Dewasa ini, wajah partai politik di Indonesia telah berubah menjadi layaknya korporasi. Ketua umum partai politik bertindak bak seorang CEO (Chief Executive Officer) yang mengendalikan segala aspek partai.
Di dalam lanskap politik nasional, ketua umum partai memainkan peran sentral dalam penentuan kebijakan, arah partai, hingga keputusan-keputusan penting semisal pencalonan anggota legislatif, pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR/DPRD, dan penentuan arah koalisi dalam pilkada maupun pemilu nasional. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah partai politik masih menjalankan fungsi konstitusionalnya dalam memperkuat demokrasi? Ataukah partai politik justru telah menyimpang menjadi instrumen kekuasaan bagi segelintir elite?
Dari perspektif konstitusi, undang-undang, dan demokrasi, partai politik seharusnya berfungsi sebagai wadah bagi aspirasi rakyat, menjadi saluran utama bagi suara-suara dari berbagai lapisan masyarakat, untuk diartikulasikan dan diperjuangkan dalam kebijakan publik. Konstitusi Indonesia menegaskan pentingnya partai politik untuk memperkokoh demokrasi melalui keterlibatan publik dalam proses politik.
Namun, ketika partai politik dikelola seperti korporasi, dengan ketua umum sebagai CEO yang memiliki kekuasaan absolut, maka esensi demokrasi yang seharusnya hidup dalam tubuh partai justru tergantikan oleh sistem manajemen korporasi yang eksklusif dan hierarkis. Sebaliknya, di dalam perspektif bisnis, sebuah korporasi diatur oleh prinsip-prinsip efisiensi, keuntungan, dan kendali manajemen yang ketat.
Seorang CEO dalam korporasi memiliki otoritas penuh untuk menentukan arah perusahaan, termasuk dalam hal investasi, kebijakan, dan strategi jangka panjang. Prinsip ini mungkin efektif dalam dunia bisnis, namun ketika diterapkan dalam pengelolaan partai politik, ia cenderung mengaburkan peran partai sebagai representasi kolektif dari kepentingan publik. Menurut pengamat politik, Jeffrey A. Winters, dalam bukunya Oligarchy (2011), kendali oligarki sering kali melumpuhkan mekanisme demokrasi internal dalam partai politik, di mana keputusan-keputusan besar diambil oleh segelintir elite yang memiliki kekuasaan dan sumber daya, mengabaikan suara konstituen partai.
Fenomena pengelolaan partai politik yang bak korporasi dengan CEO yang memegang kendali tunggal ini dapat dilihat secara empirik dalam berbagai proses politik di Indonesia. Misalnya, dalam penentuan calon legislatif, sering kali ketua umum atau elite partai lainnya yang memutuskan siapa yang layak maju. Bukan berdasarkan hasil musyawarah atau mekanisme demokratis di dalam partai.
Begitu pula dalam keputusan PAW Anggota DPR/DPRD. Ketua umum partai memiliki peran krusial dalam menentukan siapa yang akan menggantikan posisi tersebut. Keputusan tersebut sering kali berdasarkan pertimbangan kepentingan elite partai ketimbang suara dan aspirasi konstituen. Hal ini juga tercermin dalam penentuan arah kebijakan fraksi di parlemen, di mana instruksi ketua umum menjadi penentu final. Selain itu, dalam pilkada dan pemilu, penentuan dukungan partai dan pembentukan koalisi sering kali didasarkan pada kalkulasi kekuasaan yang berpusat pada kepentingan elite partai.
Pilkada Jakarta 2024 menjadi contoh konkret, di mana aspirasi rakyat yang mendukung Anies Baswedan sebagai calon gubernur terganjal oleh keputusan ketua umum partai politik dan aktor-aktor oligarki kekuasaan. Mereka menghalangi Anies untuk ikut serta dalam kontestasi politik itu. Fenomena ini sering disebut sebagai “pembegalan politik”, di mana kepentingan elite lebih diutamakan daripada suara rakyat.
Pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi, dalam analisisnya sering kali menggarisbawahi bahwa pembegalan politik semacam ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, terutama ketika keputusan-keputusan penting lebih ditentukan oleh persekongkolan elite ketimbang mekanisme demokrasi yang seharusnya dijalankan oleh partai politik. Untuk mengembalikan fungsi partai politik sesuai dengan tujuan demokrasi demi kepentingan rakyat, reformasi tata kelola partai politik mutlak diperlukan.
Undang-Undang harus direvisi untuk menegakkan pengawasan ketat terhadap pengelolaan partai, memastikan adanya mekanisme check and balances antara ketua umum sebagai CEO dengan pengurus partai dan konstituen. Partisipasi aktif dari anggota partai dan masyarakat harus ditingkatkan, agar suara-suara dari akar rumput dapat didengar dan diperjuangkan dalam proses politik.
Implikasi negatif dari partai politik yang dikelola ala korporasi bagi demokrasi sangat nyata. Ketika ketua umum atau elite partai tersandung kasus hukum, seluruh gerbong partai turut terancam. Hal ini bukan hanya melemahkan posisi partai dalam kontestasi politik, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap partai tersebut sebagai institusi demokrasi.
Oleh karena itu, reformasi mendalam dalam pengelolaan partai politik di Indonesia sangat mendesak, untuk mengembalikan partai kepada fungsi aslinya sebagai pilar demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan sekadar kendaraan kekuasaan segelintir elite.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!