Hujan ini Untuk Siapa?

Hujan ini Untuk Siapa?

Nyaris sepanjang awal Maret, Jabodetabek dikepung hujan. Kecil tipis-tipis, seperti tak hendak habis, menebar di seantero kota. Orang-orang meringis, mlipir dan menepis-nepis agar tak kuyup sampai di tempat kerja. Ada yang merutuk di sudut pertokoan, sepi order terhalang gerimis.

Hujan seperti tinta pena, mengalirkan banyak kisah, yang meresap dalam khazanah batin, menjadi cadangan hikmah dan pembelajaran. Kaki hujan yang ramping menjejagi dinding kota dalam konsistensi yang tak pernah diukur penduduknya, mampu mengubah wajah kota. Hanya pelancong yang sadar, bahwa wajah kota telah menua.

Gerimis dan hujan menghitamkan dinding kota, memeluk erat setiap debu basah untuk lekat. Lalu tumbuh lah lumut, garis kehitaman itu makin kentara. Saat angin meniup awan dan matahari leluasa bersinar, cat dinding yang menghitam berlahan mengelupas, menyingkap wajah asli kota. Ternyata kota, cuma tebal gincu!

Entah, berapa juta penduduk kota Jakarta. Jika kau ingin tahu pasti, tanyalah Badan Pusat Statistik. Aku cuma penasaran saja, berapa juta penduduk kota yang menikmati hujan? Berapa juta yang mengutuk dan mencaci-makinya? Berapa juta lagi yang diam-diam menangguk untung dari hujan.

Aku sendiri, karena mungkin bawaan bayi yang lahir di musim hujan, justru selalu menikmatinya. Entahlah, mungkin ada keping momen kebahagiaan yang terselip di dalam lipatan memori terdalam terkait hujan. Tak bisa diingat, saking dalamnya tertimbun waktu.

Hujan, meski dingin justru kerap aku rasakan sebagai guyuran kehangatan yang mampu menjalarkan bahagia. Karenanya aku enggan keluar rumah di saat gerimis apalagi hujan. Hanya karena ingin lebih lama menikmati rasa hangat yang keluar dari hati, akibat proses evokasi memori yang tergelitik jemari hujan.

Di sudut kedai kopi dekat terminal kota, aku menikmati perangkap hujan. Bersama aroma kopi, kepulan uap panas yang meliuk keluar dari cangkir seperti mengangkat kembali momen-momen indah yang telah lewat.

Maha Suci Allah yang telah menciptakan hujan. Sungguh puisi alam yang indah. Sebenarnya aku tak pernah lagi minum kopi sachet. Tapi apalah daya, di kedai kopi tempat para musafir berteduh sembari nunggu bus kota, hanya ada kopi sachet. Tak apa, aku pikir perlu melengkapi berkah hujan dengan kopi.

Saat bibir cangkir aku sesap, lidahku sebenarnya mengenali, ada beberap unsur rasa yang bukan kopi. Tapi apa daya, hidungku kadung kepincut aroma kopi Sumatera yang santer keluar darinya. Mungkin aroma sintetis. Ah, peduli amat. Aku berharap bus kota yang kami tunggu lebih lambat datang.

Kopi dan hujan, memang perpaduan paling dahsyat untuk memintal kata-kata, memerahnya dalam beragam makna. Kubuka gadget, kutorehkan setiap hal yang terlintas. Baru sadar dari kesibukanku yang egois saat aroma rokok keras menyambar hidung. Aku tak biasa dengan aroma ini.

Ternyata kedai sudah cukup sesak. Hujan masih mengguyur, bus kota belum juga datang. Terjebak dalam kebahagiaan subjektif akibat hujan, baru aku sadari pengunjung kedai yang lain tengah gelisah. Ada gerutu dan sumpah serapah, sangat terganggu dengan jadwal hujan yang tidak sesuai dengan ritme hidup mereka. Sementara pemilik kedai kopi tersenyum indah. Pagi yang penuh berkah.

Di samping kedai kopi, lapak penjual koran tutup. Dagangannya ditutupi plastik lebar agar tak basah. Penjual minuman segar juga hanya bisa melamun, tak tahu apa yang dirasakannya tentang hujan panjang ini. Pastinya ia tahu, tak banyak orang yang haus dalam cuaca dingin seperti ini.

Pangkalan ojeg seperti cerobong asap. Bertumpuk tukang ojeg, menghabiskan cadangan rokok hariannya, sekedar melewati hujan, sembari melamun tanpa arah.

Sepasang pengantin baru, tukang es keliling, polisi lalu lintas, dan banyak profesi yang lain, sudah pasti punya kesan yang berbeda tentang hujan hari ini. Sementara bocah-bocah ojeg payung sumringah, sekujur tubuh telah basah kuyup. Namun setiap kali bus kota datang, dengan keriangan khas anak-anak, mereka sibuk menawarkan jasa, menyewakan payung. Mengantar penumpang sampai ke tempat teduh. Semoga besok hujan lagi, mungkin begitu doa mereka.

Di kota seperti Jakarta, hujan seakan memiliki banyak wajah. Wajah rahmat, wajah laknat, wajah maksiat. Dan entah wajah apalagi. Hujan yang lebat bahkan bisa membikin kursi jabatan Gubernur DKI Jakarta memanas. Di Ibu kota, hujan dan banjir kerap menjadi saudara kembar. Hujan datang, banjir pun tiba.

Hujan kemudian menjadi alat politik. Caci maki, laknat, dialamatkan pada orang nomor satu di provinsi terpadat ini. Gagal menangani banjir, tak becus mengantisipasi datangnya hujan, dan seterusnya. Alhasil hujan yang mestinya dingin kerap membuat kursi DKI 1, panas membara.

Bus datang, hujan belum juga berhenti. Allah menciptakan hujan bukan khusus buatmu. Ada rahmat jangka panjang bagi kehidupan. Jangan berburuk sangka dan jangan merasa menjadi pihak yang paling diperhatikan oleh Allah. Kuasanya-Nya terlalu luas untuk dicerna dengan subjektifitas-egomu yang cupet! Lihatlah, siklus rezeki, rahmat, dan kekuasaan berputar bersama hujan.

“Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari ni'mat”. (Al-Furqan: 50)

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.