Pagi itu, asap membumbung tinggi di langit Surabaya. Asalnya dari bangunan yang terbakar. Suara tembakan saling bersahutan dari kejauhan, dan langkah kaki berlari rakyat terdengar menembus jalan-jalan sempit yang sudah berlumur debu dan darah. Di langit yang kelabu, berkibar selembar kain merah putih. Meski sedikit sobek di ujungnya, bendera itu tetap berkibar, sebuah tanda bahwa rakyat belum menyerah.
Hari itu, 10 November 1945. Sebuah tanggal yang kelak menjadi saksi bahwa bangsa ini lahir dari keberanian, air mata, dan keyakinan kepada Allah Swt. Pertempuran heroik terjadi di tanggal itu. Dan di tengah hiruk-pikuk pertempuran itu, suara seorang pemuda menggema melalui siaran radio. Suaranya parau dan penuh tenaga. “Saudara-saudara! Marilah kita berseru, Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Ia adalah anak muda bernama Sutomo, yang kelak dikenal sebagai Bung Tomo. Seorang wartawan, aktivis, dan orator, yang membakar semangat rakyat Surabaya untuk memertahankan kemerdekaan yang ketika itu baru berumur beberapa bulan.
Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, dari keluarga sederhana nan terdidik. Ayahnya, Kartawan Tjiptowidjojo, bekerja sebagai pegawai pemerintah, sedangkan ibunya berasal dari keluarga keturunan Arab dan Jawa. Sejak kecil, Bung Tomo dikenal cerdas dan keras hati. Ia bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak bumiputra terpelajar di masa penjajahan Belanda.

Semasa muda, Bung Tomo bukan sosok yang hanya sibuk belajar. Ia aktif di organisasi kepanduan dan mulai menulis di berbagai media lokal. Dunia jurnalisme memertemukan dia dengan banyak ketidakadilan. Ia melihat sendiri bagaimana bangsanya dijajah di tanah sendiri, dan sejak itu api perlawanan mulai tumbuh dalam dirinya.
Ketika Jepang datang menggantikan Belanda, Bung Tomo aktif di berbagai kegiatan sosial dan kepemudaan. Tetapi yang paling membentuk dirinya adalah keberaniannya menolak tunduk kepada kekuasaan penjajah, siapa pun mereka. Setelah Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bung Tomo segera berdiri di barisan rakyat Surabaya, membangun jaringan siaran radio yang kemudian menjadi alat paling dahsyat untuk mengobarkan semangat perlawanan.
Pidato-pidato Bung Tomo seakan menyelipkan seruan iman. Di dalam setiap kalimatnya terselip nama Allah. Di dalam setiap seruannya terpantul keteguhan seorang mukmin yang tahu bahwa kemerdekaan adalah amanah dalam dada setiap rakyat.
"Dan untuk kita, saudara-saudara, Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau mati! Dan kita yakin, saudara-saudara, Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
Takbir yang dipekikkan Bung Tomo adalah penanda perjuangan rakyat Surabaya untuk jihad memertahankan kemerdekaan. Pertempuran Surabaya memang tidak dimenangkan secara militer. Kota luluh lantak. Banyak pejuang yang tak pernah kembali. Tetapi bangsa ini justru memetik kemenangan yang jauh lebih besar. Tentang kemenangan moral, kemenangan iman, kemenangan yang membuktikan bahwa bangsa ini tidak mudah ditaklukkan. Dunia menyaksikan bagaimana rakyat kecil di Surabaya berani melawan kekuatan yang jauh lebih besar, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Bung Tomo mengajarkan bahwa pahlawan sejati adalah mereka yang tidak berhenti berjuang. Ia tahu bahwa perjuangan bukan tentang siapa yang bertahan hidup, tetapi siapa yang hidup dengan keyakinan. Di dalam setiap kata yang ia ucapkan, terselip keyakinan bahwa kemerdekaan sejati hanya lahir dari jiwa-jiwa yang merdeka dari rasa takut — takut kehilangan, takut kalah, atau takut mati.
Setelah perang usai, Bung Tomo tetap melanjutkan pengabdiannya. Ia terjun ke dunia politik, menjadi anggota parlemen, lalu memilih jalan yang lebih sunyi, mengritik dan menasihati, bahkan ketika itu membuat dia harus berjarak dengan kekuasaan. Ia tetap menjadi suara moral, teguh memegang prinsipnya hingga akhir hayat.
Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981, di Padang Arafah, saat menunaikan ibadah haji. Seakan Allah memuliakan dia dengan kematian yang tenang di tanah suci, setelah seumur hidupnya dihabiskan untuk perjuangan. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Surabaya, kota tempat ia menyalakan api takbir yang mengguncang dunia.
Dan kini, delapan dekade kemudian, semangat itu sering kali terasa jauh dari keseharian kita. Kita hidup di zaman ketika perjuangan tak lagi berhadapan dengan senjata, tetapi dengan arus pemikiran, dengan godaan untuk menyerah kepada kenyamanan dan melupakan nilai-nilai yang dulu ditegakkan dengan darah. Namun, pesan Bung Tomo tetap relevan bahwa perjuangan tidak boleh berhenti. Jika dulu mereka memertahankan kemerdekaan dengan bambu runcing, maka hari ini kita memertahankannya dengan kesadaran, keberanian berpikir, dan keteguhan iman. Penjajahan tidak selalu datang dari luar. Kadang ia menjelma dalam bentuk apatisme, kemalasan berpihak, dan kebiasaan menutup mata terhadap ketidakadilan.
Maka, memeringati Hari Pahlawan artinya menyalakan kembali api yang pernah mereka nyalakan. Api yang membuat rakyat biasa mampu melakukan hal luar biasa. Dan semestinya, api itu juga menyala di dada kita, di setiap langkah kecil yang kita ambil untuk menegakkan kebenaran, menolak tunduk kepada kezaliman, dan menjaga kehormatan bangsa ini agar tak pernah dijual kepada siapa pun. Selamat Hari Pahlawan, 10 November. Semoga gema takbir itu tetap hidup di dada setiap jiwa yang menolak tunduk kecuali kepada Allah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

