Supriyani yang dimaksud ini adalah Guru Supriyani. Tenaga pengajar honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, yang kisah dan kasusnya telah viral. Ia dituduh melakukan penganiyaan terhadap siswa yang kebetulan anak seorang anggota polisi aktif. Supriyani menolak tuduhan itu, hingga kasus tersebut masuk ke persidangan. Hari ini, 25 November 2024, bertepatan dengan Hari Guru Nasional, Supriyani divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Andoolo Konawe Selatan. Tentu, vonis bebas menjadi hadiah terindah bagi Supriyani di Hari Guru Nasional. Rekan sesama guru juga bersyukur atas vonis bebasnya tersebut.
Sementara itu, Gubernur Bengkulu yang dimaksud di sini adalah Rohidin Mersyah, yang tahun ini memasuki fase akhir masa jabatannya. Rohidin saat ini tengah mengikuti kontestasi Pilkada di Bengkulu sebagai calon petahana.
Namun, masyarakat Bengkulu geger. Sebab, Rohidin Mersyah yang tengah mencalonkan diri untuk periode kedua, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 23 November 2024 kemarin. Bersama Rohidin, KPK juga menggelandang tujuh pejabat yang lainnya.
Tak ada hubungaan langsung antara kasus Supriyani dengan Rohidin Mersyah. Sebelum jadi Gubernur, Rohidin juga tidak berprofesi sebagai guru. Jadi, tak ada kesamaan profesi di antara keduanya. Tetapi dari sisi waktu, memang ada kedekatan antara penangkapan Rohidin dengan vonis bebas Supriyani. Berjarak dua hari. Rohidin ditangkap tanggal 23 dan Supriyani divonis bebas tanggal 25 November.
Rohidin Mersyah diciduk KPK sebagai tersangka kasus pemerasan. Ia diduga memeras bawahannya (Kepala Dinas) untuk membantu pengadaan biaya Pilkada yang tengah ia lakoni. Atas arahan Sekda, para bawahannya tersebut kemudian menyetorkan sejumlah dana kepada Rohidin melalui Asprinya. Dana tersebut diambil dari anggaran dinas masing-masing, tentu dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Menariknya, setoran dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (salah satu dari 7 bawahan Roidin yang ikut tertangkap) menyetorkan uang dengan jumlah nominal paling besar. Mencapai 2,9 miliar Rupiah.
Guru Honorer Rentan Pemerasan
Berdasarkan keterangan Alexander Marwata (Wakil Ketua KPK), ternyata Rohidin secara khusus meminta Kepala Dinas Pendidikan untuk mencairkan dana guru honorer di seluruh Provinsi Bengkulu untuk biaya Pilkada. Itulah mengapa setoran Dinas Pendidikan adalah yang paling besar. Memainkan gaji guru honorer adalah cara yang paling mudah untuk mendapatkan dana besar. Guru honorer adalah target paling empuk dan aman untuk diperas dan dimainkan upahnya. Kadang, hingga 6 bulan honor belum cair.
Gaji guru honorer tidaklah besar. Hampir di seluruh provinsi, gaji guru honorer umumnya di bawah Upah Minimum Regional. Bahkan, guru di Jawa masih ada yang menerima honor hanya Rp 300.000. Tetapi jumlah guru honorer itu banyak, sehingga total gaji mereka jumlahnya cukup besar.
Kasus yang menjerat Rohidin sekali lagi membuktikan tentang keluh kesah guru honorer yang kadang tidak menerima gaji secara utuh dan tepat waktu. Gajinya kecil dan kerap dipotong oleh atasan mereka secara struktural (Kepala Sekolah dan Kepala Dinas) untuk menutupi pos anggaran yang lain, sehingga jumlahnya kerap berkurang dan waktu pembayarannya mengalami penundaan.
Kasus Supriyani melengkapi sisi rentan posisi guru honorer. Ia terperangkap dalam tuduhan atas perbuatan yang tidak dilakukannya dan pemerasan dalam bentuk uang damai yang tak sanggup ia bayarkan. Di dalam pengakuan Supriyani kepada penyidik Propam, Polda Sulawesi Tenggara, terungkap justru penyidik dari Polsek Baito yang menyampaikan besaran uang damai yaitu sejumlah lima puluh juta rupiah. Jika tidak bisa dipenuhi, maka Supriyani akan ditahan. Jika bisa ia penuhi, masalah dianggap selesai. Bagaimana mungkin guru honorer yang upahnya jauh di bawah UMR bisa memenuhi syarat perdamaian itu?
Barangkali ini Pekerjaan Rumah yang harus disenggol oleh Prof Abdul Mu’ti. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Guru honorer atau tenaga pendidik non ASN, bagaimana pemerintah mampu memanusiakan mereka? Toh, jasa mereka tetap dibutuhkan. Tugas mereka sama dengan tugas guru ASN, sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lihatlah nasibnya, bagai langit dan bumi.
Guru Supriyani dan Gubernur Bengkulu adalah kisah guru korban pemerasan dan atasan yang menjadi aktor pemerasan terhadap guru. Jadi, Pak Mu’ti, akankah kisah ini masih akan terus terjadi?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!