Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang: Lembaga Khusus Tangani Korupsi Dijadikan Alat Politik

Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang: Lembaga Khusus Tangani Korupsi Dijadikan Alat Politik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang, Aista Wisnu Putra, SH. MH. / Foto Istimewa

Menurut Aista Wisnu Putra, berdasarkan data dari lembaga Tansparansi Internasional, Corruption Perception Index (indeks persepsi korupsi) di Indonesia selama tahun 2022 cenderung melemah. Antara lain karena terjadi banyak kasus korupsi. Apalagi menjelang gelaran hajatan nasional, Pemilu 2024. Sebab, setiap kontestan Pemilu memang membutuhkan modal banyak.

“Kalau kita lihat data dari Transparansi Internasional dalam satu tahun terakhir, mereka mengeluarkan data namanya Corruption Perceptions Index, nilai indeks persepsi korupsi di Indonesia sejak awal 2022 sampai akhir 2022 itu melemah! (Hal itu) Terjadi karena banyak kasus. Kemudian, mendekati pemilu ini, memang, banyak sekali indikasi-indikasi korupsi yang dilakukan untuk persiapan menghadapi pemilu. Karena membutuhkan modal banyak. Kita harus prihatin karena Indonesia ini terburuk secara keseluruhan. Dari atas sampai ke bawahnya ini kalau nggak pakai uang pelicin itu ditangani tidak serius,” kata Pengamat Hukum Universitas Semarang itu.

Founder komunitas bernama Anti-Corruption Youth Community (ACYC) Jawa Tengah itu menyoroti soal politik bermodal besar. Menurut dia, hal itu harus dibenahi agar tidak ada tuntutan mengembalikan modal besar tadi.

“Menurut saya, faktor yang paling besar adalah politik dan hukum ini memang perlu dibenahi. Secara jelas, politik yang bermodalkan besar harus ditarik lagi ke modal kecil, sehingga mereka tidak punya tuntutan untuk balik modal. Kemudian, jangan sampai budaya-budaya hedonisme di kalangan penegak hukum dipertahankan, sehingga mereka korupsi bukan karena kebutuhan tetapi karena keserakahan,” tegasnya.

Baca Juga : Novel Baswedan: “Keteladanan yang Buruk Menimbulkan Kinerja yang Buruk”

Aista Wisnu Putra pun menyebut, saat ini boleh dikatakan tantangan terbesar bangsa Indonesia adalah korupsi. Hal ini menuntut strategi khusus dalam penanganannya. Dan kata dia, setidaknya kita perlu tiga strategi dalam menyikapi korupsi.

“Kalau melihat fenomena sekarang, kita perlu melakukan tiga strategi. Strategi pertama adalah pencegahan. Strategi pencegahan ini adalah untuk melakukan penanaman nilai-nilai kepada orang-orang secara personal agar mereka tidak ingin korupsi dan tidak mau melakukan korupsi. Wujudnya antara lain lewat pendidikan. Ajarkan nilai-nilai integritas kebangsaan, nilai agama, nilai pendidikan karakter, sehingga orang tidak mau korupsi. Khususnya nilai-nilai integritas, mulai dari jujur, berani, adil, sampai kesederhanaan,” ujarnya.

Strategi kedua, kata dia, adalah pembenahan sistem. Baik sistem hukum, penegakan hukum, sampai sistem laporan transaksi keuangan. Kita benahi sistemnya agar tidak memungkinkan orang melakukan korupsi. Sebab, orang tidak bisa melihat ada celah korupsi yang bisa mereka terobos.

“Persoalan pertama asalnya dari revisi UU KPK. Itu sistem. Kemarin orang-orang yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan kan sebenarnya orang-orang terbaik di KPK. Ada lagi persoalan di kepimimpinan sekarang. Yang ditangkap adalah sosok kepemimpinan yang seharusnya menjadi motivasi, inspirasi. Besok-besok Presiden dan DPR harus bentuk Pansel yang tidak hanya titipan. Kalau kita mau maju, hal-hal seperti itu harus dihapuskan,” katanya.

Yang Ketiga adalah strategi penanganan atau strategi represif berupa penindakan. Sebab, orang yang masih korupsi akan susah dicegah. Meskipun pakai sistem anti korupsi.

“Maka, perlu ada penindakan hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku, hingga membuat dia jera untuk tidak melakukan korupsi lagi. Saat ini, hukuman di Indonesia memang saya rasa belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi,” katanya. 

Di antara tiga strategi itu, ia menyoroti soal pendidikan sebagai solusi utama. Baik pendidikan formal maupun non formal. Menurut dia kita butuh pendidikan di dalam sekolah, misalnya untuk pelajar ada mata pelajaran yang menanamkan nilai-nilai kejujuran dan anti korupsi sebagai bagian dari pembentukan karakter dan nilai integritas pribadi. 

“Kalau menurut saya, penerapan pendidikan anti korupsi itu, yaitu pendidikan integritas bisa dimulai sejak dini. Kita ajarkan nilai-nilai kejujuran dari TK, PAUD, SD,  SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi, bahkan sampai pendidikan-pendidikan untuk calon pegawai – baik swasta maupun pegawai negeri – serta pendididkan khusus lanjutan untuk Anggota DPR. Dan jajaran pemerintahan juga ditanamkan nilai-nilai anti korupsi. Itu makanya penting di setiap jenjang pendidikan kita tanamkan pendidikan anti korupsi pada saat pembelajaran,” ucapnya.

Baca Juga : Bambang Widjojanto: Pemberantasan Korupsi Mati di Kandangnya Sendiri

Mengapa pendidikan tentang anti korupsi perlu ditanamkan sejak dini? Menurut dia, karena jika melihat faktor penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di Indonesia masih membuat miris.

“Sebabnya satu, lembaga khusus yang menangani korupsi malah dijadikan sebagai alat politik. Dan pimpinan KPK yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat ternyata sebenarnya orang-orang yang bermasalah. Ini kan merusak KPK dari dalam. Penting agar KPK dipimpin oleh orang-orang yang berintegritas, tidak hanya pesanan, sehingga penegakan korupsi nantinya tidak tebang pilih,” tegasnya. 

Terakhir, menurut dia, hukuman yang paling pas untuk para koruptor adalah dimiskinkan. “Dia (koruptor) dimiskinkan. Dendanya perlu diperbesar. Maksudnya orang korupsi karena pingin kaya, kan? Takut miskin, kan? Nah kita balik lagi, dengan dendanya diperbesar,” katanya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.