Dinasti penguasa yang korup selalu meninggalkan jejak kelam dalam sejarah politik dan ekonomi suatu bangsa. Kekuasaan yang diwariskan dalam lingkup keluarga sering kali berujung pada eksploitasi rakyat melalui upeti dan pungutan yang mencekik.
Pakar sejarah politik, Charles Tilly, menjelaskan, negara-negara dengan sistem dinasti yang korup sering mengutamakan stabilitas kekuasaan keluarga daripada kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, Prancis klasik di bawah kekuasaan Louis XIV menunjukkan bagaimana pengumpulan pungutan yang berlebihan untuk membiayai gaya hidup mewah keluarga kerajaan yang memicu ketidakstabilan ekonomi dan revolusi besar pada 1789. Sistem itu menunjukkan bagaimana penguasa dinasti menggunakan mekanisme pungutan pajak bukan untuk membangun negara, tetapi untuk memerkaya keluarga dan kroni mereka.
Di Asia, Dinasti Qing di Tiongkok menjadi contoh nyata tentang bagaimana korupsi dalam lingkup dinasti dapat melumpuhkan sebuah negara. Selama masa akhir dinasti ini, pejabat-pejabat tinggi yang dipilih berdasarkan hubungan keluarga, bukan kompetensi, menguras sumber daya negara untuk keuntungan pribadi.
Sejarawan Jonathan Spence mencatat, ketidakmampuan pemerintahan Qing dalam mengelola negara akibat korupsi yang mengakar, menyebabkan keruntuhan ekonomi dan pemberontakan rakyat, semisal Pemberontakan Taiping. Hal ini menegaskan bahwa korupsi dinasti tidak hanya merusak institusi negara, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial yang tajam.
Pada era modern, dinasti penguasa korup tidak hanya terjadi di negara otoriter, tetapi juga di negara demokrasi. Filipina di bawah pengaruh keluarga Marcos adalah contoh nyata bagaimana demokrasi dapat menjadi alat bagi dinasti politik untuk melanggengkan kekuasaan. Selama masa Ferdinand Marcos, korupsi merajalela dengan penggelapan miliaran dolar melalui proyek-proyek pemerintah.
Saat ini, keluarga Marcos kembali ke panggung politik Filipina. Pengamat demokrasi Sheila Coronel menyebut fenomena itu sebagai “teladan buruk” bagi dinasti-dinasti baru yang ingin menguasai kekayaan negara melalui jalur demokrasi formal. Situasi ini memerlihatkan bahwa demokrasi tanpa transparansi dan akuntabilitas hanya menjadi alat untuk melegitimasi oligarki dinasti.
Apakah Indonesia tidak lepas dari fenomena ini? Di dalam beberapa waktu terakhir, politik dinasti di tingkat nasional dan daerah semakin menguat. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang seharusnya menjadi ajang demokrasi justru dimanfaatkan sebagai medium memerkuat kekuasaan politik.
Peneliti dari LIPI, Siti Zuhro, menegaskan bahwa praktik politik dinasti di Indonesia menciptakan lingkaran kekuasaan tertutup yang menghambat regenerasi politik dan memerparah korupsi di tingkat lokal. Contoh nyata adalah beberapa kepala daerah yang meneruskan kekuasaan kepada anggota keluarga mereka, yang sering kali terlibat dalam kasus penyalahgunaan anggaran daerah.
Implikasi dari politik dinasti di Indonesia tidak hanya terbatas pada lemahnya kualitas pemerintahan, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat yang terabaikan. Ketika sumber daya daerah dikuasai oleh segelintir keluarga, prioritas pembangunan cenderung berpihak kepada kepentingan dinasti daripada masyarakat luas. Hal ini berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menekankan pada pemerataan kesejahteraan.
Studi Edward Aspinall dan Ward Berenschot menunjukkan bahwa politik patronase dalam pilkada sering kali memerkuat struktur oligarki lokal, di mana penguasa memanfaatkan dana publik untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Di dalam perspektif demokrasi, dinasti politik merupakan ancaman serius bagi keadilan sosial dan transparansi pemerintahan.
Ketika kekuasaan dipusatkan pada keluarga, partisipasi politik rakyat menjadi terbatas, dan institusi negara berpotensi digunakan untuk memerkaya kelompok tertentu. Hal ini memberikan teladan buruk bagi generasi politik berikutnya yang melihat dinasti sebagai cara cepat untuk memeroleh kekayaan dan kekuasaan.
Perspektif pakar seperti Jeffrey Winters mengungkapkan bahwa tanpa reformasi struktural yang serius, demokrasi dapat berubah menjadi kedok oligarki dinasti yang semakin mengakar. Oleh karena itu, baik dalam konteks sejarah maupun modern, dinasti penguasa yang korup tidak hanya merusak institusi negara tetapi juga menyusahkan rakyat.
Fenomena ini menuntut pengawasan dan reformasi sistemik agar demokrasi tidak menjadi alat bagi segelintir elite untuk memerkuat kekuasaan mereka. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, diperlukan penguatan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan meritokrasi dalam sistem politik, sehingga kepemimpinan yang lahir adalah hasil dari kualitas, bukan hubungan darah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!