggota majelis hakim PN Surabaya, yaitu ED, M, dan HH. Di dalam sidang putusan, dia dinyatakan tidak terbukti menganiaya dan membunuh kekasihnya itu, padahal telah viral di media sosial bagaimana pemuda 32 tahun itu melindas kekasihnya itu sebelum akhirnya tewas. Kegeraman publik atas putusan bebas Ronald Tannur itu akhirnya membuka Kotak Pandora yang menggegerkan dunia peradilan di negeri ini. Ternyata ada mafia peradilan yang bermain di sana. Yaitu, ketika Kejagung berhasil menangkap bekas pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, dalam kasus dugaan suap untuk vonis bebas Gregorius Ronald Tannur tersebut. Zarof diduga terlibat juga dalam berbagai kasus dugaan makelar kasus di MA.
Tim Penyidik Kejagung juga berhasil menemukan uang serta emas senilai 1 triliun Rupiah yang dikumpulkan oleh Zarof Ricar dari pengurusan sejumlah perkara sejak 2012. Ia ditangkap pada Kamis (24/10/2024), saat penyidik Kejagung mengusut dugaan suap terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, yang diduga menerima suap dalam perkara yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur. Siapakah yang berusaha menyuap Zarof demi membebaskan Ronald Tannur? Siapa lagi jika bukan orang tuanya, dalam hal ini adalah ibunya.
Kejaksaan Agung telah menetapkan Meirizka Widjaja (MW), ibu Ronald Tannur, sebagai tersangka kasus penyuapan sebesar 3,5 miliar Rupiah kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Suap itu diberikan agar Ronald Tannur divonis bebas dalam kasus penyiksaan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. MW disebut telah bermufakat dengan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat (LR), untuk biaya pengurusan vonis bebas Ronald Tannur. Hal itu dikatakan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, di Jakarta, Senin (4/11/2024). Sekali lagi Anak Polah Bopo Kepradah itu terjadi.
Selanjutnya, ada kasus yang beberapa waktu ini tengah viral, yaitu seorang ayah di Surabaya menyuruh seorang murid sekolah bersujud dan menggonggong layaknya anjing, untuk menghukum murid tersebut yang dianggap telah menyakiti anaknya. Setelah perlaku arogan tersebut menjadi viral, seperti lumrahnya hukum dalam “Undang-Undang” warganet Indonesia, si pelaku dirujak oleh warganet Indonesia dan akhirnya ditangkap polisi. Belakangan beredar berita bahwa anak si pelaku yang punya masalah dengan murid yang “dianjingkan” oleh pelaku, merasa menyesal karena dirinya menjadi sebab kini ayahnya mendekam di penjara.
Itulah sebagian dari banyak kisah kenakalan anak yang membuat sengsara orang tuanya yang kini sedang menjadi sorotan masyarakat. Ada pepatah masyhur mengatakan bahwa apa yang ditabur maka itulah yang kelak akan dituai. Apa yang ditanam maka itulah yang nanti akan dipanen. Bisa jadi, para anak yang berbuat durhaka semisal tawuran, zina, dan tindak kriminal lainnya yang kemudian menyeret para orang tuanya dalam masalah di depan hukum, adalah akibat dari salah pendidikan semenjak dini. Para orang tua akhir zaman yang sudah banyak terpapar paham sekularisme dan kapitalisme hanya berfokus memberi asupan nutrisi badaniah semata kepada anaknya sejak kecil. Baik berupa makanan yang dianggap sebagai makanan sehat, susu formula mahal, dan sejenisnya. Kemudian disekolahkan di sekolah-sekolah yang dianggap memiliki kurikulum yang bagus dalam pandangan duniawi yang mirisnya alpha kandungan nilai ilahi.
Di dalam kitabnya, “Adabul Alim wal Muta'alim”, Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy'ari mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha yang mengatakan,
“Hak seorang anak atas orang tuanya adalah memberi nama yang bagus, memberi pengasuhan yang bagus, dan mengajarkan adab yang bagus” – Adabul Alim Wal Muta'alim, cetakan Maktabah Lil Turats Al Islami Tebu Ireng, halaman 9
Ada tiga poin penting dalam hadits tersebut. Pertama, memberi nama yang baik. Harus diakui, orang tua Muslim zaman ini lebih banyak memberi nama anaknya dengan nama yang mulai jauh dari nilai Islam. Mereka lebih bangga memakai nama artis, pemain sepak bola, dan para pesohor lainnya, yang tidak jarang nama-nama itu adalah nama para musuh Islam di zamannya. Mereka mulai malu memakai nama para Nabi, tokoh Islam, dan sejenisnya, karena dinilai kurang “menjual” dan tidak keren dalam pergaulan zaman modern.
Kedua, pengasuhan yang baik. Para orang tua zaman akhir bisa dikatakan telah salah dalam melakukan pengasuhan. Mereka yang sudah sibuk berkarir bisanya menyerahkan pengasuhan anak-anaknya kepada orang lain baik individu maupun lembaga tanpa dipantau dengan serius mengenai nilai-nilai apa yang telah diajarkan kepada anaknya. Mereka tidak peduli apakah nilai keislaman telah ditanamkan dengan baik atau tidak.
Yang ketiga adalah mengajarkan adab yang baik kepada anaknya. Inilah yang sudah mulai hilang dari umat Islam. Islam adalah agama yang sangat serius dalam mengajarkan adab. Menurut Prof Syed Muhammad Naquib Al Attas, adab merujuk kepada pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan, dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan kepada disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranannya sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan mencerminkan keadaan keadilan (Syed Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, hal 134).
Jika adab seorang anak sudah terdidik, maka dia akan bisa berlaku adil kepada siapa pun. Dia akan paham bagaimana cara yang baik berinteraksi dengan teman, guru, orang tua, dan terlebih kepada Tuhannya. Dengan adab yang baik itu, tidak akan mungkin akan tertulis cerita di pemberitaan tentang seorang anak membunuh orang tuanya, melawan gurunya, merusak temannya, dan sebagainya, seperti yang sekarang mulai sering terjadi.
Al-Imam al-Ghazali mengatakan bahwa jika seorang anak dibiasakan berbuat baik sejak dini, maka ia akan tumbuh besar menjadi baik, serta bahagia di dunia dan akhirat. Orang tua serta pendidiknya mendapatkan pahala atas usaha mendidiknya. Namun, jika anak dibiarkan terdidik dengan buruk, maka ia akan terbiasa melakukan keburukan, serta celaka di dunia dan akhirat. Orang tua dan pendidiknya juga ikut terkena imbas dosanya.
Ini artinya, fenomena anak durhaka adalah sebuah siklus yang bermula dari perilaku durhaka orang tua kepada anaknya. Sebab, sesuai fitrahnya, seorang anak pasti terlahir menjadi anak baik ibarat kertas kosong, sebelum terwarnai oleh lingkungannya. Dan lingkungan terdekat tentunya adalah orang tuanya.
Kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya tidaklah sepenuhnya kesalahan mereka semata, karena ada andil orang tua di dalamnya. Sahabat Umar bin al-Khathab Radiyallahu Anhu saat menjadi khalifah pernah menegaskan hal tersebut, dimana saat itu datang seorang laki-laki menemui khalifah Umar bin Khatab Radiyallahu Anhu untuk mengadukan tindakan kurang ajar anaknya. Lantas, sahabat Umar memanggil sang anak durhaka tersebut untuk dipertemukan dengan orang tuanya sekaligus dimintai klarifikasi. Tetapi karena tidak terdidik dengan baik, alih-alih mengakui kesalahannya, si anak malah mencela orang tuanya karena dianggap telah menelantarkan dia.
“Wahai Amirul Mukminin... Bukankah orang tua juga punya kewajiban kepada anaknya?” tegas sang anak.
“Ya, benar,” jawab Sayyidina Umar.
“Lantas apakah itu kewajiban orang tua kepada anaknya?” si anak kembali bertanya kepada Khalifah Umar.
Atas pertanyaan mengenai kewajiban orang tua kepada anaknya, Sahabat Umar mengatakan,
“Memilihkan ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang bagus, dan mengajarkannya Al-Qur’an”.
Sang anak lantas menjawab. “Wahai Amirul Mukminin. Sungguh Ayahku ini tidak melakukan tiga hal tersebut. Ibuku adalah seorang Negro dari keturunan Majusi. Ayahku menamaiku ‘Kumbang’. Dan tidak pernah Ia mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” ujar si anak menceritakan kondisinya.
Mendengar penjelasan sang anak, Sahabat Umar justru menegur keras orang tua si anak tersebut. Beliau memandang ke arah orang tua si anak dan memberinya nasihat,
“Engkau mengadu kepadaku perihal kenakalan anakmu, sementara kamu sendiri telah durhaka kepadanya sebelum dia durhaka kepadamu. Engkau telah memerlakukannya dengan buruk sebelum ia berlaku buruk kepadamu!” – Fawaidul Mukhtaroh Lisaliki Thariqotul Akhiroh, Habib Ali bin Hasan Baharun, cet. Ma'had Darul Lughah Wa Dakwah Bangil, hal 83-84
Belajar dari peristiwa di atas, selayaknya sebagai orang tua kita harus lebih berhati-hati dan mengevaluasi kembali apakah sudah benar penjagaan kita selama ini kepada anak-anak kita sebagaimana pesan dalam Al Qur'an,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” – QS. At-Tahrim: 6
Jangan sampai kita menjadi orang tua durhaka yang melanggengkan siklus kedurhakaan anak kepada orang tuanya kelak. Sebab, anak bisa durhaka manakala orang tua salah asih, salah sauh, dan salah asah. Salah saih yaitu salah dalam cara memberi kasih saying. Salah asuh yakni salah dalam cara pengasuhan. Dan salah asah ialah keliru dalam membersamai perkembangan anak dengan tidak mengasah mental mereka dengan benar, sehingga anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang cengeng dan rapuh, sehingga mudah terombang-ambing dalam tren buruk zaman. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama.
Wallahu a'lam bishawwab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!