Bumi sebenarnya hanya secuil kerikil di belantara planet penghuni jagat raya yang tepiannya entah di mana. Manusia, mungkin seperti debu yang menempel di kerikil itu. Debu yang nyaris tanpa arti, jika Allah tak memuliakannya.
Berdasarkan berbagai teori, pendekatan, bukti, dan dukungan perangkat ilmiah, para ahli telah mencoba menaksir umur jagat raya. Hitungan dimulai semenjak peristiwa ledakan besar (big bang) terbentuknya alam raya, hingga hari ini. Di dalam rentang waktu itu, para ahli menaksir umur jagat raya telah mencapai 13.797 miliar tahun. Akuratkah? Siapa yang mau membantah? Coba saja hitung sendiri!
Sebagai sebuah taksiran yang dihasilkan dari perhitungan, bukti, metode yang secara saintifik bisa dipertanggung jawabkan, taksiran tersebut sah-sah saja. Mari kita coba percayai taksiran itu, minimal sebagai sebuah patokan.
Lantas berapa umur bumi? Tentu bumi lebih muda dari jagat raya. Jangan tanya gimana ngitungnya, tetapi ilmuwan memprediksi umur bumi sekitar 4,54 miliar tahun.
Nah, di planet bumi yang diibaratkan hanya sebagai butiran kerikil di tengah hamparan kerikil yang amat luas itu, hiduplah anak cucu Adam alaihissalam. Makhluk Allah yang lemah, bak butiran debu yang menempel di kerikil, yang umurnya amat pendek jika harus dibandingkan dengan umur bumi.
Baca Juga : Musim Politik Tak Seindah Musim Kopi
Apalagi manusia zaman sekarang. Jarang ada yang mencapai usia 100 tahun. Bandingkan dengan umur bumi: 4,54 miliar tahun. Bandingkan lagi dengan umur alam semesta, tiga belas ribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh miliar tahun! Sungguh waktu yang amat pendek.
Namun di balik pendeknya umur anak cucu Adam, Allah anugerahkan syahwat yang besar. Saking besarnya syahwat itu, manusia kerap terhalangi untuk melihat fakta-fakta tentang kebesaran alam yang terbentang di depan matanya. Maklum, tertutup syahwat.
Lucunya lagi, dengan hiasan syahwatnya itu, manusia begitu pongah untuk menelan bumi dan segala sumber dayanya. Sudah pasti tidak tertelan! Mulutnya terlalu mungil untuk bisa langsung menelan gundukan batu bara, ikan di lautan, hutan di pegunungan, dan semua sumber daya alam lainnya.
Syahwatnya belum lagi kenyang, tetapi ajal telah datang menjemput. Apa daya umurnya pendek. Karenanya, manusia mewariskan hasrat dan syahwat itu, agar upaya menelan sumber daya alam dapat diteruskan oleh anak keturunannya.
Maka, muncullah dinasti-dinasti. Di daratan Tiongkok ada dinasti Zhou yang dinobatkan sebagai dinasti paling panjang dalam sejarah Tiongkok. Kekuasaannya membentang dari tahun 1046 SM – 256 SM. Eksis kurang lebih selama 8 abad. Di Tanah Arab ada dinasti Abasiyah yang berkuasa lebih dari 500 tahun.
Dinasti jatuh bangun, sumber-sumber alam belum lagi dapat mereka habiskan. Lama 8 abad atau 5 abad bukanlah rentang waktu yang panjang jika dibandingkan dengan umur alam raya. Toh, runtuh juga dinasti-dinasti besar itu. Apakah mereka telah kenyang menelan sumber daya alam?
Tetapi syahwat itu sungguh besar. Alih-alih mengambil ibroh dari runtuhnya dinasti-dinasti besar itu, dinasti baru selalu muncul di berbagai belahan dunia. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk menjadi yang lebih lama melanggengkan syahwat menguasai sumber-sumber alam dan kekuasaan.
Namun karena syahwat itu pula, kehidupan berjalan dinamis, maju, dan kompetitif. Sejarah bahkan ditulis dengan ragam syahwat manusia.
Syahwat adalah anugerah dan kekuatan yang luar biasa. Insting untuk condong pada kenikmatan dan kelezatan. Dengannya, manusia sekan membabi-buta dengan besarnya alam dan keterbatasan fisik yang dimiliki. Belum lagi bumi habis dikais, planet Mars dan bulan akan ditambang pula. Sebab, kita suka memburu kenikmatan dan kelezatan.
Jika kita telah mereguk anggur kenikmatan dunia, kita pun ingin anggur itu dinikmati pula oleh anak cucu. Tentu karena cinta, dan ingin memastikan anak cucu tak menderita di belakang hari. Bukankah itu hal mulia?
Dinasti dibangun atas nama cinta kepada keturunan, trah yang agung harus terus dipertahankan, sumber-sumber alam harus dalam penguasaan dinasti. Ini pun tak masalah, sejauh penguasaan itu menyejahterakan keluarga yang lain, masyarakat yang lain, dan semua manusia dalam bingkai keadilan. Tetapi bisakah?
Jika tidak bisa, maka ingatlah sesungguhnya dunia dan isinya hanyalah kenikmatan yang sebentar: “Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.’” (QS. An-Nisa’:77)
Lihatlah umur bumi. Lihatlah umur alam semesta. Lalu pikirkanlah arti alam keabadian. Sungguh terlalu, kenikmatan yang pendek harus engkau tukar dengan keabadian. Dinastimu hanyalah seperti lintasan cahaya dalam beberapa detik, di tengah panjang cahaya matahari sepanjang umur jagat raya.
Rasulullah Saw tiada hasrat untuk membangun dinasti. Ia adalah pribadi agung yang tahu persis bahwa dunia ini fana. Beliau ingin mewariskan kepada keturunan dan umatnya; Bangunlah dinasti dalam memburu keselamatan akhirat yang kekal dan abadi. Dunia sebentar, tundukkanlah syahwat dan kecintaan dunia pada kendali Akal yang sehat dan iman yang kuat. Gunakan sumber-sumber alam yang ada seperlunya saja. Jangan maruk!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!