AILA Dukung SE Larangan Perilaku LGBT di Lingkungan Fakultas Teknik UGM

AILA Dukung SE Larangan Perilaku LGBT di Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Photo by Mick De Paola on Unsplash

Berdasarkan SE tersebut, FT UGM menolak dan melarang aktivitas dan penyebarluasan LGBT bagi seluruh masyarakat FT UGM, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. FT UGM pun bisa memberikan sanksi hingga maksimal terhadap dosen, mahasiswa, maupun tenaga kependidikan yang terbukti memiliki perilaku dan/atau melakukan penyebarluasan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung LGBT.

Sabtu (16/12/2023), Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengeluarkan pernyataan dukungan untuk merespon SE dari FT UGM tentang Larangan LGBT di Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Pernyataan dukungan tersebut dirilis langsung oleh Ketua AILA, Rini H. Soebagio. Rini mengemukakan enam poin pernyataan dukungan AILA terhadap SE tersebut. Enam poin tersebut adalah sebagai berikut:

  • Mendukung dan mengapresiasi terbitnya surat edaran Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) sebagai upaya untuk mencegah perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender) dalam lingkungan kampus, dimana normanya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 2 dan Pasal 597 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang pada pokoknya berlaku sebagai dasar hukum atas jaminan dan perlindungan terhadap norma agama dan kesusilaan dalam masyarakat yang berpotensi dicederai oleh tindakan asusila tersebut.
  • Mendukung sikap tegas FT UGM yang berupaya menerapkan disiplin kampus untuk mencegah aktivitas dan penyebarluasan LGBT di lingkungan kampus secara umum. Surat edaran tersebut merupakan respon aktif menyikapi problem empiris di lingkungan kampus UGM, dimana tercipta kondisi tidak nyaman akibat masuknya mahasiswa laki-laki yang berpakaian perempuan ke dalam toilet perempuan.
  • Menyesalkan sikap para pegiat LGBT yang mengkritisi keputusan FT UGM dengan dalih bahwa tindakan tersebut adalah “moralitas penuh kebencian”. AILA Indonesia berpendapat bahwa sikap FT UGM justru sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan kaum perempuan dari pelanggaran privasi dan kemungkinan tindak pidana kejahatan seksual di fasilitas kampus.
Baca juga: Perilaku LGBT Muncul Lagi, Ketegasan Pemerintah Kian Perlu
  • Menyesalkan komentar dari aktivis LGBT yang berupaya memframing bahwa kebijakan FT UGM lebih dikarenakan bias ilmu eksakta yang moralis namun tanpa didasari oleh fakta ilmiah. Dikotomisasi ilmu eksakta dan ilmu sosial humaniora, yang bertujuan untuk mencitrakan ilmu eksakta (di UGM) sebagai “otoriter” dan “anti-sains” merupakan sikap prejudice yang tidak sesuai dengan realitas dan kebenaran. Hasil penelitian sains alam dan sains sosial justru semakin menunjukkan bahwa LGBT dan gerakan normalisasi ini telah merusak tatanan masyarakat Barat akibat sifatnya yang menyalahi fitrah kemanusiaan. Selain itu, normalisasi perilaku menyimpang LGBT yang ada di dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) pun sebenarnya tidak dibangun di atas pondasi empiris yang kokoh dan hanya berdasarkan konsensus untuk mengafirmasi perubahan sosial yang ada di masyarakat Amerika dan Eropa.
  • Menolak solusi para penggiat LGBT yang menyatakan bahwa toilet kampus tidak perlu dibedakan secara gender sebagaimana toilet di rumah. Solusi tersebut tidaklah tepat, karena toilet di rumah merupakan fasilitas pribadi yang sebagian besarnya digunakan oleh anggota keluarga sehingga tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ketidakmampuan membedakan antara fasilitas pribadi dan fasilitas publik dan mencampuradukkan keduanya merupakan sebuah sikap yang ceroboh dan tidak bijaksana karena telah mengorbankan kepentingan umum dan keselamatan perempuan demi kepentingan ideologi kelompoknya.
  • Menghimbau seluruh komponen masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan, khususnya FT UGM, agar tetap kokoh dalam komitmennya terhadap moralitas bangsa, serta tidak goyah terhadap tekanan berbagai pihak yang berusaha menormalisasi perilaku LGBT, karena sejatinya tugas seorang pendidik adalah menuntun anak didik kepada kebenaran, dan bukan membenarkan sebuah penyimpangan.
Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.