IISD Ungkap Situasi dari Hulu ke Hilir Industri Rokok
Diskusi publik tersebut juga dihadiri praktisi media, Maria Hartiningsih; Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi; dan mantan Wamendikbud, Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D, sebagai penanggap pemaparan “Outlook Pengendalian Tembakau 2024”. Sedangkan Adviser IISD, Dr. Sudibyo Markus dan Dra. Tien Sapartinah, tampil sebagai penyampai pengantar dan kesimpulan diskusi.
Menurut Direktur Program IISD, Ahmad Fanani, kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan insight, wawasan yang lebih luas berbagai situasi terkini konsumsi produk tembakau. Ia juga mengatakan, diskusi publik itu untuk membuka mata publik sekaligus membangunkan kesadaran pemerintah tentang urgensi penguatan regulasi pengendalian konsumsi candu rokok.
“Negeri ini sudah kadung terjerat candu rokok sedemikian dalam. Candu rokok yang oleh amanah undang-undang konsumsinya mesti ditekan, justru diletakkan dalam posisi sedemikian terhormat. Pecandu zat lain direhabilitasi, tetapi pecandu rokok justru dirawat, disanjung-sanjung sebagai penyumbang pajak terbesar. Dengan kondisi yang pelik ini, pengendalian konsumsi rokok bukanlah perkara sederhana,” ujar Ahmad.
Ahmad memaparkan, dalam 20 tahun terakhir tren konsumsi rokok meningkat signifikan. Tahun 2005, total volume produksi rokok berkisar 235 miliar batang. Angka tersebut meningkat menjadi 279,4 miliar batang di tahun 2011, dan tahun 2022 melonjak menjadi 323,9 miliar batang. Data juga menunjukkan, produksi tembakau meningkat dalam rentang 5 tahun terakhir, dari 195.350 ton pada 2018 menjadi 224.000 ton di tahun 2022, dan kembali naik menjadi 233.000 ton di tahun 2023.
“Regulasi mengamanahkan agar pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya. Bahkan, RPJMN secara spesifik memberikan target prevalensi dan rekomendasi strategi untuk mencapainya. Antara lain dengan penguatan regulasi, pembesaran PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar), dan pelarangan total iklan rokok. Namun belum terealisasi sampai hari ini,” imbuhnya.
Ahmad pun mengkritisi pemerintah selama ini nyaris hanya bertumpu pada kebijakan fiskal, yang menurut dia tak cukup efektif.
Baca juga: ICMI Apresiasi Indonesia Konsisten Dukung Perkarakan Kejahatan Israel Ke Mahkamah Internasional
“Rokok adalah produk candu. Tak mudah bagi perokok untuk berhenti. Memahalkan harga rokok tak cukup, jika iklan terus dibiarkan bertebaran dimana-mana mengobarkan hasrat mereka untuk terus merokok,” jelasnya.
Di dalam paparannya, ia juga menggaris bawahi adanya pergeseran tren konsumsi rokok ke produk alternatif. “Di luar konsumsi ke rokok elektronik yang konsumsinya meningkat signifikan, yang belum banyak dicermati adalah tren konsumsi Tingwe (ngelinting dhewe / memilin tembakau sendiri, red). Di dalam 2-3 tahun terakhir, konsumsi Tingwe melonjak tajam. Kenaikan cukai pada rokok pabrikan dan pandemi mendorong perokok segmen menengah ke bawah mencari produk alternatif yang lebih terjangkau. Toko tembakau sekarang dengan mudah kita temukan di pinggir-pinggir jalan,” papar Ahmad.
Ahmad pun menyoroti kenaikan konsumsi Tingwe. “Jika dulu Tingwe lekat diasosiasikan sebagai rokok orang sepuh, sekarang anak-anak muda juga banyak yang mengonsumsinya. Bahkan ada semacam romantisasi produk ini sebagai anti mainstream, warisan budaya, dan lain-lain,” katanya.
Di kesempatan itu pula, Adviser IISD, Dr. Sudibyo Markus, mengatakan, perilaku industri rokok, dari produksi sampai konsumsi, dipengaruhi sikapnya untuk menyembunyikan zat nikotin, sebagai zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan. Rokok yang terdiri atas zat nikotin, tar, dan zat karsinogenik, serta merusak kesehatan dan menebar ancaman kematian sudah merambah anak dan merenggut hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak.
“Nikotin itu zat yang sangat berbahaya. Mereka (industri rokok) tidak saja tidak mengakui secara formal (adanya zat nikotin itu), tetapi mereka dengan segala cara membohongi publik akan keberadaan nikotin yang berbahaya itu,” ujar Sudibyo.
Dia menegaskan, pengendalian tembakau di Indonesia memerlukan intervensi yang holistik dan komprehensif dari hulu dan hilir, serta memerlukan waktu cukup panjang untuk mewujudkan apa yang diharapkan pegiat pengendalian tembakau.
Baca juga: MAPAN: Speak Up! Saatnya Pemuda Bela Negara
Bersatu Selamatkan Anak Bangsa
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah. “Tantangan dalam pengendalian tembakau di Indonesia ini sangat berat, termasuk paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal. Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok itu sebagai sebuah penyakit,” ujarnya.
Tulus melanjutkan, “Musuh pengendalian tembakau itu banyak, termasuk pemerintah dan DPR sendiri.”
Untuk itu, lanjut Tulus, perlu keterlibatan semua pihak dalam mendorong pemerintah untuk melakukan penguatan pengendalian tembakau, dari berbagai kebijakannya ke depan. Dia juga menyoroti soal iklan rokok di internet yang belum ada regulasinya. Maka, Tulus pun mendukung pelarangan total iklan dan promosi rokok sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan nasional.
“Mudah-mudahan di PP kesehatan yang baru, iklan rokok di internet akan dilarang, kalau tidak diitervensi lagi,” pungkasnya.
Sedangkan Maria Hartiningsih mengatakan, diperlukan penelitian dan pengkajian lebih dalam soal fenomena tembakau iris atau merokok dengan melinting rokok sendiri, atau lebih populer sebagai Tingwe atau nglinthing dhewe yang semakin marak belakangan ini. “Selain itu, fenomena saat ini semakin mudah kita menemui anak muda yang menggunakan rokok elektrik atau vape. Ini harus menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Sebagaimana diketahu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mendesak negara-negara di dunia untuk menerbitkan aturan yang melarang rokok elektrik atau vape aneka rasa. Seruan WHO tersebut berdasarkan sejumlah penelitian yang tidak menemukan bukti bahwa rokok elektrik bisa menjadi alternatif lebih sehat dari rokok tembakau.
Selain itu, WHO juga menyoroti peredaran vape di pasar terbuka dan dijual secara masif kepada generasi muda dengan menyinggung 34 negara yang telah melarang penjualan rokok elektronik, 88 negara yang tidak menetapkan usia minimum untuk pembelian rokok elektrik, dan 74 negara yang tidak memiliki aturan terkait produk-produk tersebut.
Baca juga: AILA Dukung SE Larangan Perilaku LGBT di Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Adviser IISD, Tien Sapartinah, meminta agar negara bertanggung jawab dalam pengendalian tembakau. Dia juga mengharapkan pemimpin yang akan datang berkomitmen dalam penguatan pengendalian tembakau didasarkan pada keberpihakan kepada masyarakat. “Jadi pemerintah tidak boleh lepas tangggung jawab terhadap isu pengendalian tembakau ini,” katanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Fanani menyampaikan, hasil pendalaman yang dipublikasikan dalam “Outlook Industri Tembakau 2024” sebagai bentuk nyata dalam memberikan bahan kajian terbaru dalam isu pengendalian tembakau. “Diharapkan, hasil kajian dan pendalaman ini memberikan juga argumentasi baru secara objektif dan menjadi alasan kuat bagi penguatan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia,” katanya.
Di dalam hasil diskusi publik tersebut, juga disimpulkan adanya desakan kuat kepada pemerintah akan mutlak perlunya aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana untuk sekian lama pemerintah telah tunduk kepada intervensi industri yang selalu memertentangkan antara kehidupan petani dan pekerja industri sebagai bumper kepentingan industri. FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat, melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok kepada anak di bawah umur.