Setiap tahun, Hari Anak Nasional diperingati dengan slogan-slogan yang manis. Tema peringatan hari anak tahun 2025 ini bahkan lebih mentereng lagi: "Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia EMAS 2045".
Namun, di balik tema hari anak yang menebar optimisme itu, terselip perasaan getir. Masih hangat dalam perbincangan publik tentang sosok Ahmad Zuhdi, guru sederhana yang tak lagi muda dari Madrasah Diniyah Karanganyar, Demak, yang sekan menjadi korban dari ketidakjelasan persepsi arah perlindungan anak di negeri ini.
Zuhdi, yang telah mengabdi lebih dari tiga dekade mendidik anak-anak kampung, harus menanggung beban berat setelah memukul seorang siswa yang melempar sandal ke arahnya saat sedang mengajar. Aksinya spontan, emosional, dan sedikit di luar kendali, tetap tidak bisa dibenarkan. Tetapi, apakah penyelesaiannya harus lewat jalur pidana? Apakah keadilan bagi anak selalu berarti penghukuman terhadap guru?
Kasus ini membuktikan bahwa konsep perlindungan anak di Indonesia belum memiliki pijakan yang bijaksana dan adil. Perlindungan anak sering kali dipahami secara sempit: sebatas larangan kekerasan fisik. Padahal, pendidikan itu sendiri adalah relasi kemanusiaan yang kompleks, penuh interaksi emosional, spiritual, dan nilai-nilai. Ketika sistem lebih cepat menghukum daripada membimbing, maka dunia pendidikan sedang berjalan menuju kehancuran.

Kriminalisasi terhadap guru seperti yang terjadi pada Guru Zuhdi (tampaknya kerap pula terjadi di daerah lain) sesungguhnya mengirimkan sinyal bahaya. Guru bukan malaikat yang tak pernah salah. Tetapi ia juga bukan penjahat yang pantas diadili hanya karena satu kesalahan di tengah pengabdian puluhan tahun. Lebih-lebih, ketika kasus ini awalnya sudah diselesaikan melalui mediasi, permintaan maaf, bahkan pemberian kompensasi, lalu muncul LSM, polisi, dan tekanan sosial — yang memerkeruh niat damai menjadi tekanan moral dan finansial. Zuhdi bahkan harus menjual motor dan meminjam uang demi menyelesaikan kasus yang sejatinya bisa berakhir di ruang maaf.
Ironisnya, ketika orang tua siswa kemudian menyadari dan hendak mengembalikan uang damai Rp 12,5 juta itu, Guru Zuhdi menolaknya dengan lapang dada. “Saya sudah memaafkan sejak lama,” katanya.
Inilah bentuk tertinggi dari moral seorang guru — memaafkan bahkan sebelum diminta. Sementara sistem di sekelilingnya gagal menunjukkan keadilan serupa.
Pertanyaannya kini, kepada siapa anak-anak kita akan menyerahkan masa depannya, jika para guru diperlakukan seperti ini? Di tengah kekaburan orang tua tentang konsep perlindungan anak.
Siapa lagi yang berani mendidik dengan sepenuh hati, jika satu kesalahan kecil saja bisa berujung kriminalisasi dan stigma publik? Masyarakat dan negara mungkin tak sadar bagaimana pepatnya hidup seorang guru sekolah swasta di kampung yang hanya menerima Rp 450.000 per bulan tetapi diperlakukan seperti pesakitan saat ia melakukan kesalahan.

Hari Anak Nasional semestinya tidak hanya soal melindungi fisik anak. Tetapi juga soal siapa yang melindungi mentalitas mereka dari sikap malas, tidak disiplin, masa bodoh akibat dari dimanjakan secara berlebihan. Penerapan perlindungan anak dalam dunia pendidikan di sekolah tidak bisa hanya dengan undang-undang. Ia harus berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap profesi guru dan pendekatan penyelesaian yang arif.
Sudah saatnya negara, masyarakat, dan kita semua, berhenti memandang guru sebagai pihak yang selalu harus tunduk, diam, dan minta maaf. Kita perlu membangun keseimbangan baru, di mana anak-anak dilindungi dari kekerasan, namun guru juga dilindungi dari kriminalisasi yang tidak manusiawi.
Jika guru yang mengabdi dihancurkan martabatnya, maka pendidikan anak-anak kita akan kehilangan arah — dan Hari Anak Nasional tinggal menjadi peringatan kosong tanpa makna.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!