Ijazah yang Raib Sebelum Ada: Sebuah Ironi dalam Jabatan Publik

Ijazah yang Raib Sebelum Ada: Sebuah Ironi dalam Jabatan Publik
Ijazah yang Raib Sebelum Ada: Sebuah Ironi dalam Jabatan Publik/foto:istimewa

Di dalam dunia yang penuh prasangka, bukti sering kali ditunggu seperti wahyu. Setiap orang menunggu sesuatu yang hendak turun dari langit: Sebuah pernyataan resmi, sebuah dokumen fotokopi, atau sebuah arsip yang berdebu. Lebih dari sekadar legitimasi, ia adalah nyawa dari harga diri. Jika itu masih dianggap ada.

Dan justru dalam kekosongan itulah, spekulasi lahir. Ia merayap dari sudut-sudut gelap percakapan, tumbuh menjadi kabut yang menebal. Kabut itu menyelimuti jalan-jalan ibu kota, masuk ke kantor pemerintahan, serta menembus layar telepon dan watshapp warga.

Di banyak negara demokratis, kredibilitas seorang pejabat publik sering diukur bukan hanya dari rekam jejak kerja, tetapi juga dari kejelasan latar pendidikan. Ijazah, dokumen yang seharusnya sederhana, biasa, bahkan kadang dilupakan oleh pemiliknya, tiba-tiba menjelma menjadi artefak politik yang berharga. Ironinya, dalam beberapa kasus, ijazah justru "raib sebelum ada". Ia menghilang, sulit ditampilkan, atau menjadi bahan perdebatan publik, bahkan sebelum benar-benar diperiksa.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu negara. Di berbagai belahan dunia, isu keaslian ijazah kerap muncul menjelang pemilihan umum, masa krisis politik, atau saat terjadi polarisasi sosial. Ijazah menjadi simbol. Ia bukan sekadar kertas kelulusan, melainkan representasi kepercayaan publik terhadap integritas pejabat.

Di dalam sejarah politik modern, tuduhan pemalsuan ijazah, baik benar maupun tidak, sering dipakai sebagai senjata delegitimasi. Tuduhan semacam itu mudah menyebar karena memanfaatkan dua hal, keinginan publik untuk transparansi dan kecurigaan terhadap elite politik.

Demi Ijazah Asli, Mahasiswi Ini Jadikan Sabili.id Sebagai Objek Penelitian Ilmiah
Meniti Jalan Menuju Mardhotillah

Dari Turki hingga India, beberapa pemimpin dunia pernah menghadapi kontroversi soal ijazah mereka. Bahkan di Amerika Serikat, perdebatan tentang dokumen pribadi pernah memaksa seorang presiden merilis akta kelahiran lengkap demi meredakan polemik nasional. Tetapi toh pada akhirnya mereka dengan gagah berhasil menunjukkannya ke publik. Fenomenanya sama: Dokumen yang seharusnya administratif berubah menjadi simbol pertarungan politik dan identitas.

Istilah "raib" sering digunakan oleh publik ketika suatu dokumen tidak ditampilkan secara terbuka, belum dibuka oleh lembaga resmi, masih dalam proses verifikasi, atau terhalang oleh prosedur hukum maupun privasi. Sering kali, bukan berarti dokumen itu tidak ada. Tetapi ketiadaan akses menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Di dalam ekosistem politik yang penuh ketidakpercayaan, ketidakhadiran dokumen sering diartikan lebih buruk daripada keberadaannya. Transparansi menjadi tuntutan moral sekaligus tuntutan politik. Pejabat publik diharapkan memegang standar keterbukaan yang lebih tinggi daripada warga biasa. Ketika dokumen pendidikan tidak segera dibuka, narasi "raib" pun muncul, meski pun proses administratif belum selesai.

Sebuah jabatan publik pada hakikatnya dipikul oleh mandat rakyat. Namun, mandat ini bisa rapuh jika dibayangi isu tentang identitas, integritas, atau rekam pendidikan yang kabur.

Indonesia: Ketika Demokrasi Seiring Sejalan dengan Korupsi
Semua teori demokrasi seperti tak berlaku di rawa-rawa politik Indonesia. Terlalu banyak buayanya, sehingga demokrasi yang terlihat gegap-gempita itu senyatanya hanya prosedural belaka. Pemilu sekadar jadi ajang jual-beli suara.

Kontroversi "ijazah raib" seharusnya tidak dibiarkan mengambang. Di era keterbukaan informasi, lembaga pendidikan, badan arsip negara, hingga aparat penegak hukum, memiliki peran ini. Ketika institusi bekerja transparan, ruang bagi fitnah maupun misinformasi dapat dipersempit. Bukan malah pada akhirnya menuduh orang-orang yang bertanya tentang ijazah sebagai pihak tersangka, atau lebih jauh lagi, menuduh mereka mengubah atau mengedit ijazah yang belum pernah dipublikasikan oleh pemiliknya.

Pada akhirnya, polemik ijazah bukan sekadar soal selembar kertas. Ia adalah cermin retaknya kepercayaan antara publik dengan elite politik. Di negara dengan demokrasi matang, dokumen akademik hanyalah catatan administratif. Di negara yang masih berjuang membangun kepercayaan, dokumen itu bisa menjadi medan tempur politik.

Ijazah yang "raib sebelum ada" adalah ironi dari sebuah jabatan publik. Bahwa ketiadaan bukti sering berbicara lebih keras daripada genderang yang ditabuh para pembela. Dan dalam riuh itu, publik belajar satu hal yang pahit. Bahwa kabut kadang lebih meyakinkan daripada penjelasan yang terlambat datang.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.