Memang, kasus korupsi timah yang disinyalir melibatkan uang ratusan triliun rupiah kalah populer dan kalah pamor jika dibandingkan dengan kasus pembunuhan Vina Cirebon. Tiga minggu terakhir, media massa berlomba-lomba mewartakan kasus yang telah terjadi delapan tahun lalu. Sehingga, secara sistematis kabar kasus Vina menenggelamkan berita korupsi timah.
Padahal dari sisi bobot berita dan aktor yang mungkin terkait, sesungguhnya kasus korupsi timah bukanlah kasus kaleng-kaleng. Betapa tidak, kasus yang di antaranya telah menyeret Harvey Moeis ini ditaksir memiliki potensi kerugian negara hingga 271 triliun Rupiah! Apa arti angka 271 triliun Rupiah ini bagi bangsa Indonesia?
Sekadar untuk melihat betapa besarnya angka tersebut, ada baiknya kita bandingkan dengan APBD 2024 sejumlah Provinsi di Pulau Jawa. DK Jakarta sebesar Rp 81,71 triliun, Provinsi Jawa Barat Rp 36,79 triliun, Provinsi Jawa Timur Rp 33,3 triliun, Provinsi Jawa Tengah Rp 28,5 triliun, Provinsi Banten Rp 11,73 triliun, dan Provinsi DI Yogyakarta kurang lebih Rp 12,8 triliun.
Jika diakumulasikan, APBD enam provinsi tersebut totalnya kurang lebih menjadi 204,7 triliun Rupiah. Masih kalah jauh jika dibandingkan dengan 271 triliun Rupiah uang negara yang dicaplok koruptor di kasus timah. Fantastis, kan?
Bayangkan, berapa kilometer jalan yang bisa diperbaiki di sepanjang Pulau Jawa dengan dana itu. Berapa orang yang akan bisa menikmati dana tersebut jika dikonversi dengan APBD provinsi di seluruh pulau Jawa? Kita tahu, lebih dari 56% jumlah penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa. Itu artinya, akan ada lebih dari 151 juta jiwa yang mestinya bisa menikmati kekayaan tambang nasional yang justru jadi bancakan segelintir koruptor!
Bahkan jika harus dibandingkan dengan total penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 279 juta jiwa, dana korupsi tersebut bisa dibagi untuk seluruh rakyat Indonesia, dengan masing masing penduduk mendapatkan kurang lebih 1 juta Rupiah. Banyak, kan?
Baca juga: Wajar Tanpa Pengecualian yang Beraroma Ketidakwajaran
Sebagai kasus korupsi, kasus timah adalah korupsi yang paling besar. Dahulu, kasus BLBI disebut sebagai mega skandal dan mega korupsi, padahal jumlah kerugian negara jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kasus korupsi timah. Negara dirugikan 138,4 triliun Rupiah pada kasus BLBI, tetapi nilainya hanya separuh dari kasus korupsi tata niaga timah. Kasus korupsi timah pun disebut banyak pihak sebagai pemecah rekor dalam besaran kerugian negara yang diakibatkannya.
Mengingat begitu besarnya jumlah kerugian negara dan dampaknya yang secara tidak langsung mengenai seluruh rakyat Indonesia, mestinya kasus korupsi timah lebih menjadi atensi publik daripada kasus Vina Cirebon. Tetapi, mengapa justru netizen lebih masif mendorong kasus Vina Cirebon untuk dituntaskan oleh pemerintah dan aparat hukum daripada kasus korupsi timah?
Tentu ada banyak sebab. Mengapa kasus korupsi yang luar biasa ini ditanggapi adem-adem saja oleh khalayak. Di antaranya menurut kami adalah:
Pertama, kasus korupsi tak pernah berhenti memecahkan rekor. Hal itu membuat publik frustrasi dan nyaris kehilangan kepercayaan terhadap penanganan korupsi di Indonesia. Rekor baru yang selalu ada dalam kasus korupsi justru membuat masyarakat “bosan” dengan kasus korupsi.
Awalnya mereka gembira ketika ada kasus besar yang bisa dibongkar, tetapi kasus korupsi besar dengan aktor pejabat publik tak pernah benar-benar berhenti. Selalu ada yang baru. Apalagi saat kasus korupsi, suap, dan pemerasan justru mulai melanda KPK, lembaga anti korupsi yang pernah amat dibanggakan masyarakat. Bosan adalah bentuk tidak percayaan publik atas komitmen penegak hukum dalam kasus pencegahan tindak pidana korupsi.
Kedua, publik menilai hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Tidak memuaskan rasa keadilan. Hukum untuk pencopet dan bandit kecil bahkan kerap lebih keras dari koruptor yang menilep uang rakyat banyak. Lagi-lagi publik dibuat frustrasi dan tidak percaya dengan sistem hukum yang ada. Korupsi dengan jumlah yang besar selalu melibatkan orang besar dengan akses yang kuat pada kekuasaan dan power uang, sehingga hukuman untuk koruptor kelas kakap diduga publik selalu bisa dinegosiasikan!
Akumulasi dari Berbagai Ketidak Puasan Hukum
Sementara itu, kasus Vina Cirebon memang tidak melibatkan uang dan kerugian yang besar. Namun, ada kerugian dari sisi kemanusiaan dan keadilan yang menyentuh kesadaran masyarakat luas. Pembunuhan dan pemerkosaan keji yang tak tuntas diungkap hingga delapan tahun lamanya adalah persoalan yang amat mengganggu rasa keadilan publik. Apalagi, kasus ini melibatkan orang-orang kecil, semacam keluarga Vina dan para pelaku, yang belakangan diduga berhadapan dengan permainan oknum aparatur yang coba merekayasa kasus.
Baca juga: Warisan Peradaban Dunia Ikut Hancur oleh Kebengisan Penjajah Israel
Masyarakat juga sering menengarai betapa kehebatan polisi kita kerap hilang, jika kasus yang ditangani melibatkan orang besar atau oknum pejabat polisi. Kebetulan, ayah salah satu korban adalah anggota kepolisian aktif di Polres Cirebon pada saat kasus ini terjadi, yang dianggap oleh netizen sebagai “mencurigakan”.
Kasus Vina menjadi semakin menarik perhatian publik, bahkan mengundang keberpihakan masyarakat luas, bisa jadi karena akumulasi berbagai ketidak percayaan atas praktik penegakan hukum dan kinerja polisi. Kasus ini bukan yang pertama. Ada kasus kopi sianida, kasus Sambo-Joshua, bahkan pada beberapa puluh tahun yang lalu ada kasus Sengkon-Karta yang telah menjadi amat legendaris dalam kasus penegakan hukum di Indonesia.
Mengapa publik – dalam hal ini netizen Indonesia – begitu ngotot menyuarakan versi mereka sendiri? Bahkan disertai gugatan dan kecaman atas kinerja kepolisian. Semua itu bermuara pada akumulasi ketidak percayaan. Publik bahkan begitu bersemangat untuk memojokkan kinerja polisi, mengulik jejak digital, membangun kronologi, bahkan tak segan melakukan penyelidikan dan reportase semampu mereka.
Anehnya, upaya-upaya yang bersifat partikelir ini justru lebih dipercaya publik ketimbang press conference yang dilakukan pihak kepolisian. Sekali lagi, ini membuktikan adanya krisis kepercayaan pada institusi penegak hukum.
Blow up yang Disengaja?
Kelompok masyarakat dari status pendidikan yang lebih tinggi bahkan mulai berani menyuarakan bahwa kasus Vina memang di-blow-up untuk menutupi kasus timah walau pun tadinya tanpa direncanakan. Kasus korupsi tataniaga timah memang sedang memasuki fase-fase kritis. Semenjak oknum perwira berinisial “B” dimunculkan sebagai salah satu pihak yang turut menentukan kebusukan ini terungkap, sejumlah keanehan memang mendadak muncul mengiringinya.
Baca juga: Tumbal Pencalonan Gibran: Akankah Sebanding?
Pertama, tentu saja dugaan liar siapa jendral berinisial B tersebut. Bahkan ada yang munduga bahwa ini semua masih merupakan ekses dari perseteruan politik pasca Pilpres 2024.
Kedua, ada drone yang melintas-lintas di atas gedung Kejaksaan Agung. Polisi Militer yang saling berhadapan dengan Brimob di depan Kejaksaan Agung.
Ketiga, hal kedua itu terkait erat dengan kasus upaya penguntitan oleh anggota Densus 88 terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, yang memang tengah menggarap kasus korupsi timah. Nah, apakah memang ada oknum petinggi dari institusi penegak hukum yang terendus jejaknya dalam skandal tataniaga timah?
Silakan saja netizen mengulik data. Tetapi harus diingat, Anda tak memiliki otoritas penanganan. Bantulah polisi cari data yang benar, biarkan mereka bekerja secara profesional. Kawal kasus Vina Cirebon hingga keadilan muncul. Jangan lupakan korupsi fantastis tata-niaga timah.
Bravo netizen Indonesia! Anda memiliki jutaan telinga, jutaan pasang mata, serta jutaan jari tangan yang siap mengulik data di lipatan waktu dan jejak digital demi fakta dan keadilan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!