Dua tahun lalu Taliban mengalahkan pendudukan Amerika Serikat atas Afghanistan. Maka, sejak dua tahun terakhir, Taliban memimpin Afghanistan keluar dari lingkupan perang selama dua puluh tahun. Dan selama dua tahun terakhir ini pula, Afghanistan menyedot perhatian dunia karena kondisi negara di bawah kepemimpinan dan kedaulatan yang baru itu.
Afghanistan memang belum terlepas dari sejumlah masalah di dalam negerinya. Ketidakpastian seputar tata kelola Imarah Islam Afghanistan (IEA) yang baru, kondisi ekonomi yang tidak stabil setelah dijatuhi sanksi internasional, dan masalah-masalah sosial yang ada, adalah beberapa masalah yang tengah mereka hadapi. Namun, di tengah himpitan masalah tersebut, saat ini Afghanistan mungkin mulai menemukan rasa nyaman, setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan.
Mengatasi Ketidakamanan Finansial
Ketika pendudukan Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan tahun 2021, negeri itu dilanda krisis ekonomi. Krisis itu hadir menyusul penarikan bantuan dari beberapa LSM, penghentian bantuan internasional, dan sanksi yang diberlakukan oleh komunitas internasional.
Negara bangsa semisal Amerika Serikat memutuskan untuk menjatuhkan hukuman secara kolektif kepada rakyat Afghanistan karena gesekan geopolitik dengan IEA. Contoh utama dari hal tersebut adalah membekukan cadangan mata uang asing negara tersebut senilai 9,5 miliar dollar.
Sanksi-sanksi itu diberikan, meskipun statistik menunjukkan bahwa 97 persen penduduk Afghanistan menghadapi banyak persoalan. Di antaranya, 97 persen penduduk Afghanistan itu berrisiko berada di bawah garis kemiskinan, menghadapi risiko mengalami kelaparan ekstrem, hingga mengalami kenaikan tingkat pengangguran di kalangan pencari nafkah.
Dikutip dari situs Aljazeera pada 9 September 2021, "United Nations Development Programme (UNDP) mengatakan bahwa tingkat kemiskinan dapat meningkat hingga 25 persen sebagai akibat dari kontraksi Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto / PDB) riil Afghanistan. Separuh negara sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan."
Namun, terlepas dari segala permasalahan yang mereka hadapi, statistik terbaru yang diterbitkan oleh The Economist mengungkapkan terjadi peningkatan ekonomi dan penegakan hukum secara menyeluruh di Afghanistan. Terdapat beberapa contoh kunci yang terjadi di Afghanistan untuk memperbaiki kondisi, seperti dikutip dari situs The Economist.
Pertama, meningkatnya tindakan pemberian sanksi keras terhadap penyelundupan dan pemantauan skema transfer uang yang ketat untuk menghindari tindakan korupsi, berkontribusi pada stabilisasi Afghanistan, yang hanya 7 persen lebih rendah terhadap dolar, daripada sehari sebelum berakhirnya pendudukan atas Amerika Serikat. Kedua, terdapatnya peningkatan signifikan dalam catatan ekspor dan pendapatan bea cukai, dikarenakan ketatnya pengawasan di perbatasan. Pendapatan untuk tahun yang berakhir Maret 2023 adalah sekitar 2,3 miliar dollar, naik 10 persen dari tahun lalu pada akhir Maret 2021.
Ketiga, sekarang pedagang kaki lima ditempatkan di area yang ditentukan. Keempat, pecandu narkoba diambil dari jalanan dan ditempatkan di pusat rehabilitasi. Kelima, proporsi suap dari bisnis kepada petugas bea cukai menurun drastis dari 62 persen menjadi 8 persen.
Keenam, IEA telah mengumpulkan pendapatan yang cukup untuk membayar 800.000 pegawai pemerintah. Ketujuh, biaya proyek pembangunan telah turun lebih dari 50 persen karena penghapusan biaya keamanan swasta.
Isu Sosio-Ekonomi yang Berlaku
Banyak media Barat telah gagal “mem-framing” perbaikan dalam perdamaian serta keamanan setelah pembebasan Afghanistan dari kondisi dua puluh tahun perang dan pendudukan Amerika Serikat. Inilah alasan mengapa penting bagi kita untuk mengakui perkembangan positif itu. Pengakuan penting diberikan untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang apa yang terjadi di lapangan.
Meskipun banyak perkembangan yang telah terjadi, negara ini bukannya tanpa kesulitan. Terlepas dari kemajuan ekonomi, ada kekurangan dana yang besar di Afghanistan dengan jutaan dana yang dipotong dari bantuan pangan. Memang, Program Pangan Dunia telah memperingatkan bahwa pada akhir bulan Juni distribusi makanan akan turun drastis menjadi nol.
Dikutip dari situs Aljazeera pada 20 April 2023, “Distribusi makanan kami akan turun dari 13 juta orang di bulan Maret menjadi 9 juta orang di bulan April, dan 5 juta orang di bulan Mei, turun lagi menjadi nol di bulan Juni dan seterusnya,” Philippe Kropf selaku Head of Communications di World Food Programme (WFP).
Selain itu, The Economist telah melaporkan statistik dari PBB yang memperkirakan bahwa sejak pembebasan negara itu, 700.000 orang telah kehilangan pekerjaan. Di antara mereka, keluarga kelas menengah yang bekerja di sektor-sektor yang paling bergantung pada dukungan asing termasuk kelompok yang paling terpukul.
Ada perihal lainnya. Muncul kekhawatiran yang meningkat atas peran perempuan dan anak perempuan untuk mengenyam pendidikan, menjadi hal yang lazim. Hal itu muncul setelah larangan sementara diberlakukan pada pendidikan perempuan, sampai dengan sekolah dapat dijalankan sesuai dengan prinsip agama dan budaya negara.
PBB memperkirakan bahwa 80 persen dari 2,5 juta perempuan dan anak perempuan usia sekolah di Afghanistan tidak mengenyam pendidikan. Tampaknya, langkah-langkah pemberlakuan larangan sementara pada pendidikan perempuan sampai sekolah dapat dijalankan sesuai dengan prinsip agama dan budaya negara tersebut, telah menurunkan moral bagi laki-laki warga negara Afghanistan yang ingin anak perempuannya mengenyam pendidikan, serta para perempuan yang terkena dampak langsung dari perubahan tersebut.
Ketidaksepakatan tentang pendidikan perempuan dan anak perempuan kini tersebar luas. Bahkan di antara anggota pemerintah IEA, yang telah menentang keputusan tersebut. Namun, di bawah struktur tata kelola IEA, keputusan akhirnya berada di tangan Amir, Hibatullah Akhundzada.
(Sumber: Islam21c.com)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!