Di setiap tanggal 25 November, seluruh elemen masyarakat di Indonesia akan memeringati Hari Guru Nasional. Peringatan Hari Guru Nasional dilakukan untuk menghargai jasa guru di seluruh Indonesia. Sebab, guru adalah sosok yang berperan melaksanakan tugas mulia dalam bidang pendidikan.
Pendidikan merupakan bagian dari pembentukan karakter bagi murid, mengembangkan bakat dan potensi serta membekali ilmu dan keahlian bagi murid. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru merupakan tugas mulia yang diamanahkan kepada guru untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Lalu, mengajarkan kepada siswanya mengenai keilmuan dan pembentukan karakter yang mengarah kepada moral dan kepribadian murid. Guru memiliki tugas yang mulia dan bertanggungjawab atas keberhasilan belajar murid.
Akhirnya, guru juga harus memberikan pemahaman kepada wali murid untuk memercayakan sepenuhnya anak mereka agar dididik di sekolah. Sebab, saat ini, ada istilah helicopter parenting, yaitu pola asuh yang dilakukan orang tua dengan cara terlalu terlibat dan mengontrol setiap aspek kehidupan anak. Hal ini menimbulkan keterikatan yang kuat terhadap keinginan anak, sehingga apabila anak tidak mendapat apa yang ia inginkan, maka orang tua menjadi khawatir anak tersebut akan memberontak dan tidak mematuhinya lagi.
Begitu berat tugas dan tanggung jawab guru, namun di masa sekarang hampir tidak ada lagi penghormatan terhadap orang yang berprofesi guru. Belakangan, media sosial kita kembali dihebohkan dengan pemberitaan yang mencuat ke publik tentang guru yang mendisiplinkan muridnya tetapi berujung dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan penganiayan. Tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi di banyak tempat di wilayah Indonesia. Kejadian yang mencuat sehingga banyak kalangan di masyarakat yang mengikuti kasus tersebut adalah kasus Ibu Supriyani, seorang guru honorer SDN 4 Baito Kabupaten Konawe Selatan. Sebab, kasusnya menjadi semakin rumit karena kian banyak kepentingan yang terlibat dan ikut cawe-cawe. Hal mana yang menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
Di Mana Kemerdekaan Guru Honorer?
Kemerdekaan guru dalam Hari Guru Nasional (HGN) tercermin dalam pembentukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 24-25 November 1945. PGRI dibentuk sebagai wadah perjuangan guru di Indonesia setelah Kongres Pendidik Bangsa di Surakarta. Ada tiga tujuan PGRI, yaitu Mempertahankan Republik Indonesia; Meningkatkan pendidikan; Membela hak guru dan buruh.
Namun, realitanya adalah banyak sekali guru yang belum merdeka. Pendidik bangsa itu terjerat dalam jurang kemiskinan. “Pahlawan tanpa tanda jasa” rasanya hanya menjadi kalimat biasa tanpa makna. Pendidik yang mencetak generasi bangsa yang maju dan berkompeten untuk sebuah negara yang kehadirannya membuat penerus bangsa lahir dan tumbuh berkembang ternyata menjadi profesi yang paling banyak terjerat dan menjadi korban pinjaman daring secara ilegal atau kerap disebut “pinjol” ilegal. Di tengah remunerasi yang minim, literasi keuangan yang rendah, dan himpitan kebutuhan, mereka pun terjerat pinjol ilegal.
Berdasarkan data dari OJK, persentase guru di Indonesia yang menjadi korban pinjaman online ilegal mencapai 47%. Bukan sebuah cerita bohong atau pepesan kosong jika banyak tenaga pendidik yang terpaksa menjadi pengojek pada malam hari karena gajinya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Bukan pula berita yang berlebihan jika banyak guru yang harus nyambi pekerjaan lain karena didorong oleh desakan ekonomi yang memang menjadi tanggungjawabnya. Bukan lagi cerita hoax ketika ada guru pulang mengajar langsung memulung demi mencukupi kehidupan sehari-harinya karena gaji yang didapat tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Padahal, pendidik adalah pekerjaan mulia di Indonesia, karena di tangan merekalah akan dipertaruhkan amanah untuk mewujudkan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Miris sekali.
Bahkan pernah ada sebuah survei di Jawa Tengah yang menggambarkan bahwa guru adalah profesi yang rawan stres. Artinya, menjadi guru ternyata memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah yang akan menyebabkan yang bersangkutan akan mengalami stres.
Kita sadar betul bahwa nasib bangsa ini ke depan sangat bergantung kepada para guru. Jika kemudian banyak guru yang mengalami masalah dalam kehidupannya, maka nasib bangsa yang terkait dengan kualitas pendidikan akan sungguh-sungguh diragukan.
Sejujurnya, para guru hidup di dunia persaingan ekonomi yang luar biasa. Coba kalau kita perhatikan, kehidupan sekarang ini berbiaya tinggi. Semuanya serba mahal. Biaya pendidikan anak-anak yang mahal, kebutuhan komunikasi yang harus terpenuhi, kebutuhan kesehatan, kebutuhan akan barang-barang rumah tangga yang serba mahal, sampai kebutuhan bahan-bahan pokok sehari-hari dan sebagainya yang terus naik tentu akan dapat menjadi tekanan yang sangat berat. Semua itu pada akhirnya akan dapat memicu stres yang tidak berujung.
Belum lagi tentang guru yang karena mendisiplinkan muridnya, menghadapi pelaporan hukum tak masuk akal. Mereka merasakan kecacatan hukum yang tajam terhadap kaum menengah ke bawah. Sungguh ironi di negeri ini. Sedangkan jika mengulas dari beberapa kenyataan di lapangan, banyak sekali ketimpangan yang dialami oleh guru-guru honorer, yang gajinya kadang diterima kadang juga tidak.
Maka, sudah saatnya ada perbaikan yang lebih serius ke depannya. Ketika guru diperhatikan dan disuplai kebutuhannya oleh pemerintah, maka secara otomatis akan memengaruhi kualitas anak didik menjadi lebih cerdas dan cermat ke depannya. Hal itu demi keinginan pembangunan dan kemajuan negara Indonesia.
Di Hari Guru ini, sudah seharusnya hal itu menjadi bahan refleksi bersama. Apakah pendidik bangsa itu sudah mendapatkan haknya untuk hidup sejahtera? Atau Hari Guru ini hanyalah sebuah perayaan saja, tanpa bisa memahami esensi dan maknanya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!