Hardiknas, Idulfitri dan Takwa

Hardiknas, Idulfitri dan Takwa
Photo by Bayu Syaits / Unsplash

Tanggal 2 Mei. Hari Pendidikan Nasional kita peringati masih dalam suasana Syawal dan halal bihalal. Jadi, setidaknya ada 3 tema yang berimpit. Tema pertama, tentu saja tentang pendidikan itu sendiri. Kedua, Idulfitri atau kembali ke fitrah sebagai resultan dari proses puasa di bulan Ramadhan. Tema ketiga, menyangkut isu takwa. Takwa adalah agenda utama puasa Ramadhan, sekaligus agenda penting, capaian pendidikan nasional.

Secara harfiah, Idulfitri memiliki makna kembali kepada fitrah, kembali ke asal, kembali kepada kesucian dan nilai-nilai ilahiah, sebagaimana dahulu kita dilahirkan ke dunia ini. Ramadhan adalah kawah candradimuka yang menggembleng lahir dan batin manusia, sehingga kerak-kerak dosa yang berasal dari perilaku yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan keilahian rontok melalui laku pengendalian diri yang ekstra ketat dan ampunan dari Allah Azza wa Jalla.

Di dalam literatur Islam, Bulan Suci Ramadhan kerap disebut sebagai syahrul tarbiyah atau bulan pendidikan. Melalui ibadah puasa, manusia dididik untuk mengendalikan diri, mengontrol dorongan syahwat, menyeimbangkan antara kebutuhan lahir dan kebutuhan batin, serta meningkatkan kepekaan dan solidaritas sosial.

Ujung dari proses pendidikan ala Ramadhan adalah tumbuhnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualifikasi takwa. Muslim yang menjalankan ibadah puasa dengan benar, maka dalam kepribadiannya akan secara otomatis installed nilai-nilai ketakwaan.

Kualitas takwa yang semakna dengan itu terdapat dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Selain dalam UU Sisdiknas, konsep takwa yang bersanding dengan konsep pendidikan juga muncul dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3, yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Ketakwaan dengan demikian menjadi titik singgung penting antara tujuan tarbiyah Ramadhan dan tujuan pendidikan nasional. Peristiwa Idulfitri yang beririsan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional adalah momen penting untuk memaknai kembali hakikat takwa sebagai output pendidikan yang harus lekat dalam karakter-kepribadian manusia Indonesia. Termaktub dalam UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas, kata takwa yang menjadi agenda penting dari sistem pendidikan nasional tentulah bukan diksi yang dipaksakan untuk sekadar menjadi pemanis dan terjebak dalam makna normatif yang serba subyektif.

Takwa adalah nilai yang menjadi turunan langsung dari sila pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini merupakan nilai dasar yang menjadi ciri penting manusia Indonesia, sekaligus sebuah idealitas yang harus dicapai. Pendidikan dalam maknanya yang luas adalah instrumen untuk mencapai idealitas tersebut.

Sehingga, pemaknaan dan upaya pencapaian derajat takwa dalam konteks tersebut harus dapat dipahami secara kolektif dan sistemik. Sayangnya, meski doktrin perundang-undangan cukup kerap memunculkan kata takwa, hingga hari ini proses menjadi takwa justru lebih sering terkesan subyektif-individual. Negara terkesan menyerahkan urusan kualitas ketakwaan sebagai urusan pribadi dengan agama masing-masing.

Takwa adalah terminologi yang diambil dari khazanah ajaran Islam. Karenanya, pemaknaan yang otentik terkait takwa harus merujuk pada terminologi Islam. Pemaknaan konsep takwa sebagaimana dipahami oleh rakyat Indonesia, yaitu menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya, adalah formulasi makna takwa sesuai ajaran Islam. Masalahnya, pemaknaan tersebut kerap tidak dibarengi dengan pendalaman. Sekadar ucapan formal yang putus dari makna substantifnya.

Seharusnya ungkapan tersebut berujung pada kesadaran yang paling tinggi bahwa Allah hadir dalam setiap dimensi kehidupan kita. Sehingga muncul rasa takut untuk berbuat dosa, dan meninggalkan larangannya. Pada saat yang sama, tumbuh sebuah etos untuk melakukan semua kebaikan yang Allah anjurkan dengan kualitas terbaik, sehingga ia menjadi pribadi yang baik (ihsan). Ia menjelma sebagai pribadi yang bermanfaat bagi kemanusiaan secara luas (makruf) dan mampu menihilkan keburukan (munkar) sehingga tak ada kontribusi apapun terhadap keburukan.

Takwa model inilah yang dimaksudkan sebagai hasil akhir dari ibadah puasa dan pendidikan nasional. Sadar sepenuh hati tentang kehadiran Tuhan dan condong pada perilaku yang baik. Bangsa atau kaum mana yang tidak butuh kualitas SDM seperti itu?

Sebagai state of inner self kualitas takwa memang menjadi ranah Ilahi, yang kemudian relasinya sangat personal antara seorang hamba dengan Allah. Namun sebagai sebuah kualitas kepribadian atau karakter kolektif bangsa yang ingin dicapai melalui proses pendidikan, takwa perlu diturunkan dalam indikator-indikator yang bisa diukur dan teramati.

Ajaran Islam memberikan informasi tentang ciri-ciri orang yang bertakwa. Ada banyak ciri, namun secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama. Pertama, memiliki kedekatan dengan Allah, sehingga Allah hadir dalam semua dimensi kehidupan. Kedekatan tersebut memunculkan harapan dan ketergantungan hanya kepada Allah untuk menghadapi berbagai persoalan hidup. Di sisi lain, kedekatan dengan Allah juga memunculkan rasa takut untuk bermaksiat kepada Allah. Kedekatan seperti ini pada gilirannya akan menumbuhkan kontrol spiritual untuk berhati-hati agar tak terjerumus pada kekejian dan dosa, serta pada sisi yang lain menumbuhkan etos hidup untuk konsisten dalam kebaikan.

Bagi orang bertakwa, Allah tak sekadar hadir di rumah ibadah, tetapi ada Allah di tempat kerja dan di dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, ada kesadaran bahwa Tuhan mengawasi semua perilaku hidup manusia dan akan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatan itu.

Kedua, adanya kesadaran serta kemauan untuk memosisikan diri sebagai hamba Allah. Kita ini hamba Allah. Bukan hamba nafsu, bukan hamba jabatan-kekuasaan, bukan pula hamba harta. Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan akan mendorong manusia untuk tidak lancang merampas tahta Tuhan dalam bentuk kesombongan dan sikap bangga diri yang berlebihan.

Drama terusirnya Iblis dari surga adalah bentuk dari kedekatan dengan Allah yang tidak dibarengi dengan kesadaran memosisikan diri sebagai hamba Allah. Kedekatan dia dengan Tuhan justru menimbulkan kesombongan dan tuntutan atas privilege dan perlakuan berbeda atas hamba yang lainnya.

Ruhaniawan dan kaum agamawan rentan terperosok dalam ketakaburan yang sama dengan Iblis. Merasa lebih dekat dengan Tuhan, menuntut hak-hak istimewa dari kaumnya serta memonopoli kebenaran atas nama Tuhan. Ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan, namun diam-diam tetap menggejala di tengah kita, sekadar untuk membuktikan bahwa ketakwaan tidak selalu sama dengan kepintaran.

Kesadaran sebagai hamba Allah ini pula yang akan membingkai manusia untuk memandang manusia lain dalam perspektif kehambaan yang esensial. Meski secara teknis menyembah Tuhan yang berbeda, namun secara hakiki orang bertakwa terikat oleh kesadaran bahwa para penyembah Tuhan dan penganut keyakinan yang berbeda sesungguhnya ciptaan sekaligus hamba dari Allah yang kita imani, serta memiliki kesetaraan sebagai sama-sama hamba-Nya.

Ketiga, adanya kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan dan peran yang harus kita emban sebagai amanah Allah. Manusia bertakwa memiliki kesadaran bahwa Tuhan telah mengamanahkan dunia dan seisinya ini untuk dikelola secara baik, dilarang berbuat kerusakan, dan setiap diri harus berkonstribusi atau memberi manfaat yang terbaik untuk kehidupan di dunia ini.

Bingkai kesadaran ini akan melahirkan spirit untuk berprestasi dan berinvestasi kebaikan dalam bentuk karsa dan karya terbaik, agar kehidupan menjadi dinamis, harmonis dan tumbuh kesejahteraan dalam naungan rahmat dari Allah. Takwa, dengan demikian memiliki pancaran energi untuk bermanfaat, berprestasi, dan menumbuhkan daya hidup. Ciri-ciri orang bertakwa tersebut bisa dielaborasi lebih jauh dalam kepentingan pendidikan. Misalnya, untuk merumuskan moralitas berbasis ketakwaan yang menjadi nilai tambah para profesional yang dilahirkan dari proses pendidikan nasional.

Kesadaran sebagai hamba Allah, bisa dikembangkan untuk membentuk karakter insan Indonesia yang toleran dan menyadari kemajemukan sebagai irodah Allah yang harus diterima dengan kesadaran rasional dan imani sekaligus. Ciri-ciri manusia bertakwa yang harus menjadikan hidupnya penuh dengan manfaat dan kebaikan dapat dikembangkan menjadi etos berprestasi yang bervisi dunia dan akhirat.

Maka, dengan semangat kembali pada fitrah penciptaan dan fitrah kemanusiaan, marilah kita songsong semangat Hari Pendidikan Nasional kali ini dengan hasrat untuk membumikan substansi nilai ketakwaan melalui pendidikan nasional. Agar hadir SDM yang pintar sekaligus bermoral. Agar muncul penguasa dan pejabat yang takut kepada Allah, sehingga tidak melakukan korupsi dan takut tidak amanah pada jabatan dan kekuasaan.



Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.