Pada Ahad, 1 Juni 2025, kapal flotilla perdamaian Madleen bertolak dari Pelabuhan Catania, Italia. Keberangkatan kapal itu diprakarsai oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), sebuah koalisi internasional yang aktif melawan blokade Gaza. Kapal Madleen membawa 12 aktivis internasional dari berbagai negara semisal Swedia, Prancis, Jerman, Brasil, Turki, Spanyol dan Belanda.
Kapal Madleen membawa beragam bantuan kemanusiaan — barang-barang yang sangat dibutuhkan di tengah krisis Gaza — di antaranya susu formula bayi, 100 kilogram tepung, 250 kilogram beras, popok bayi, pembalut wanita, alat desalinasi air, suplai medis, kruk, hingga kaki palsu untuk anak-anak korban agresi militer.
Anggota Parlemen Eropa asal Prancis, Rima Hassan, yang berada di atas kapal Madleen, menegaskan bahwa segala upaya untuk menargetkan atau mencegat kapal tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Ia meminta agar kapal tersebut diizinkan mencapai Gaza dan keselamatannya dijamin selama misi kemanusiaannya. Ia juga menekankan bahwa tujuan utama misi ini adalah menarik perhatian publik internasional, untuk bersama-sama mengakhiri pengepungan terhadap Gaza.
Namun, pada 9 Juni 2025 dini hari, sekitar pukul 03.00 waktu setempat, kapal tersebut disergap dan dibajak oleh pasukan penjajah Israel di perairan internasional, sekitar 185 hingga 200 kilometer dari pesisir Gaza. Madleen kemudian dipaksa berlabuh di Pelabuhan Ashdod, dan seluruh relawan yang ada di atas kapal pun ditahan.
Bukan Tentara, Bukan Musuh Negara
Dua belas orang itu bukan tentara. Mereka bukan kelompok bersenjata, bukan pula pahlawan super dari film laga. Mereka hanyalah para relawan kemanusiaan yang membawa secercah harapan dalam bentuk barang-barang sederhana berupa susu formula, beras, popok, pembalut, alat penyuling air, obat-obatan, dan kaki palsu.
Tak ada senjata. Tak ada ancaman keamanan. Bahkan, tidak satu pun dari barang yang mereka bawa dapat dikategorikan sebagai benda berbahaya.

Lalu, apa yang sebenarnya ditakuti oleh penjajah Israel?
Israel tahu bahwa dua belas orang itu tidak akan dapat menggulingkan negara dengan tangan kosong. Tetapi justru di sanalah letak ketakutannya — bukan pada kekuatan fisik, melainkan pada kekuatan narasi. Narasi yang lahir dari kebenaran.
Ketika bantuan kemanusiaan diserang dan para relawan ditahan, dunia mulai bertanya: Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertanyaan itu mulai muncul.
Penjajah Israel tidak takut pada susu formula atau kaki palsu. Mereka takut pada cerita di baliknya — tentang anak-anak yang kehilangan kaki karena bom, tentang bayi yang kelaparan akibat blokade, tentang hidup yang direduksi menjadi penderitaan karena penjajahan.
Efek Domino: Ketika Dunia Menyadari
Penahanan Madleen bukan sekadar tindakan represif terhadap sebuah kapal kecil. Ini adalah bentuk ketakutan terhadap opini dunia. Sebab, saat kebenaran menyebar, narasi palsu penjajah tak lagi mampu bertahan. Saat dunia tahu, dunia bisa mulai peduli. Dan ketika kepedulian tumbuh, tekanan internasional menjadi nyata.
Inilah efek domino yang paling ditakuti oleh penjajah. Bahwa dari satu kapal kecil, bisa muncul gelombang kesadaran global yang tak terbendung. Dan dari gelombang itu, akan lahir arus perubahan.
Bayangkan, jika setiap negara di dunia mengirimkan kapal bantuan kemanusiaan. Penjajah tidak akan mampu menghentikan semuanya. Gelombang itu akan terus membesar — dan pada akhirnya, kemenangan akan berpihak pada kemanusiaan.
Narasi yang Tak Bisa Dipenjara
Madleen mungkin telah dibajak. Para relawannya mungkin ditahan. Tetapi narasi mereka tak bisa dipenjara. Justru sebaliknya — setiap tindakan represif terhadap mereka memerbesar gema suara kebenaran.
Dan di sanalah letak ketakutan terbesar penjajah. Yaitu, kebenaran yang terus mengalir, menembus batas, dan akhirnya menyentuh hati nurani dunia. Itulah ketakutan terbesar penjajah.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!